Ketum PKB Muhaimin Iskandar bisa jadi tengah melakukan branding terhadap diri dan partainya. Dengan manuver tertentu, Cak Imin (kini Gus AMI) memiliki peluang untuk mengunci posisi politik tertentu di masa depan sekaligus menghadapi tantangan dan hambatannya.
PinterPolitik.com
Perhelatan Muktamar V Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) digelar dengan tanya. “Jangan-jangan PKB ingin memperoleh suara besar di Bali,” kata Presiden Joko Widodo ketika membuka kongres partai yang didirikan para kiai Nahdlatul Ulama ini pasca reformasi.
Jokowi lalu melanjutkan dengan merujuk kepada kader PDI-P, “Hati-hati Pak Gubernur, hati-hati Ketua DPD-DPD.” Hadirin tertawa dan suasana di International Convention Center Westin Resort, Nusa Dua, itu pecah sekaligus menjadi hangat.
Canda Jokowi cukup beralasan, mengingat pada Pemilu 2019 ini, PKB mampu merangsek menjadi partai menengah ditingkat nasional. Pada Pemilu yang menerapkan pemilihan serentak kali pertama, PKB menempati urutan keempat dengan perolehan suara 9,69%.
Hasil tersebut merupakan peningkatan dari dua Pemilu sebelumnya – menempati urutan kelima dengan 9,09% pada tahun 2014 dan di urutan kelima dengan 4,94% pada tahun 2009. Kini, dengan mendapatkan 56 kursi di DPR, PKB menatap target lain.
Abdul Muhaimin Iskandar, yang didapuk kembali menjadi Ketua Umum PKB, telah melancarkan strategi branding partai. Perubahan nama panggilan Cak Imin, yang diganti Gus AMI, jika dilihat dari sisi posisi branding sebuah nama, tidak sekadar mengubah diksi.
Ketum PKB tersebut kemungkinan besar punya maksud lain mengganti sebutan Cak Imin – yang dipersepsikan atas panggilan akrab terhadap laki-laki di Jawa Timur – dengan Gus AMI yang dinilai lebih kuat posisi makna katanya. Gus bersifat identik dengan anak kiai, kultur pesantren, dan menyiratkan simbol agama yang kuat.
Transformasi nama panggilan menjadi Gus AMI tentu juga tidak terlepas standar panggilan “Gus.” Dari garis keturunan, Muhaimin adalah anak Kiai Muhammad Iskandar, yang merupakan anak dari Kiai Bisri Syamsuri. Jadi, Gus AMI adalah cucu pendiri NU, yang secara kultural dan simbolik, dekat dengan sebutan “Gus” – sebagai panggilan istimewa pada mereka yang dianggap “trah” atau keturunan para kiai.
Secara politik, panggilan “Gus” diamini kader PKB lewat baliho besar saat muktamar, khususnya 34 DPW PKB, yang secara aklamasi memilih Gus AMI lagi untuk memimpin PKB sampai Pemilu 2024. Posisi politik Gus AMI pasca Jokowi kembali terpilih membuka keran peluang menyasar RI-1 – plat nomor mobil yang dipakai Presiden Republik Indonesia.
Namun, terlalu dini, jika perubahan panggilan nama Ketum dan penambahan gambar lebah dalam logo PKB – yang disebut “memberi manfaat” – dianggap sebagai sekadar politik praktis untuk maju dalam gelanggang kompetisi demokrasi di 2024. Gus AMI bisa saja lebih berfokus untuk menjaring dukungan politik baru dan menguatkan simbol PKB sebagai partai yang lekat dengan NU.
Modal Gus AMI
Salah satu gaya politik Gus AMI bila dibandingkan para ketua umum partai lainnya adalah sikap mudah bergaul. Mungkin, ketum PKB tersebut pandai dalam bercanda tetapi terukur dan sesuai konteks. Tak heran apabila ia kerap melemparkan kritik dan berbagi informasi lewat media sosial seperti lazimnya generasi milenial.
Di Twitter Gus AMI, terhitung pada 26 Agustus 2019, telah memiliki 160.277 lebih pengikut dan telah mengeluarkan cuitan sebanyak 18.115 lebih. Sementara di Instagram, ia memiliki 127.000 lebih pengikut, dan telah mengeluarkan 2.166 lebih postingan.
Gus AMI dikenal lincah menyampaikan kata kunci untuk menarik simpati. Ia sempat menggoda mantan Cawapres Sandiaga Uno agar merapat ke partainya. Namun, di sisi lain, ia menolak masuknya partai baru dalam koalisi partai pendukung Jokowi.
Ketum PKB tersebut juga sempat melirik kursi Ketua MPR untuk memerangi sentimen ideologi radikal yang kemudian belakangan hari ini didukung Wakil Presiden Terpilih Ma’ruf Amin. Posisi dirinya meraih kursi lembaga tinggi negara itu dinilai punya kapabilitas karena partainya diklaim memiliki kemampuan mengatasi masalah kebhinekaan yang mulai pudar.
