Site icon PinterPolitik.com

PKI dan Budaya Mengingat yang Terlupa

PKI dan Budaya Mengingat yang Terlupa

Daftar nama anak-anak yang menjadi korban meninggal dan korban hilang dalam perang di Kosovo pada tahun 1998-2000 di pameran Once Upon a Time and Never Again. (Foto: Dokumen Pribadi/Danang Nizar)

Tanggal 30 September selalu dikenang sebagai hari ketika terjadi konflik berdarah pada tahun 1965. Terlepas dari kebenaran cerita sejarah tersebut, masyarakat Indonesia perlu menjalankan budaya mengingat akan sejarah kolektif yang ada.


PinterPolitik.com

Apabila Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni,” maka sepertinya tak ada yang lebih tabah dari siswa di bulan September dalam konteks Indonesia tahun 1984 sampai akhir 1990. Mengingat, pada setiap bulan keramat itu, para siswa dianjurkan hadir dalam pemutaran wajib film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI.

Tulisan ini tidak akan membahas mengenai unsur fakta dan fiksi dari peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang biasanya selalu muncul di berbagai media saban September karena kesimpangsiuran sejarah suatu bangsa merupakan hal yang lumrah dan umum ditemukan di mana saja.

Namun yang lebih penting untuk diamati justru adalah cara suatu bangsa dalam menyikapi berbagai tragedi yang telah terjadi di masa lampau. Apakah kita memilih untuk menolak lupa, atau malah menolak untuk mengingat?

Menghafal Bukan Berarti Mengingat

Meski sudah 21 tahun reformasi kita nikmati, hampir seluruh sarana pengingat yang berkaitan dengan peristiwa G30S saat ini masih merupakan warisan dari rezim Orde Baru, sebuah rezim yang selama 32 tahun menjadi pemegang kuasa tunggal atas narasi kesejarahan bangsa Indonesia.

Mulai dari Museum Sasmitaloka Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution, Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) sampai Monumen Pancasila Sakti, semua menampilkan narasi yang bersumber dari buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI. Buku tersebut merupakan terjemahan resmi negara atas peristiwa G30S. Pengarangnya? Tentulah, Nugroho Notosusanto.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri telah mengakui bahwa, “informasi utama yang disajikan oleh Kompleks Monumen Pancasila Sakti adalah kekejaman PKI”[1]. Oleh sebab itu, terlepas dari keakuratan informasi yang masih terus menjadi perdebatan, jelas bahwa tujuan utama dari narasi-narasi tersebut adalah untuk mematri pemahaman bahwa PKI jahat dan non-PKI baik.

Kerumitan sebuah peristiwa sosial-politik disederhanakan menjadi semacam wiracarita dharma melawan adharma – yang mana Negara melambangkan Pandawa dan PKI mewakili Kurawa. Dus, PKI harus ditumpas sampai ke akarnya. Budaya mengingat yang memiliki peranan penting dalam merawat memori kolektif sebuah bangsa, justru dimanipulasi menjadi alat legitimasi kekuasaan dengan cara merawat kesumat.

Betul memang, bahwa saat ini buku ajar mata pelajaran Sejarah di sekolah sudah tidak lagi menggunakan buku karya Nugroho Notosusanto, dan para siswa juga sudah tidak lagi diwajibkan menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Namun apakah hal tersebut cukup bagi generasi mendatang untuk dapat mengingat, dan bukan sekedar menghafal, atas apa yang terjadi 74 tahun lalu?

Yang terpenting bukanlah menghafal siapa dibunuh siapa, kapan dan dengan cara apa, melainkan mengingat bahwa tragedi semacam itu tidaklah menguntungkan siapa-siapa selain pihak yang (ingin) berkuasa sehingga jangan sampai terulang untuk ke depannya.

Minimnya sarana pengingat, baik yang disediakan oleh pemerintah maupun yang dihadirkan secara swadaya oleh masyarakat, dapat menjadi penghambat bagi berkembangnya budaya mengingat yang efektif. Budaya mengingat yang dapat menjadi sarana pembelajaran dan bukan hanya menjadi sarana penyalur kebencian. Hal ini perlu menjadi perhatian karena kadar ingatan sebuah bangsa pastilah berkelindan dengan perjalanan di masa depan.

Sebagai contoh, jangan-jangan, terus terpilihnya calon kepala daerah yang sudah pernah tersandung kasus korupsi merupakan hasil dari pendeknya rentang ingatan bangsa ini. Lemahnya budaya mengingat kita pun jangan-jangan juga turut berkontribusi pada keberhasilan Partai Berkarya dalam meraup 2,1% suara pada Pemilu 2019 lalu. Maka, budaya mengingat bukanlah sekedar tentang nostalgia belaka, namun seharusnya justru menjadi penanda agar kita tidak jatuh ke lubang yang sama.

