Kekuatan kolektif masyarakat Indonesia nyatanya masih sangat besar di kala pemerintah dinilai lamban merespon prioritas public safety di tengah pandemi Covid-19. Antusiasnya rakyat Indonesia dalam pemberian donasi (charitable giving) di lini masa berbagai sosial media menunjukkan semangat membantu sesama menjadi kekuatan tersendiri untuk keluar dari situasi sulit.
PinterPolitik.com
Dapat kita rasakan bersama dampak secara nyata imbas mewabahnya pandemi Covid-19 di Indonesia. Utamanya, terkait aktivitas sehari-hari seperti bekerja, sekolah, hingga aktivitas jual-beli sedikit banyak terganggu. Terlebih saat imbauan Presiden Jokowi 15 Maret lalu kepada masyarakat untuk menerapkan social distancing serta melaksanakan aktivitas bekerja, belajar, dan ibadah di rumah masing-masing.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah terinfeksi Covid-19 di Indonesia, implementasi pengurangan aktivitas juga semakin banyak diterapkan. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Indonesia menerapkan metode belajar jarak jauh. Beberapa perusahaan juga menerapkan bekerja dari rumah (work from home) kepada para karyawannya. Selain itu, segala aktivitas keramaian termasuk peribadatan di seluruh tanah air sangat diimbau untuk ditiadakan sementara waktu.
Pemerintah Indonesia tengah dan terus disorot berbagai pihak, terutama oleh masyarakat, dalam penanganan pandemi Covid-19. Sejak seluruh dunia mulai waspada akan meluasnya virus yang berasal dari Wuhan ini pada Januari lalu, pemerintah saat itu terkesan santai cenderung menyepelekan.
Jika kita lihat satu per satu respon hingga kebijakan pemerintah Indonesia dalam respon awal sejak Januari, antisipasi hingga penanganan Covid-19 saat ini, tentu masih sangat jauh dari harapan publik. Di saat negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan tertinggi serta merencanakan upaya maksimal mengantisipasi penyebaran virus di negaranya, Indonesia terkesan terlalu santai dan tidak ada keseriusan sama sekali ketika itu.
Pada akhir Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengumumkan keadaan darurat internasional virus yang masih bernama virus Corona Wuhan. Ketika itu tercatat 7.800 lebih kasus di seluruh dunia dengan tingkat kematian sekitar 2 persen dari jumlah tersebut.
Selain itu, nihilnya kasus virus tersebut di Indonesia pada saat itu juga diragukan dunia internasional. Diplomat Amerika Serikat pada Februari menyampaikan kekhawatirannya kepada pejabat tinggi pemerintah Indonesia mengenai antisipasi penanganan Covid-19.
Lalu peneliti di Universitas Harvard juga menyampaikan Indonesia harus sangat waspada akan kasus yang tidak terdeteksi. Hingga WHO sendiri khawatir sampai saat tersebut tidak ada kasus Covid-19 di negara dengan hampir 270 juta penduduk ini.
Menyikapi keraguan dan kekhawatiran tersebut, pemerintah Indonesia sama sekali belum menunjukkan upaya antisipasi serius. Bukannya meningkatkan pengawasan dan upaya antisipasi, beragam pernyataan kepada publik yang disajikan pun terkesan main-main. Beberapa di antaranya seperti Menkes yang justru menantang peneliti Harvard untuk membuktikan bahwa memang ada kasus positif virus tersebut di Indonesia, sekaligus menganggapnya sebagai hinaan bagi Indonesia.
Kemudian terdapat pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada akhir Februari. Ia mengatakan salah satu peran besar menjaga Indonesia dari ancaman Covid-19 berkat doa qunut para ulama dan kyai.
Menkes Terawan juga menyatakan semua karena doa dan yakin doalah yang membuat Indonesia bebas virus Corona. Sebagai bagian dari pihak yang beragama, tentu menempatkan doa pada tempat istimewa, tetapi pernyataan Wapres dan Menkes tersebut dinilai kurang tepat di saat tersebut.
Lalu ada rangkaian sesumbar dan kelakar yang tidak perlu keluar dari tanggapan pejabat publik. Menteri Perhubungan pernah berkelakar bahwa kita kebal virus Corona karena kegemaran masyarakat menyantap nasi kucing. Menkopolhukam Mahfud MD tidak ketinggalan. Lewat unggahan Twitter pada 15 Februari lalu, kelakar yang konon didapat dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan karena perizinan di Indonesia berbelit-belit, maka virus corona tak bisa masuk.
Setelah konfirmasi pertama keberadaan positif Covid-19 di Indonesia oleh Presiden Jokowi pada 2 Maret, auto “membungkam” santuy-nya pemerintah di kesempatan-kesempatan sebelumnya. Penanganan Covid-19 sendiri sampai saat ini dinilai mendapat persepsi kurang memuaskan dari publik.
Lalu benarkah strategi dan manuver pemerintah kurang mumpuni sejaun ini dalam penanganan Covid-19 jika dilihat dari indikator dasar tata kelola pemerintahan yang baik?
Fatamorgana Good Governance
Konsep tata kelola pemerintah selama ini kita telah kenal sebagai bagian dalam menilai sejauh mana sebuah pemerintahan dijalankan dengan baik (good governance).