Selain didukung penuh gerbong PKB – meski terselip celah retak saat Wakil Ketua PKB Rusdi Kirana sekaligus bos Lion Grup dan Dubes Indonesia untuk Malaysia memilih mundur, Gus AMI punya bekal dukungan di berbagai posisi strategis.
Ia menjadi salah satu sosok yang getol mengusung Ma’ruf Amin, saat itu Ketua Umum MUI dan Rais A’am PBNU, menjadi Cawapres berpasangan dengan Jokowi. Ia pasang badan tetap mengunci Ma’ruf, meski nama Mahfud MD, dari kalangan NU juga kala itu menguat. Koneksinya dengan Ketum PBNU, Said Aqil Siradj, juga terjalin baik. PKB, saat pra Pemilu, sering membantu NU dibidang program sosial dan kesejahteraan warga Nahdliyin.
Polarisasi kekuatan di antara PKB, NU, dan Wakil Presiden Terpilih Ma’ruf Amin membuka ruang kolaborasi ketiganya dalam kepentingan tertentu dalam lima tahun ke depan. Jejak itu pernah ditulis Greg Fealy, akademisi Australian National University, yang mengulas bagaimana kedekatan PKB dan NU di situs New Mandala.
Menurutnya, sejak 2014, kedekatan PKB-NU merupakan hasil strategi Gus AMI. Ia mengikat partai ke NU dengan memberikan dana dan jaminan aset PKB ke NU. Hasilnya, dua tokoh NU, Ma’ruf Amin dan Said Aqil Siradj memberikan dukungan simbolis pada PKB yang diikuti banyak kiai NU lainnya. Efeknya, di Pemilu 2019, PKB jadi partai Islam dengan perolehan suara terbesar.
Tantangan dan Hambatan
Meski modal politik Gus AMI meyakinkan, rekam jejaknya sebagai pejabat kurang moncer. Namanya masih dikaitkan isu korupsi. April 2018 lalu, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) pernah mendesak KPK mengusut keterlibatan dirinya dalam kasus di Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans).
Gus AMI kala itu diduga menerima Rp 400 juta dalam persidangan mantan Dirjen P2KTrans Jamaluddien Malik pada 2 Maret 2016. Namun, Gus AMI membalas santai dengan menyebut bahwa dugaan itu merupakan kampanye hitam yang menyerang pribadinya.
Nama Gus AMI juga sempat tertolak untuk masuk Kabinet Kerja Presiden Jokowi jilid I setelah berkasnya tertahan di KPK dan PPATK. Namun, puasa menjabat jadi pejabat negara dialihkan Gus AMI untuk menata kekuatan politiknya. Muhaimin tetap punya pengaruh kuat atas empat menteri PKB di kabinet Jokowi.
Sulit ambil bagian di pemerintahan, Gus AMI berupaya mendapatkan peran sentral MPR sebagai lembaga tinggi negara. Saat revisi pasal 15 UU MD3, PKB mendapat jatah kursi pimpinan. Gus AMI pun ambil bagian menjadi Wakil Ketua MPR.
Pasca Pemilu 2019, Muhaimin membuat gebrakan dan menjadi yang terdepan dalam mengungkapkan keinginannya untuk menduduki kursi Ketua MPR – posisi yang memungkinkan bagi dirinya bertindak selevel dengan presiden. Jabatan Ketua MPR dinilai strategis, karena membumikan empat pilar negara, yang bisa dikolaborasikan bersama NU untuk menekan isu dan ideologi yang ingin membuat disintegrasi.
Keistimewaan MPR juga sedang diperbincangkan untuk ditambah dalam bentuk amandemen. Jika itu terjadi, dan Gus AMI berada di pucuk tertinggi, dirinya bisa saja punya pengaruh yang dapat menekan presiden.
Jalan Gus AMI terbuka. Di eksekutif, ia punya calon menteri dan dukungan Wapres Terpilih. “Ya tentu bagi orang yang dekat dengan saya, saya dukung jadi Ketua MPR,” tegas Ma’ruf. Di tingkat organisasi massa Islam, NU kemungkinan besar sepaket dengan mantan Rais A’am-nya.
Di level legislatif, 56 kadernya, solid mendukung pimpinannya. Terlebih, jalur pemilihan di MPR, tidak mesti lewat konfirmasi KPK dan PPATK. Ia cuma butuh melobi partai lain yang punya target serupa seperti Golkar dan PDI-P.
Bisa jadi, upaya mengunci posisi Ketua MPR bagi Gus AMI sangat penting untuk modal kompetisi di 2024. Terlebih, belum terdapat calon alternatif super kuat pasca duel Jokowi-Prabowo.
Kunci Gus AMI terdapat di posisi Wakil Presiden Terpilih Ma’ruf Amin. Jika mampu mengakomodasi gerbongnya di titik sentral eksekutif, entah di kementerian dan kelembagaan, itu bisa menambah pengaruh Gus AMI ke setiap level kekuasaan.
Namun, ganjalan anyar mulai membatasi gerak Gus AMI. Ketum PKB tersebut perlu membangun patronase baru dari pengusaha demi memuluskan jalan setelah hengkangnya pendonor berpengaruh di tubuh PKB.
Tulisan milik Andi Anggana, pemerhati Komunikasi Politik dan alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.