“Jabatan menjadi berhala, ketika penguasa lebih sayang dukunnya.” ~Najwa Shihab
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]enjadi orang yang dianggap berbeda dalam lingkungan tentu sangat tidak nyaman dan dapat mengakibatkan penyakit batin yang bisa saja meradang. Nah, mungkin mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur sudah merasakan itu dan menjadi resah.
Sebagai orang yang berasal dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang kini ‘kembali’ berubah menjadi lawan pemerintah, tentu Asman Abnur menjadi gelisah berada di tengah-tengah pemerintahan.
“Ngapain lu di sini? Partai lu aja jelek-jelekin pemerintah dan dukung calon lain. Pergi ke laut aja gih dah!” Bisa jadi merupakan kata-kata imajiner yang selama ini menghantuinya setiap datang ke kantor. Nggak nyaman, tentu saja. Pasti kepala rasanya cenat-cenut nggak karuan deh. Dipijet pun nggak akan ngaruh, jalan keluarnya ya keluar dari kabinet. Hm…
Presiden Joko Widodo pada akhirnya mencopot jabatan Asman Abnur, meski diakui kinerjanya sangat memuaskan. Kata Jusuf Kalla, kerjaan Asman rapi dan bagus.
Posisi Asman telah digantikan oleh mantan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin. Kini, ia hanya berharap dapat kembali berkontribusi sebagai wakil rakyat.
Melihat karir Asman yang kandas karena perseteruan antar partai tentu sangat disayangkan. Asman sudah banyak melakukan terobosan reformasi birokrasi, meliputi penataan sumber daya manusia dan anggaran.
Jelas sudah, politik di negeri ini memaksa pemerintah untuk melenyapkan orang berkompeten hanya demi pemanis pandangan mata. Menurut mereka, orang yang berbeda prinsip, meskipun memiliki kualitas, tidak akan ada gunanya, tidak elok, bikin risih, hush… hushhh!
Jadi buat kamu-kamu yang punya cita-cita luhur memajukan negeri dan berguna bagi rakyat harus ngaca dulu, posisi kalian di mana? Dukung penguasa nggak? Kalau nggak yaa, mending jadi pedagang aja. Siapa tahu kalau sukses dan punya banyak uang bisa ngajuin diri sebagai penguasa. Kayak Sandiaga Uno misalnya. Hehehe.
Wah, memang politik di negeri ini kadang ‘sungguh terlalu’. Gimana ya, masa kepentingan politik lebih utama dibanding kepentingan rakyat. Kalau gitu jargonnya jangan ‘Oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat’ dong, ganti jadi ‘Oleh partai, dari politisi, untuk kekuasaan’. Kan gitu jadi lebih pas. Ya toh? (E36)