Site icon PinterPolitik.com

Pacific Elevation, Strategi Jinakkan Papua?

Pacific Elevation, Strategi Jinakkan Papua?

Demonstrasi di Vanuatu yang mendukung kemerdekaan Papua dari Indonesia. (Foto: The Independent)

Pemerintah Indonesia kerap disibukkan dengan gerakan-gerakan separatis Papua yang tengah menjaring dukungan di berbagai negara lain. Oleh sebab itu, pemerintah mencoba menggaet negara-negara lain melalui strategi Pacific Elevation.


PinterPolitik.com

Melalui kedutaan besar Indonesia di Selandia Baru, pemerintah beberapa waktu lalu menggelar acara pameran bertajuk “Pacific Exposition” yang digelar di Auckland. Mengutip dari wawancara singkat Metro TV dengan Duta Besar RI untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya, ada empat target utama dari pergelaran ini, yaitu rekognisi negara-negara Pasifik terhadap Indonesia, terbukanya akses provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia, memasukkan Indonesia ke peta pariwisata Pasifik, serta membuka pasar non-tradisional di kawasan Timur Indonesia.

Yang menarik, acara ini ternyata bisa dikatakan sebagai bagian dari bentuk strategi kebijakan luar negeri Indonesia yang baru. Strategi engagement Indonesia ke kawasan Pasifik Selatan ini bergerak di bawah payung strategi besar yang diberi nama “Pacific Elevation”, mengutip dari Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kehadiran Indonesia di kawasan Pasifik Selatan melalui kerjasama ekonomi. Secara tersirat, strategi ini merupakan wujud penegasan posisi Indonesia di Pasifik Selatan.

Dari jabaran singkat tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: mengapa kawasan Pasifik Selatan?

Tulisan ini secara umum akan menjabarkan tiga argumen utama yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut, yakni faktor Papua, negara-negara Pasifik Selatan yang pro-referendum Papua, dan pemahaman mengenai ancaman separatisme di Indonesia melalui konsep budaya stratejik.

Papua dan Pasifik Selatan

Bukan rahasia lagi jika dalam sejarah Indonesia, Papua merupakan kawasan yang bisa dibilang problematis di antara provinsi lain di Indonesia. Mulai dari isu kesenjangan ekonomi dan sosial dari provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, akses transportasi maupun komunikasi yang terbatas, hingga isu rasial seakan selalu mewarnai pulau yang menaungi provinsi ke 33 dan 34 di Indonesia ini.

Menurut buku Road Map Papua karya Muridan S. Widjojo, setidaknya ada empat isu yang dikelompokkan sebagai sumber-sumber konflik papua. Isu pertama berkaitan dengan diskriminasi masyarakat asli Papua yang beretnis Melanesia, yang sudah terjadi sejak 1970. Isu kedua adalah kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Isu ketiga berkaiatan dengan kontradiksi sejarah dan perbedaan konstruksi identitas politik antara Papua dan kawasan-kawasan lain di Indonesia, terutama Jawa. Isu keempat adalah pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga Negara Indonesia di Papua.

Keempat isu inilah yang kemudian diyakini tidak hanya melahirkan kelompok-kelompok separatis di Papua, tetapi juga memperkuat keyakinan mereka untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Yang membedakan gerakan separatisme Papua dari gerakan-gerakan serupa di Indonesia adalah sifatnya yang bisa dikatakan transnasional, karena gerakan ini ternyata juga santer digaungkan di berbagai negara-negara di luar Indonesia.

Kita tentu masih ingat dengan kasus pendirian kantor perwakilan OPM di Belanda dan Inggris pada tahun 2013, serta kasus pengibaran bendera OPM di Australia, Belanda, Inggris, Vanuatu, Fiji, yang terjadi sepanjang 2009 hingga 2016. Ini menunjukkan bagaimana upaya pembebasan Papua bukan aksi sporadis, tetapi telah sampai pada tahap persebaran “delegasi” OPM di berbagai negara-negara yang dianggap memegang kunci penting dalam konstelasi perpolitikan internasional.

Tujuannya? membangun narasi di negara-negara tersebut bahwa telah terjadi penindasan warga Papua, pelanggaran HAM, kekerasan militer, serta mendorong urgensi untuk mendukung OPM dan kemudian mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan referendum kemerdekaan Papua.

Selain kemunculan “delegasi” pro-separasi Papua di berbagai negara, dalam perkembangannya beberapa negara juga menyatakan posisinya yang mendukung pembebasan dan referendum Papua. Adalah Vanuatu yang secara eksplisit telah menunjukkan posisinya tersebut. Pada Februari 2019 lalu, Menteri Luar Negeri Vanuatu Ralph Regenvanu menyatakan bahwa Pemerintah Vanuatu mendukung penuh penentuan nasib untuk Papua Barat dan terlibat di dalam pembentukan gerakan United Liberation Movement for West Papua.

