Pemerintah Myanmar menghentikan operasi pembersihan di negara bagian Rakhine, setelah situasi dan keamanan wilayah tersebut dinyatakan stabil. Berkat kecaman yang kuat dari dunia Internasional, otoritas Myanmar berjanji akan menyelidiki laporan PBB mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah itu.
pinterpolitik.com
MYANMAR – Otoritas Myanmar menyatakan operasi pembersihan di Rakhine telah berakhir. Rakhine adalah negara bagian Myanmar tempat bermukim suku Rohingya, kaum minoritas Muslim yang hingga kini kewarganegaraannya tidak diakui Myanmar. Bentrokan dan kekerasan juga kerap terjadi di tempat ini, antara mayoritas penganut Buddha dan Rohingya.
“Situasi di Rakhine kini telah stabil. Operasi pembersihan yang dilakukan militer telah dihentikan, jam malam telah dicabut dan hanya tinggal kepolisian yang menjaga perdamaian,” kata Penasihat Keamanan Nasional Myanmar, Thaung Tun, Kamis (16/2).
Operasi militer ini berawal dari insiden penyerangan kelompok bersenjata di tiga wilayah pos pengamanan perbatasan Myanmar di Rakhine, pada 9 Oktober 2016. Untuk mencari pelakunya, tentara militer memperketat pengawasan di wilayah tersebut dan menyerang etnis Rohingya secara membabi-buta hingga menewaskan sedikitnya 80 orang.
Akibatnya, sedikitnya 70 ribu kaum Rohingya melarikan diri dan tak sedikit yang hingga kini nasibnya masih terkatung-katung, akibat ditolak masuk oleh sejumlah negara.
Di Rohingya sendiri, pelanggaran HAM seperti pemerkosaan, pembunuhan dan pembakaran juga berlangsung selama empat bulan masa operasi militer. Sayangnya, fakta ini disangkal pemimpin negara yang juga peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi. Ia malah mengatakan operasi militer di negara bagian tersebut dilakukan secara sah.
Pendiriannya ini kemudian goyah, saat PBB memberikan bukti atas laporan pelanggaran HAM tersebut. Ia berjanji akan memulai penyelidikan. Pemerintahnya juga membentuk ‘departemen penyelidikan’ untuk mencari tahu dugaan kekejaman yang dilakukan aparat keamanan negaranya.
“Laporan PBB memberikan banyak rincian yang menguatkan dugaan pelanggaran HAM yang terjadi. Karena itu, komite investigasi ini dibentuk untuk menanggapi laporan dengan bukti,” ungkap Kolonel Kepolisian, Myo Thu Soe.
Menurutnya, laporan PBB mengenai pelanggaran HAM, termasuk pemerkosaan, adalah tuduhan yang sangat serius terhadap kepolisian Myanmar. “Tapi seperti yang kita tahu, itu tidak terjadi,” katanya menambahkan.
Sikap Myanmar yang terkesan kurang percaya dengan laporan PBB ini sangat disesalkan, karena terlihat keengganannya untuk melakukan investigasi atas pelanggaran yang telah menelan korban jiwa dan menyengsarakan lebih dari satu juta warga Rohingya. Masih pantaskan Aung San Suu Kyi disematkan Nobel Perdamaian, bila menutup mata dengan tindakan pelanggaran HAM di negara yang dipimpinnya sendiri? (Berbagai sumber/R24)