HomeNalar PolitikPKS-Demokrat Bersinar Di Tengah Corona

PKS-Demokrat Bersinar Di Tengah Corona

Beberapa partai politik (parpol) di Indonesia mulai bergerak, baik secara struktural maupun sporadis, untuk membantu masyarakat di situasi sulit pandemi Covid-19. Kehadiran parpol secara konsisten dan berkelanjutan di luar kepentingan transaksional, bahkan pada situasi sulit seperti saat ini, diharapkan menjaga hasrat serta mental masyarakat dalam berpolitik secara positif.


PinterPolitik.com

Pentingnya solidaritas dari seluruh elemen negara untuk bangkit dan keluar dari situasi sulit sangat dibutuhkan. Pandemi Covid-19 agaknya mulai membuka mata dan hati kita saat ini bahwa untuk bertahan dan bangkit dari situasi ini adalah dengan saling bahu membahu satu sama lain antar seluruh elemen masyarakat.

Sitting ducks” nampaknya merupakan sebuah idiom dalam bahasa Inggris yang relevan menggambarkan situasi masyarakat akibat Covid-19 ini di mana memaksa kita seolah terpojok di pinggir jurang berbahaya dengan sedikit atau bahkan tanpa perlindungan apapun.

Dalam situasi sitting ducks, makna hadirnya bantuan tentu menjadi penting, baik berupa bantuan bersifat masif maupun bantuan sederhana. Hal inilah yang nampaknya dilakukan pula oleh partai politik (parpol) di tengah pandemi Covid-19. Mereka berupaya mengambil momentum ini untuk memberikan bantuan-bantuan sederhana kepada masyarakat demi menarik simpati serta sebagai upaya menjawab kesan hanya hadir di saat pemilihan saja.

Seperti yang terjadi Singapura, beberapa parpol membantu masyarakat terdampak Covid-19 dengan cara yang kreatif. Progress Singapore Party (PSP) misalnya, memberikan goodie bag berisi air mineral dengan logo partai tersebut, biskuit dan makanan ringan lain, origami berbentuk hati hingga tulisan tangan berisi semangat kepada warga Singapura serta tenaga medis di berbagai rumah sakit.

Sementara partai Bharatiya Janata Party (BJP) di India memanfaatkan platform online untuk menghimpun serta menyalurkan bantuan di tengah keadaan total lockdown negara akibat Covid-19. Selain itu, pengerahan bantuan relawan juga dilakukan secara daring untuk membantu masyarakat secara door to door.

Dua sampel sikap parpol dari dua negara berbeda di atas nampaknya patut diapresiasi meskipun dengan bantuan yang terlihat tidak besar. Selain sebagai bentuk berbagi semangat kepada sesama dan tenaga medis di garis depan, bantuan-bantuan tersebut juga secara langsung dan tidak langsung membantu upaya pemerintah di kedua negara tersebut untuk menjangkau elemen terkecil masyarakat yang mungkin luput akan urgensi keberadaan bantuan.

Sementara di Indonesia, dengan semakin menghujamnya pandemi Covid-19, membuat berbagai parpol di Indonesia kemudian semakin banyak yang mulai terjun langsung ke masyarakat untuk memberikan berbagai bentuk bantuan menghadapi Covid-19. Ada parpol yang hadir dan memang sudah tenar karena selalu ada di kala bencana, ada yang bergerak serentak di bawah komando pimpinan partai, dan ada pula yang membantu secara sporadis di titik-titik tertentu di wilayah Indonesia.

Melihat tren tersebut, apakah parpol-parpol ini akan secara konsisten memberikan bantuan hingga pandemi berakhir dan di situasi sulit setelahnya?

Stigma Klasik Parpol

Untuk eksis dan bertahan sebagai parpol di Indonesia bukanlah hal mudah. Thomas Reuter dalam “Political Parties and the Power of Money in Indonesia and Beyondmenyatakan bahwa, dikarenakan wilayah  yang luas serta karakteristik politik yang berbeda-beda, membuat biaya operasional parpol sangat tinggi di Indonesia. Eskalasi biaya ini akan meningkat terutama ketika mendekati Pemilu dan parpol harus melakukan kampanye secara profesional.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab karakteristik pragmatisme parpol selama ini terjadi. Ketika suara rakyat diinterpretasikan dengan mekanisme transaksional, membuat parpol berlomba-lomba membangun citra di hati rakyat.

Namun, citra yang cukup unik nan melegenda di benak publik atas kontribusi parpol di Indonesia bagi rakyat adalah bagi-bagi kaos. Masih dalam tulisan yang sama, Reuter menyatakan, jika diperhatikan kampanye di Indonesia menjadi terkesan penuh humor karena diilustrasikan seperti “peperangan” antar kaos partai yang berwarna-warni di jalanan.

Selain kaos, bantuan seperti kebutuhan pokok hingga uang tunai menjadi andalan parpol menjaring pemilih saat kampanye menjelang Pemilu. Namun ironisnya, sikap dan bantuan positif dari parpol itu seolah lenyap ditelan bumi dan tak lagi dirasakan masyarakat bersamaan dengan berakhirnya kontestasi politik dalam Pemilu.