Belajar dari Negara Termuda di Eropa

Tak perlu jauh-jauh melihat ke negara seperti Jerman yang memang memiliki budaya mengingat yang kuat terutama karena pengalaman traumatis berada di bawah rezim fasis Nazi untuk melihat pentingnya memelihara memori kolektif sebuah bangsa. Cobalah tengok Kosovo, negara termuda di benua Eropa yang baru saja merdeka 11 tahun yang lalu.

Walaupun status kemerdekaan Kosovo masih diperdebatkan oleh komunitas internasional, bahkan oleh Indonesia, masyarakat sipil Kosovo memilih untuk mengedepankan pentingnya budaya mengingat sebagai salah satu jalan menuju rekonsiliasi. Sebagai bangsa yang telah melewati puluhan tahun diskriminasi dan penindasan di bawah pemerintahan Serbia, bangsa Kosovo memiliki hubungan yang pelik dengan bangsa Serbia. Padahal, etnis Serbia adalah etnis terbesar kedua di Kosovo, sebanyak 8%, setelah etnis Albania yang merupakan etnis mayoritas di Kosovo.

Tanpa menunggu peran negara, sebuah organisasi nirlaba lokal bernama Humanitarian Law Center memilih untuk menghadirkan sarana pengingat secara swadaya dengan mengadakan sebuah pameran bertajuk Once Upon a Time and Never Again. Pameran ini berisikan memorabilia dan kisah mengenai ribuan anak-anak yang hilang dan meninggal akibat perang di Kosovo dalam kurun waktu 1998-2000.

Secara sengaja, pameran ini mengambil risiko dengan tidak memisahkan antara data korban dari etnis Albania dan Serbia. Hal yang sebetulnya tidak umum dalam penyajian narasi korban perang di Kosovo. Namun menurut Bekim Blakaj – Direktur Eksekutif Humanitarian Law Center, yang menarik adalah bahwa ternyata tidak ada satu pun pengunjung yang menanyakan, berapa banyak anak Albania yang meninggal, atau berapa banyak anak Serbia yang hilang. Seakan semua sadar bahwa pada akhirnya, semua anak-anak tersebut adalah sama. Mereka semua adalah korban.

Pameran serupa untuk mengenang korban yang hilang juga ditempatkan secara permanen di Gedung Parlemen Kosovo dengan judul Living with the Memories of the Missing. Pameran yang diadakan oleh organisasi nirlaba lokal bernama Integra ini berisikan kumpulan foto dan kutipan para korban. Terdapat juga instalasi 1.653 kunci yang digantung sepanjang koridor sebagai simbol dari orang-orang yang masih tidak diketahui keberadaannya hingga saat ini. Harapannya, pameran ini dapat menjadi pengingat bagi para anggota parlemen untuk bekerja lebih keras lagi dalam menuntaskan kasus orang hilang yang belum tuntas.

Mengembangkan Budaya Mengingat

Kedua pameran di atas menjadi bukti bahwa kita tidak perlu menunggu negara membangun museum untuk merawat memori kolektif bangsa. Masyarakat sipil memiliki peranan utama dalam menghadirkan sarana pengingat yang dapat diakses publik secara mudah. Apalagi, dengan tingkat literasi di Indonesia yang masih tergolong rendah, terkadang penerbitan buku dan karya ilmiah belum tentu efektif dalam menjangkau masyarakat luas.

Melalui cara yang lebih kreatif dan populer, publik diharapkan dapat secara aktif turut memelihara ingatan sebagai bentuk pembelajaran yang berkelanjutan. Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang secara mandiri didirikan di sebuah ruko di Serpong oleh Azmi Abubakar dapat menjadi contoh baik terkait inisiatif publik dalam mengembangkan budaya mengingat.

Semoga ke depan pembicaraan terkait G30S bukan hanya berkutat pada siapa korban dan siapa pahlawan tetapi lebih menitikberatkan pada apa yang bisa kita lakukan demi tidak terulangnya peristiwa serupa karena, apabila masih ada orang yang dipersekusi hanya karena dituduh berbeda, apalagi ternyata tuduhannya hanyalah hoaks belaka, maka berarti kita telah gagal dalam mengingat.

Mengingat bahwa dalam segala konflik horizontal, kita semua akan berujung menjadi korban. Sebuah pembelajaran yang seharusnya terpatri pada setiap insan yang mengingat – bukan hanya menghafal – pahitnya tragedi dan ekses dari G30S.

Tulisan milik Danang Aditya Nizar, mahasiswa Magister di University of Sussex, UK.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version