“Suatu saat pasti kan datang, saat-saat paling menakutkan. Sang malaikat pencabut nyawa kan merenggut ruhmu dari badan”. – Rhoma Irama, Kematian
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]emilu di Indonesia kali ini memang berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pada tahun 2014 lalu, pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden waktunya berbeda.
Nah, kalau kali ini, masyarakat Indonesia diminta untuk memilih capres-cawapres, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara bersamaan. Waah, banyak banget ya. Apa gak ribet penghitungannya nanti? Untung pilkades dan pemilihan RT/RW nggak serentak juga. Kan bisa kacau semuanya. Hadeh.
Saking menariknya, banyak media internasional seperti CNN, BBC, The Guardian, Reuters dan Al Jazeera menyoroti penyelenggaraan Pemilu ini. Mereka mengatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2019 sebagai yang terbesar dan ter-rumit di dunia.
Waduh, jika memang seperti itu, bagaimana ya nasib Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)? Apa gak bingung dan pusing ngitung itu semua? Apalagi ini adalah Pemilu serentak pertama kali di Indonesia.
Secara keseluruhan, jumlah yang meninggal dalam Pemilu ini mencapai 54 orang. Sedangkan jumlah petugas yang sakit sebanyak 32 orang. Share on XTau gak sih gengs, ternyata Pemilu serentak ini juga menyisakan pilu tersendiri bagi para anggota KPPS dan jajarannya. Mereka rela tidak tidur berhari-hari hingga merasa stres dan tertekan. Bahkan ada yang sampai meninggal dunia loh. Waduh, berapa sih korban jiwanya?
Secara keseluruhan, jumlah yang meninggal dalam Pemilu ini mencapai 54 orang. Sedangkan jumlah petugas yang sakit sebanyak 32 orang.
Waah, banyak banget ya. Lantas kalau kondisinya seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah siapa ya yang bertanggung jawab? Terus, efektif apa tidak ya Pemilu serentak seperti ini?
Beberapa lembaga pun memberikan kritik akibat banyaknya korban jiwa di penyelenggaraan Pemilu kali ini. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) misalnya, menilai bahwa antara beban dan tanggung jawab yang begitu besar tidak diimbangi dengan hak yang setimpal.
Insentif yang diterima oleh petugas KPPS sangat minim, tidak terdapat jaminan asuransi kesehatan atau kematian. Padahal beban kerja yang dilakukan cenderung tidak manusiawi.
Selain Perludem, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga meminta pemerintah agar mengkaji ulang terkait penyelenggaraan Pemilu serentak tersebut agar tidak dilaksanakan dalam waktu satu hari.
Waah, siapa sih sebenarnya yang mengusulkan adanya Pemilu serentak? Kok gak berfikir sejauh ini? Kalau sudah begini bagaimana dong?
Pemilu serentak ini emang dulu diusulkan oleh pakar komunikasi Effendi Ghazali dan kawan-kawannya. Argumentasinya memang sakti karena penghematan anggarannya bisa mencapai Rp 120 triliun – begitu kata mereka pada tahun 2013 lalu.
Tapi, mungkin perlu dipikirkan lagi nih pelaksanaannya. Apakah sepadan dampaknya terhadap kehilangan nyawa? Atau terhadap ibu-ibu hamil anggota KPPS yang harus keguguran karena non-stop bertugas?
Pemilihan cawapres Jokowi aja sampai ada drama antara Mahfud MD dan Ma’ruf Amin juga gara-gara Pemilu serentak kok. Upppss. (F46)