Berbagai rancangan undang-undang (RUU) yang mulanya akan disahkan memunculkan polemik di masyarakat. Apakah peraturan-peraturan tersebut merupakan perpanjangan tangan dari kekuatan oligarki?
PinterPolitik.com
Revisi UU KPK bernuansa oligarki? Pertanyaan ini terus terngiang mengingat bahwa ada indikasi upaya untuk melemahkan KPK. Mengenai hal ini, saya ingin menyampaikan argumen tentang akar permasalahan dalam setiap perumusan kebijakan maupun undang-undang yang kontroversial.
Akar permasalahannya terletak pada “demokrasi oligarki” hasil intervensi kaum oligark (pelaku oligarki). Dalam kasus ini, jenis oligarki yang menjangkiti demokrasi adalah oligarki politik dan ekonomi yang termanifestasi dalam partai politik (parpol) dan kaum yang mendanai political costs figur yang mencalonkan diri di bursa pemilu.
Bentuk utama dari oligarki politik di parpol adalah hadirnya “orang-orang kuat sebagai penentu keputusan (strong decision maker)” direpresentasikan oleh orang-orang yang punya modal kapital dan sosial amat besar. Mereka punya jaringan bisnis yang luas, kolega bisnis yang banyak, dan memegang peranan penting sebagai pengendali (pemilik) media massa tertentu.
Parpol tidak lagi menjadi representasi ideologis yang menjadi wadah bagi rakyat untuk unjuk aspirasi guna berjuang mendatangkan keadilan sosial dan kesejahteraan. Firman Noor dalam tulisannya yang berjudul Fenomena Oligarki Partai menyebutkan bahwa parpol di Indonesia tidak dibentuk oleh elemen masyarakat, seperti serikat pekerja atau komunitas sosial yang mewakili kelas tertentu. Parpol di Indonesia lebih banyak didominasi secara personal oleh strong decision maker tadi. Mereka terkesan mempersonalisasi parpol (personalized political parties) bagi kepentingan pribadi dan golongan (kolega oligark politik dan ekonomi), bukan kepentingan kolektif seluruh masyarakat.
Jika kita menggunakan pendekatan Agency Theory dari Michael C. Jensen dan William H. Meckling, oligarki politik membuat agency cost dari rakyat tidak bernilai. Kita ibaratkan Parpol, DPR, dan Presiden itu sebagai agen dan rakyat sebagai prinsipal. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi mendelegasikan aspirasi dan pengambilan keputusan kepada para agen. Jadi, agen diberi wewenang mengatur negara tetapi sesungguhnya harus tetap menguntungkan rakyat.
Agency cost rakyat itu terimplikasi dalam posisi mereka sebagai konstituen yang memberi kekuatan elektoral kepada para agen (caleg dan capres) sehingga agen dipercaya untuk mengelola negara.
Sayangnya, posisi parpol yang dinaungi kaum oligark tidak menjadi representasi agen. Mereka justru menjadi representasi the fake principal yang mencampuri urusan agen karena tidak ingin merasa dirugikan. Mereka juga mengklaim diri sebagai pihak yang mengeluarkan agency cost ketika mendukung secara politik dan ekonomi (pendanaan kampanye, media massa, dan sejenisnya) figur yang mereka usung di bursa pemilu.
Jika kita tetap berpedoman pada teori keagenan, kita bisa menelusuri bahwa revisi UU KPK berpeluang melemahkan ruang gerak komisi anti-rasuah tersebut. Ilustrasinya seperti ini, kita anggap KPK merupakan satu-satunya komisi yang dipercaya oleh the real principal (rakyat sesungguhnya) untuk mengawasi kinerja agen karena seringkali agen memiliki kepentingan yang bertolak belakang dengan prinsipal.
Agen memiliki kepentingan menguntungkan diri dan golongan dengan melakukan suap, merekrut anggota secara nepotisme, mark-up anggaran, hingga melakukan korupsi. KPK hadir untuk mempersempit ruang gerak agen yang korup itu.
Namun, kita tidak boleh lupa bahwa terdapat the fake principal yang punya kepentingan. Mereka mengintervensi para agen sebagai pengambil kebijakan. Mereka tidak ingin agen tersebut terhambat ruang geraknya karena mereka menganggap hal itu membuat mereka dirugikan.