Selain Vanuatu, Kepulauan Solomon juga mendukung posisi Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia, terutama di era kepemimpinan Perdana Menteri Manasseh Sogavare, yang pada Sidang Umum PBB tahun 2016 menyatakan bahwa terjadi pelanggaram HAM di Papua dan, bersama Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu, dan Tonga, mendukung kemerdekaan Papua dari Indonesia.

Yang cukup menimbulkan problem adalah negara yang tidak memosisikan diri, namun dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh narasi pro-separasi Papua. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Belanda, Inggris, Australia, dan Selandia Baru adalah beberapa negara yang menjadi basis kelompok pro-separasi Papua. Bahkan di Selandia Baru, beberapa anggota parlemen telah mengeluarkan pernyataan bahwa kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua itu nyata dan bahkan menolak pergelaran “Pacific Exposition.”

Ini menunjukkan bahwa terlepas dari posisi Indonesia yang bisa dikatakan aman, dalam konteks kedaulatan atas Papua, pada kenyataannya tidak semua negara dan elit-elit politik di negara-negara tetangga Indonesia menunjukkan posisi yang serupa. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa suara-suara miring yang berpotensi menyulut semangat separasi Papua semakin membesar, dan ini membuat pemerintah Indonesia, yang sebelum ini lebih banyak berkecimpung di kawasan Asia, mau tidak mau harus menoleh ke kawasan Pasifik Selatan.

Dengan kata lain, pergelaran Pacific Exposition dan strategi Pacific Elevation merupakan bagian dari upaya intervensi pemerintah Indonesia di kawasan Pasifik Selatan untuk mencegah semakin menguatnya narasi pro-separasi Papua.

Analisis Budaya Stratejik

Penjabaran di atas menunjukkan bahwa strategi Pacific Elevation ini merupakan bagian dari containment policy Indonesia untuk mencegah berkembangnya narasi pro-separasi Papua di Pasifik Selatan. Tetapi kenapa? Penulis meyakini bahwa ini tidak lain adalah bagian dari budaya stratejik Indonesia.

Penulis menggunakan definisi analisis budaya stratejik oleh Kerry Longhurst, yakni upaya untuk mengetahui dampak dari nilai-nilai dan keyakinan yang mendalam ketika menyangkut pengambilan keputusan dalam masalah keamanan secara umum, dan dibentuk serta dipengaruhi oleh aspek historis, terutama di titik-titik kritis di sepanjang pengalaman kolektif itu. Dengan kata lain, ide-ide dan nilai-nilai kolektif dianggap menjadi faktor konstitutif penting dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan keamanan negara.

Melalui konsep budaya stratejik, maka bisa dikatakan bahwa strategi Pacific Elevation ini merupakan bagian dari kebijakan keamanan Indonesia, mengingat isu ini menyangkut kedaulatan dan kesatuan Indonesia, apalagi jika didasarkan dari pengalaman historis Indonesia yang telah berulang kali mengalami isu-isu keamanan yang berkaitan dengan separasi.

Mulai dari DI/TII, PRRI-Permesta, RMS, GAM, hingga OPM dan referendum Timor Timur pada 1999, sejarah keamanan Indonesia pasca kemerdekaan lebih banyak diwarnai oleh ancaman separasi internal ketimbang ancaman eksternal dari negara lain. Titik-titik kritis inilah yang kemudian mendominasi narasi keamanan Indonesia.

Maka dari itu, slogan-slogan kepolisian, TNI, hingga partai-partai politik di Indonesia selalu diwarnai dengan kata-kata “persatuan, kesatuan, dan kedaulatan”, karena sejarah panjang Indonesia telah membangun ide dan pemahaman mengenai konsep keamanan sebagai upaya untuk mempertahankan diri dari perpecahan internal.

Narasi inilah yang penulis yakini juga sedikit banyak mempengaruhi strategi Pacific Elevation.  Terlepas dari kebijakannya yang menekankan pada aspek kerjasama ekonomi dan pariwisata, namun penulis yakin bahwa prinsip yang mendasari kebijakan ini setidaknya adalah pencegahan terhadap berkembangnya narasi pro-separasi Papua di kawasan Pasifik Selatan.

Bila dilihat dari kacamata analisis budaya stratejik, strategi Pacific Elevation Indonesia ini dapat dibilang merupakan perwujudan dari budaya stratejik Indonesia. Narasi-narasi pro-separasi Papua yang banyak digaungkan oleh negara-negara Pasifik Selatan belakangan ini dianggap oleh pemerintah Indonesia sebagai isu yang berpotensi bisa memperbesar ancaman separasi Papua, maka dari itu, strategi Pacific Elevation dihadirkan sebagai containment policy yang bertujuan untuk membendung narasi tersebut agar tidak semakin menguat di kawasan Pasifik Selatan.

Tulisan milik Reza Akbar Felayati, peneliti lepas dan alumnus Hubungan Internasional, Universitas Airlangga.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Exit mobile version