Setelah menjalani pemeriksaan, akhirnya Patrialis Akbar resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
pinterpolitik.com – Jumat, 27 Januari 2017.
JAKARTA – Dunia hukum Indonesia kembali terpukul dengan ditangkapnya seorang hakim dari Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada hari Rabu (25/1). Hakim tersebut adalah Patrialis Akbar, pria asal Sumatera Barat ini merupakan advokat dan politikus yang memiliki karir yang lengkap pada tiga cabang kekuasaan negara, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat selama dua periode (1999 – 2004 dan 2004 – 2009) dari Partai Amanat Nasional. Ia turut terlibat dalam pembahasan amendemen konstitusi pada Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat dan kemudian sebagai Menteri Hukum dan HAM pada Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2011).
Pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) ini, Hakim Patrialis Akbar ditangkap bersama 10 orang lainnya. Dari 11 orang yang diamankan KPK, empat di antaranya wanita dengan inisial F, R, A, dan D. Mereka adalah pekerja caddy yang membantu pemain di lapangan golf. Patrialis di tangkap karena diduga menerima suap sebesar 20.000 Dollar AS dan 200.000 Dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar.
Pemberian dari pengusaha impor daging Basuki Hariman tersebut diduga agar Patrialis membantu mengabulkan gugatan uji materi yang sedang diproses di Mahkamah Konstitusi. Perkara gugatan yang dimaksud yakni, uji materi nomor 129/puu/XII/2015. Pengujian tersebut terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Setelah menjalani pemeriksaan, akhirnya Patrialis Akbar resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengenai penangkapan ini, Dewan Etik Mahkamah Konstitusi akan mengajukan permintaan pemberhentian tidak dengan terhormat Hakim Patrialis Akbar kepada Presiden Joko Widodo karena pelanggaran berat tersebut.
Selain Patrialis, KPK juga menetapkan Kamaluddin (KM) sebagai tersangka dengan hubungannya sebagai perantara dan Basuki Hariman (BHR) selaku pengusaha dan Ng Fenny (NGF) selaku sekretaris Basuki yang keduanya bisa disebut sebagai pemberi suap.
Atas perbuatannya, Patrialis dan Kamal dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara sebagai pemberi, Basuki dan NG Fenny dijerat dengan Pasal 6 ayat 1 atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Berikut infografis rekam jejak Patrialis Akbar,
infografis: K12 / pinterpolitik
Daftar Hakim Yang Ditangkap KPK
Bukan sekali dua kali ini saja hakim – hakim di Indonesia berurusan dengan KPK, selain Patrialis Akbar ada juga beberapa hakim yang ditahan. Beberapa diantaranya adalah, Pangeran Napitupulu (2017) yang diduga menerima suap atas kasus pembunuhan, Janner Purba dan Toton (2016) Hakim Tindak Pidana Korupsi Bengkulu menerima suap atas kasus penyalahgunaan honor dewan pembina RSUD M Yunus di Bengkulu.
Tripeni Irinto Putro, Amir Fauzi, dan Dermawan Ginting (2015) Tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Medan itu menerima suap dari pengacara OC Kaligis atas kasus korupsi dana bantuan sosial Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Ramlan Comel (2014) Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung ditahan usai menerima suap atas kasus korupsi bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung.
Di tahun 2013 ada Akil Mochtar yang saat itu menjabat sebagai Hakim Ketua Mahkamah Konsistusi RI periode 2013, dirinya ditangkap dan diberhentikan dari jabatannya terkait kasus penyuapan sengketa Pilkada.
Selain itu masih banyak lagi hakim – hakim lainnya yang terjerat KPK. Dari fakta tersebut kita bisa melihat bahwa praktisi hukum di Indonesia masih banyak yang tidak menjalankan pekerjaannya dengan seharusnya. Bahkan para penegak hukum ini malah melanggar hukum itu sendiri demi kepuasan pribadi serta golongan.
Jadi seharusnya sebagai negara hukum, pemerintah Indonesia harus lebih hati-hati dan lebih teliti lagi dalam memilih hakim sebagai penegak hukum, bahkan jangan takut untuk langsung memecat para hakim nakal yang menjadikan hukum sebagai pundi-pundi kantong pribadi mereka. (Berbagai Sumber/A15)