HomePolitikMungkinkah Universal Basic Income di Indonesia?

Mungkinkah Universal Basic Income di Indonesia?

Oleh Hilman Gufron, mahasiswa Magister Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia

Salah satu kandidat presiden Amerika Serikat (AS) yang mundur – Andrew Yang – sempat usulkan program Universal Basic Income (UBI) berupa uang untuk warganya secara cuma-cuma. Apakah mungkin UBI ini diterapkan di Indonesia?


PinterPolitik.com

Dengan mundurnya Andrew Yang – kandidat calon Presiden dari Partai Demokrat Amerika Serikat (AS) – pada 11 Februari dari pencalonan, maka hilang juga program-program yang ia tawarkan saat kampanye kemarin. Satu program yang paling menarik dan menonjol dibanding program-program lain adalah proposalnya tentang Universal Basic Income (UBI).

Pria keturunan Taiwan tersebut menawarkan uang cuma-cuma sebesar 1.000 dolar AS (atau sekitar Rp 14 juta) setiap bulannya untuk seluruh warga AS tanpa terkecuali. Program yang ia beri nama The Freedom Dividend itu berakar dari ide lama tentang Universal Basic Income (UBI).

Penghasilan dasar universal (UBI) adalah uang yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan tanpa syarat kepada warganya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya setidaknya di atas garis kemiskinan.

Implementasi UBI ini sedang digodok di berbagai negara khususnya negara maju yang juga merupakan negara kesejahteraan (welfare) seperti Norwegia, Swedia, dan Finlandia.  UBI ini menjadi solusi atas tidak berjalannya kebijakan-kebijakan welfare yang seharusnya mengentaskan kemiskinan.

Jika kita merujuk pada teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, kita tidak dapat melakukan aktualisasi diri apabila kebutuhan dasar belum terpenuhi. Tidak mungkin orang memikirkan rencana masa depan apabila untuk hari ini saja ia tidak tahu bisa makan atau tidak.

UBI memberi solusi untuk permasalahan tersebut. Ia menjadi program utama untuk menutupi kebutuhan dasar individu sehingga individu tersebut dapat menaikkan tingkat kebutuhannya dan mengaktualisasi diri.

Proposal UBI ini tentu saja tidak terlepas dari pro dan kontra. Andrew Yang sendiri mendapat serangan dari lawan politiknya terkhusus dari Partai Republik.

Partai Republik menuduh ide UBI ini sebagai ide sosialisme – bahkan komunisme. UBI dianggap akan membuat masyarakat menjadi malas. Terlebih, UBI dinilai akan sangat merugikan apabila bersumber dari penaikan tarif pajak bagi para miliarder.

Namun jika ditelisik lebih dalam, ide UBI ini sebenarnya bersumber dari pemikiran liberalism klasik. Sejalan dengan Andrew Yang, UBI adalah kapitalisme yang mana individu tidak memulai dari angka nol.

Ia menransfer kekayaan dari si kaya kepada si miskin dengan tetap patuh pada kaidah-kaidah pasar bebas. Semakin banyak orang memiliki uang, maka semakin banyak pula uang digunakan.

UBI ini sebenarnya bukan ide baru. Pada 1960-an, pendapatan dasar juga menjadi isu utama gerakan hak-hak sipil dan Perang Melawan Kemiskinan. Martin Luther King, Jr. dalam bukunya tahun 1967 yang berjudul Where Do We Go From Here menuliskan bahwa solusi terhadap kemiskinan adalah dengan menghapusnya secara langsung dengan ukuran yang sekarang banyak dibahas, yakni pendapatan yang terjamin.

Kekhawatiran UBI akan membuat orang menjadi malas dan menggunakan uang yang diberikan untuk foya-foya juga sudah terbukti tidak berdasar. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 oleh Bank Dunia yang  berjudul Cash Transfer and Temptation Goods menunjukkan hal sebaliknya.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Penelitian ini dilakukan di beberapa negara berkembang di Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Bank Dunia berupaya untuk melihat apa yang akan seseorang lakukan apabila ia mendapatkan transfer uang dalam jumlah tertentu.

Hasilnya menunjukkan tidak ada peningkatan penggunaan uang untuk alkohol ataupun tembakau. Kebanyakan orang justru menggunakannya untuk membeli makanan.

Stereotip bahwa orang miskin adalah seorang pecandu alkohol ataupun narkoba juga terbantahkan di sini. Justru sebaliknya yang terjadi, semakin kaya seseorang, semakin tinggi konsumsi alkohol dan narkobanya.

Kanada juga pada tahun 1970-an melakukan eksperimen atas Guaranteed Annual Income. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya satu persen saja dari sekian banyak individu yang berhenti bekerja setelah menerima uang tersebut. Itupun kebanyakan perempuan yang ingin fokus mengurus keluarga di rumah. Eksperimen ini dinilai sukses dan mampu mengentaskan kemiskinan.

Implementasi di Indonesia?