Agen yang ruang geraknya dibatasi tidak bisa melakukan lobi-lobi bisnis dan politik yang mendatangkan keuntungan bagi the fake principal. Akhirnya, ruang gerak KPK dibatasi. Mereka dijadikan sebagai bagian dari lembaga eksekutif agar dapat dikontrol.
Upaya penyidikan mereka dibatasi agar agen korup bisa leluasa melanggengkan tugas mereka bagi the fake principal maupun mengembalikan political costs agen yang korup itu. Pembentukan dewan pengawas semakin mempersempit ruang gerak KPK, apalagi jika dewan pengawas dipilih oleh Presiden atau DPR.
Penyadapan juga harus seizin dewan pengawas agar tidak leluasa menelusuri jejak korupsi. Kaum oligark semakin leluasa bergerak sebagai the fake principal ketika mereka juga ikut mengintervensi pembuatan peraturan atau undang-undang untuk mempersempit ruang gerak the real principal.
Jika memakai pendekatan Jonah D. Levy dalam tulisannya yang berjudul The State After Statism, kaum oligark itu bisa memengaruhi pengambilan kebijakan atau undang-undang yang mengarah pada statisme negara. Negara menjadi representasi kaum oligark yang memegang kedaulatan tertinggi dengan mengatur seluruh kehidupan sosial dan ekonomi di masyarakat. Mereka mengendalikan sumber daya ekonomi dan membatasi ruang gerak sosial dari masyarakat secara represif, bahkan sampai ke ranah privat.
Kita bisa lihat indikasi semacam itu tampak dalam revisi KUHP yang sampai mengatur hal-hal privat macam ranah keyakinan (agama) hingga seks. Statisme negara juga menjadi ciri-ciri munculnya otoritarianisme. Segala urusan publik diatur negara secara represif melalui pidana. Artinya, ruang gerak the real principal (masyarakat biasa, kelas bawah, gelandangan, di luar pusaran oligarki) sangat dibatasi dan menjadi terancam jika berperilaku melawan konstitusi (transaksional) tersebut.
Lantas, bagaimana melawan kekuatan kaum oligark?
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya sudah melakukan reformasi untuk mengatasi kesenjangan dampak oligarki ekonomi. Kebijakan-kebijakan pro rakyat seperti redistribusi aset melalui reforma agraria juga sangat berpihak pada rakyat untuk dapat mengelola aset demi mengatasi kesenjangan ekonomi, kebijakan dana desa, tax amnesty, reformasi birokrasi, dan sebagainya dengan dijalankan dengan cukup bagus. Namun, itu semua belum menyentuh akar permasalahan untuk mengatasi munculnya oligarki politik dan ekonomi dalam skala yang lebih kompleks.
Semua hal baik itu justru bertolak belakang ketika Jokowi (sebagai presiden) meneken Undang-Undang Pemilu yang memuat Presidential dan Parliament Threshold. Kedua hal itu sebenarnya sangat melanggengkan kekuatan oligarki karena akan membuat oligark leluasa berkoalisi melalui basis dukungan modal kapital dan sosial yang besar.
Selain itu, parpol ternama yang dinaungi para oligark juga mendapat keuntungan coat–tail effect dari capres usungannya dan membuat kader (caleg) mereka lolos ke kursi wakil rakyat. Dominasi oligark semain menguat di eksekutif maupun legislatif.
Kita sangat berharap Jokowi di periode kedua pemerintahannya dapat melakukan reformasi besar-besaran dalam hal ini. Setidaknya, dapat dimulai dari hal yang paling mendasar, yaitu mengubah aturan pendanaan parpol agar tidak didominasi oleh kaum oligark.
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memodifikasi mekanisme pembiayaan tokoh politik, serta kampanye menjelang pemilu yang cenderung dikuasai oleh oligark ekonomi pemilik tambang batu bara, kelapa sawit, minyak & gas bumi, pebisnis, dan sebagainya. Pasalnya, pembiayaan semacam itu dapat mendorong terjadinya politik transaksional karena bentuk dukungan tersebut bernuansa komersil.
Pada intinya, anggota parpol harus menjadi representasi the real principal berdasarkan merit system. Parpol harus benar-benar dekat dan melibatkan masyarakat. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan tidak mudah diintervensi oleh kaum oligark.
Tulisan milik Yukaristia, Sarjana Pendidikan Akuntasi dari Universitas Negeri Malang.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.