Hal yang menjadi pengulangan di tiap Pemilu bak sebuah tradisi. Tradisi yang juga seolah menggambarkan bahwa parpol sama sekali tidak memiliki ketulusan dan moral yang benar-benar dapat diandalkan mewakili suara rakyat.

Gilbert Harman dalam publikasinya berudul “Is There a Single True Morality” menjelaskan konsep moral relativism yang menyatakan bahwa moralitas tidaklah berdasarkan standar yang mutlak. Selain itu, “kebenaran etis” bergantung pada variabel-variabel seperti situasi, budaya, perasaan, dan sebagainya.

Konsep moral relativism dapat menjelaskan perilaku parpol saat ini. Pandemi Covid-19 akhirnya membuat parpol menyuguhi sajian berbeda dari stigma moral klasik yang negatif dan lekat di benak rakyat Indonesia. Merespon luasnya dampak Covid-19 kepada masyarakat, parpol satu per satu mulai turut bergerak di tengah pertanyaan publik atas moral serta kehadiran mereka di saat-saat rakyat sedang kesulitan seperti ini.

Momentum Terbaik

Philip Kotler dan Neil Kotler dalam “Political Marketing: Generating Effective. Candidates, Campaigns, and Causesmenjelaskan bagaimana parpol dapat memanfaatkan strategi pemasaran atau marketing demi mendapatkan suara. Konsep political marketing dapat diterapkan aktor politik, termasuk parpol, dengan menilai aspirasi publik serta momen tertentu sebagai “permintaan pasar” yang harus terus dipenuhi untuk dapat menuai citra terbaik.

Political marketing yang baik sendiri ditandai oleh dua karakteristik, yaitu karakter struktural (implementasi kepemimpinan dan organisasi yang terstruktur), serta proses (implementasi pendefinisian nilai yang baik).

Berangkat dari konsep tersebut, terdapat dua parpol yang dinilai menonjol dan memenuhi kriteria terbaik dalam merespon dan membantu masyarakat di saat pandemi Covid-19 secara terstruktur dan masif terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Parpol itu ialah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.

Bantuan penanganan Covid-19 sendiri pertama kali dieksekusi secara organisasional oleh PKS dengan memberikan bantuan konkret berupa Alat Pelindung Diri (APD) untuk tenaga medis melalui Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Momen itu menjadi langkah awal sekaligus simbolisasi presiden partai, Sohibul Iman yang menginstruksikan kader di bawahnya mulai dari tingkat pusat hingga ranting untuk melakukan solidaritas sosial membantu masyarakat dan tenaga medis Covid-19 sejauh kemampuan dan kewenangannya.

Selain itu, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang dengan elegan memberikan komando kepada seluruh kader partai, terutama yang menjadi kepala daerah dan anggota legislatif untuk melakukan aksi nyata dengan cara menghimpun dan mendistribusikan bantuan, bagi para pekerja medis dan masyarakat secara intensif, masif, dan terkoordinasi.

Beberapa ketua umum partai lain, seperti PDIP, Golkar, Nasdem, PAN, PSI, PPP hingga PKB sebenarnya juga melakukan hal yang serupa. Namun, tidak seperti PKS dan Demokrat yang penerapannya bersifat struktural, penerapan bantuan dari partai-partai tersebut terlihat masih bersifat sporadis.

Kader PKS dari Fraksi DPRD di berbagai daerah, mulai dari Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan dari tingkat Provinsi serta Kabupaten/Kota lain secara kompak mendonasikan sebagian hingga seluruh gajinya untuk membantu penanganan Covid-19. Selain itu, berbagai bantuan mulai dari masker, APD, hingga hand sanitizer diberikan kepada berbagai kalangan masyarakat yang membutuhkan.

Hal yang sama dilakukan Partai Demokrat. Paska instruksi AHY, organik partai di daerah, mulai dari Sumatera Barat, Riau, Jakarta, Kalimantan Selatan dan daerah lainnya bergerak serentak menyediakan kebutuhan prioritas berupa APD, hand sanitizer, hingga wastafel portable.

Manfaat besar dari penerapan political marketing yang baik bersifat resiprokal. Artinya, kemungkinan masyarakat yang mendapatkan uluran tangan langsung dari parpol-parpol di tengah pandemi Covid-19 mempunyai citra yang positif terhadap parpol itu sendiri dan berpengaruh terhadap preferensi politik mereka di kemudian hari.

Dalam hal ini, setiap parpol yang ada seharusnya dapat memanfaatkan kesempatan emas di saat masyarakat mengalami kesulitan akibat pandemi Covid-19 untuk membuktikan bahwa komitmen serta kepedulian mereka terhadap suara rakyat jelas dan nyata. Tentunya parpol mana yang berhasil memanfaatkan momentum dengan memberikan bantuan secara terstruktur serta berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia tentu akan mendapatkan keuntungan strategis bagi citra dan kredibilitas parpol tersebut. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?