Desakan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) atas revisi UU KPK semakin deras. Pertanyaannya, apakah desakan untuk mengeluarkan Perppu tersebut memenuhi unsur kegentingan yang memaksa?
PinterPolitik.com
Isu revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi polemik yang ramai dibahas di masyarakat saat ini. Banyak substansi dari revisi UU KPK tersebut menuai pertanyaan dan permasalahan.
Seperti yang disampaikan KPK dalam publikasinya, setidaknya ada 26 poin dalam RUU KPK yang berisiko melemahkan KPK, yaitu pembentukan Dewan Pengawas yang berperan langsung dalam supervisi tindakan penuntutan KPK. Beberapa pihak menilai bahwa terdapat kebutuhan untuk pengawasan eksternal terhadap KPK tetapi sangat disayangkan apabila pengawasan ini kemudian hanya menjadi penghalang untuk ruang gerak KPK dalam menyelidiki dan menyidik dugaan korupsi di ranah pro justitia.
Polemik di masyarakat juga muncul terkait penghapusan kewenangan penanganan kasus korupsi yang meresahkan publik, status penyidik KPK sebagai aparatur sipil negara, hilangnya ketentuan penyidik independen, dan sederet permasalahan lainnya. Tidak hanya pada RUU KPK saja, seleksi calon pimpinan (capim) KPK pun menimbulkan keresahan karena panitia seleksi (pansel) masih saja meloloskan capim-capim bermasalah.
Menjadi wajar bila kemudian masyarakat meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk menyelamatkan KPK. Posisi lembaga pemberantasan korupsi yang dinilai kini berada di ujung tanduk itu tentu meresahkan masyarakat.
Bahkan, terang sudah di dalam penjelasan UU KPK sendiri bahwa sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut.
Original intent pembentukan KPK tidak lepas dari bagaimana pembentukan komisi negara independen, di mana Bruce Ackerman dalam tulisannya yang berjudul The New Separation of Powers menegaskan kelahiran komisi negara independen sebagai bentuk penolakan terhadap model pemisahan Amerika Serikat. Argumentasi Ackerman tersebut seakan menegaskan logika latar belakang kelahiran komisi negara independen adalah konsekuensi dari transisi menuju demokrasi yang terjadi di beberapa belahan dunia.
Kelahiran komisi-komisi negara ini, baik yang bersifat independen maupun yang sebatas lembaga eksekutif, sekali lagi adalah bentuk ketidakmampuan gagasan trias politica dalam menghentikan rezim otoriter yang sempat muncul, bahkan dalam perkembangan ketatanegaraan melahirkan tirani dan otoritarianisme model yang baru, yaitu terkait perilaku korupsi di suatu negara.
Kedudukan KPK yang begitu independen dan penanganannya yang secara khusus dalam korupsi telah berkontribusi begitu besar dalam penanganan kasus korupsi dan penurunan perilaku korupsi. Maka, sangat disayangkan jika lagi-lagi KPK dijadikan objek untuk dilemahkan kewenangannya dan diperlukan upaya untuk menyelesaikannya melalui Perppu.
Pertanyaannya adalah siapa yang menentukan kapan dan dalam keadaan seperti apakah kondisi yang disebut sebagai hal ihwal kegentingan yang memaksa telah terpenuhi sehingga Presiden berhak menetapkan Perppu tersebut?
Sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Perppu ini kemudian harus mendapatkan persetujuan oleh DPR untuk berlaku, dan apabila tidak maka Perppu akan dicabut. Frasa ‘ihwal kegentingan yang memaksa’ inilah yang memiliki tolok ukur yang berbeda dan bersifat kasuistis karena tidak semua kasus lantas dapat disebut kegentingan yang memaksa.
Dalam ketentuan putusan MK No 138/PUU-VII/2009, telah ditetapkan 3 (tiga) syarat adanya kegentingan yang memaksa seperti halnya yang dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945, antara lain adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-undang, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang yang tidak memadai dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Penafsiran lain tentang ‘kegentingan yang memaksa’ pun disampaikan oleh Prof. Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Lembaga Kepresidenan. Setidaknya, terdapat dua ciri umum, yaitu ada krisis (crisis) dan sifat mendesak (emergency).
Suatu keadaan krisis terjadi apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbance). Sementara, sifat mendesak (emergency) terjadi apabila hadir berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu, atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar (reasonableness) apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.
Jika menganalisis dari tolok ukur yang ditentukan di atas, persoalan kegentingan yang memaksa dalam kriteria yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) adalah berdasarkan permasalahan yuridis, tepatnya pada ada atau tidaknya instrumen hukum yang memadai untuk menyelesaikan. Sementara, dalam penafsiran yang disampaikan oleh Prof. Bagir Manan, lebih menempatkan pada unsur krisis yang mendesak dan telah secara nyata terjadi di tengah masyarakat, sehingga perlu penyelesaian secara cepat.
Lalu, apakah persoalan KPK saat ini dapat dikatakan memenuhi unsur ‘kegentingan yang memaksa’?
Melihat salah satu permasalahannya yaitu seleksi pimpinan KPK, permasalahannya terletak pada tidak memadainya substansi hukum untuk diterapkan. Pada Pasal 29 UU KPK, dijelaskan bahwa syarat menjadi pimpinan KPK yaitu tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik.
Lantas, mengapa calon pimpinan KPK yang telah melanggar kode etik KPK disebut sebagai calon yang memenuhi syarat? Bahkan, hal ini memenuhi unsur reasonableness karena telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar dan perlu untuk segera diatur dalam Perppu untuk membatalkan pengangkatan pimpinan KPK yang bermasalah.
Selain itu, terkait substansi dari RUU KPK, sudah jelas bahwa UU yang sekarang tidak menyelesaikan dan membatalkan substansi RUU KPK yang bermasalah. Pada praktiknya, tidak jarang presiden memunculkan Perppu untuk mencegah substansi pada RUU yang bermasalah untuk berlaku.
Seperti contohnya, Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota yang muncul karena DPR hendak merevisi UU Pilkada yang akan disahkan dan ternyata bermasalah karena mengembalikan pilkada tidak langsung. Maka, tidak mustahil pula dilakukan pada RUU KPK.
Tentu, ini menjadi langkah preventif jika terlebih dahulu diselesaikan oleh presiden melalui Perppu dan tidak serta merta diujikan ke MK melalui judicial review. Jika rancangan undang-undang sudah jelas bermasalah, lalu untuk apa sampai menunggu masyarakat melakukan judicial review ke MK? Sudah seharusnya DPR dan presiden bersepakat menerbitkan Perppu untuk KPK sebagai representasi suara masyarakat bertindak layaknya wakil rakyat.
Tulisan milik Fatimah Salsabila, mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Diponegoro.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.