United Nations Development Program (UNDP) telah mengeluarkan serangkaian definisi serta indikator-indikator bagi sebuah pemerintahan dalam penerapan good governance. Dalam policy document UNDP, tata kelola pemerintahan yang baik ialah penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan integritas dan kohesivitas sosial dalam masyarakat.
Terdapat beberapa karakteristik vital good governance UNDP di atas yang tidak dipenuhi penanganan Covid-19 oleh pemerintah, yaitu responsiveness atau aspek tanggung jawab terhadap komprehensifitas penanganan persoalan. Selain itu equity atau aspek yang berkeadilan tidak secara jelas terwujud dalam upaya penanganannya.
Sejak awal pengumuman keberadaan positif Covid-19 di Indonesia, publik masih menilai komunikasi yang dijalin maupun kebijakan penanganan pemerintah belum maksimal. Koordinasi serta respon cepat dan tepat pemerintah dinilai tidak terkelola dengan baik.
Selain itu, prioritas pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi dinilai cenderung ke arah ekonomi (economic policy) dan seolah mengabaikan keselamatan publik (public safety), dalam hal ini masyarakat luas. Meskipun aspek ekonomi sangat fundamental agar terhindar dari krisis, namun ketika situasi pandemi ini telah menjadi ancaman terbesar, tentu harus diutamakan ialah hak hidup dan keselamatan setiap warga negara tanpa terkecuali.
Di tengah seharusnya kewaspadaan serta penanganan virus yang komprehensif dikedepankan, Luhut Panjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi pada 21 Februari 2020 lalu justru menyatakan ingin agar tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok kembali ke Indonesia lagi segera setelah Corona mereda.
Lalu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif justru berencana menggelontorkan insentif 72 miliar rupiah bagi sektor pariwisata dan influencer pada 25 Februari 2020 lalu. Kemudian Presiden Jokowi menyusul memberikan diskon hotel dan pesawat yang berlaku pada 1 Maret 2020 untuk memulihkan kembali sektor pariwisata.
Terlebih ketika Indonesia telah dinyatakan sebagai negara terjangkit positif Covid-19. Antisipasi yang kurang baik membuat tidak hanya sektor ekonomi, namun hingga penanganan di berbagai fasilitas kesehatan itu sendiri yang terkesan tanpa perencanaan yang matang.
Akibatnya, selain belum jelasnya penanganan Covid-19 ini, kohesivitas sosial pun tidak tercapai dengan maraknya panic buying hingga kelangkaan dan mahalnya berbagai macam kebutuhan. Itu tentu mengindikasikan implementasi good governance yang tidak terlaksana.
Namun dibalik segala kekeruhan di atas, masih ada secercah cahaya solidaritas sosial yang timbul belakangan ini. Apakah itu?
People, Please do Your Magic!
Gerakan sosial membantu sesama di media sosial semakin gencar kala pandemi Covid-19 terjadi. Hal ini kemudian dipandang sebagai alternatif lambannya penanganan pemerintah terhadap terjaminnya public safety.
Gerakan itu sendiri bertujuan untuk membantu kalangan rentan di masa sulit saat ini seperti tenaga medis, pengemudi ojek daring, petugas kebersihan, pedagang keliling, serta pekerja berpendapatan tidak tetap lainnya.
Konsep virtual Conspicuous Donation Behaviour (CDB) hadir menjelaskan fenomena/gerakan donasi yang digalakkan via media sosial, terutama di kalangan muda. Konsep donasi ini terserap di kalangan muda beriringan dengan tren dan gaya hidup mereka di dunia teknologi informasi.
Di tengah pandemi Covid-19 ini, beberapa selebriti hingga influencer Indonesia ramai-ramai menggalang dana bagi mereka yang rentan terdampak, baik secara fisik maupun ekonomi. Rachel Vennya, Arief Muhammad/@Poconggg, dan Afgan Syahreza menggalakan donasi via Twitter serta platform kitabisa.com dan saat ini masing-masing telah mengumpulkan 4,5 miliar, 1,8 miliar, dan 2,8 miliar rupiah. Sebuah angka yang fantastis bukan?
Rencananya jumlah tersebut akan dikonversi ke berbagai bentuk bantuan seperti alat pelindung diri, alat disinfektan, subsidi cek virus Corona, alat sanitizer, vitamin, dan kebutuhan harian lainnya bagi kalangan yang rentan di saat seperti ini.
“Twitter, please do your magic! dan ekspresi gerakan (media) sosial nan luhur lainnya merupakan jargon yang sudah tidak asing lagi di masa kekinian. Gerakan tersebut sekaligus menjadi salah satu yang “menyentil” pemerintah di kala pandemi nyatanya menimbulkan kerentanan yang tidak kalah mengancamnya bagi kalangan tertentu.
Gerakan alternatif yang semakin populer inipun menjadi semangat baru kohesivitas sosial di masyarakat dalam menghadapi pandemi secara kolektif. Diharapkan berbagai gerakan positif ini dapat menyebar ke seluruh aspek kehidupan masyarakat lainnya hingga kita dapat keluar dari situasi sulit ini. Tentu itu yang kita inginkan bersama. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.