Sejak tahun 2017, laporan Fiscal Monitor IMF – selain kebijakan pajak pada pendidikan dan kesehatan – juga sudah memberikan fokus utama pada UBI. Sri Mulyani sendiri pada saat itu sudah menunjukkan dukungannya pada UBI ini. Dia juga menganggap UBI sebagai solusi strategis pengentasan kemiskinan secara global.

Pemberian uang secara cuma-cuma dari pemerintah kepada warganya tentu saja mengingatkan kita kepada program BLT (Bantuan Langsung Tunai). Program pemerintah ini merupakan respons dari kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) saat itu. Banyak pihak yang menganggap program ini sukses.

Meskipun UBI merupakan bagian dari kebijakan welfare, UBI dianggap memiliki beberapa kelebihan. Bahkan, kebijakan welfare lainnya dinilai dihantui oleh beberapa kekurangan.

Sebut saja kebijakan pelatihan kerja. Seseorang dipaksa untuk memilih program pelatihan yang terbatas dan sudah ditentukan oleh pemerintah. Setelah itu ia akan menghadapi dua kondisi, mencari kerja atau ditempatkan kerja.

Untuk seseorang yang kebutuhan dasarnya belum terpenuhi dan sangat perlu pemasukan, kualitas pekerjaan ataupun besaran gaji yang diterima tidak lagi menjadi pertimbangan. Dampaknya ia sendiri tidak bisa menikmati pekerjaannya dan kualitas kerja tidak produktif.

Gallup, perusahaan konsultasi manajemen kinerja AS melakukan riset pada 2017 mengenai perubahan dalam dunia kerja dengan judul State of The American Workplace. Hanya 33 persen saja pegawai yang bahagia di tempat kerjanya, 51 persen hanya badannya saja yang datang ke tempat kerja, dan 16 persen sisanya merasa tersiksa.

Pemerintah diharapkan jangan hanya fokus untuk menurunkan angka pengangguran dari segi statistik saja. Memanusiakan manusia adalah tujuan utama. Tidak bisa kita menyediakan pekerjaan bagi seseorang tanpa memperhatikan kebahagiaan dan kesejahteraannya.

Kebanyakan kebijakan welfare lain di dunia memberikan bantuan kepada individu yang dianggap membutuhkan saja. Biasanya digunakan ambang batas kemiskinan tentang siapa saja yang berhak menerima uang.

Baca juga :  Pemimpin Jakarta Pilihan Netizen Pinpol

Belum lagi korupsi dan rendahnya transparansi dalam menentukan status kemiskinan seseorang. Negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi seperti Indonesia rawan terhadap penyelewengan atas kebijakan-kebijakan negara kesejahteraan seperti ini.

Beberapa kelebihan UBI dibanding kebijakan welfare lain adalah, pertama, mendorong mencari pekerjaan yang lebih baik. Penelitian Bank Dunia seperti yang sudah disinggung di atas, meluruskan kekhawatiran UBI akan menjadikan orang malas bekerja.

Ketika seseorang diberi bantuan uang secara cuma-cuma ia akhirnya tidak perlu lagi memikirkan kebutuhan dasar. Akhirnya ia bisa mencari pekerjaan yang lebih baik dan lebih layak.

Sekalipun misalnya ia tidak berganti pekerjaan, pekerjaan lamanya akan memberikan standar dan kualitas yang lebih baik dari sebelumnya. Itulah yang disebut memanusiakan manusia.

Kedua, UBI dapat mendorong melanjutkan pendidikan. Setelah pemenuhan kebutuhan dasar, dana UBI bisa digunakan untuk melanjutkan pendidikan yang sempat terkendala biaya. Tentu saja pendidikan yang lebih tinggi memberikan opsi yang lebih besar juga untuk aktualisasi diri.

Ketiga, menjadi insentif dalam memulai wirausaha. Kebijakan pemerintah saat ini untuk menstimulasi usaha-usaha kecil dan menengah dapat terbantu dengan UBI. Bantuan berupa pinjaman modal yang selama ini dilakukan memberikan batasan-batasan kepada seseorang untuk berwirausaha.

Istilah takut rugi tidak akan ada lagi jika setiap bulan penghasilan dasar kita sudah terjamin. Kita akan dengan bebas menjelajahi dunia usaha yang diimpikan. Bukan hanya terbatas pada modal.

Lantas, dengan berbagai kelebihan itu, berapa kira-kira besaran dana UBI yang sesuai untuk Indonesia? Dari mana anggarannya?

Analisis yang dilakukan oleh Bareksa Portal Investasi pada 2017 dapat memberikan gambaran tersebut. Berdasarkan analisis, besaran UBI yang dapat diberikan kepada setiap individu adalah sebesar Rp 2.010.000. Hanya berada sedikit di atas garis kemiskinan.

Apabila UBI ini diterapkan, maka pemerintah harus mengeluarkan Rp 55,82 triliun setiap bulan atau Rp 669,84 triliun setiap tahun – hampir sepertiga pengeluaran negara dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017.

Memang terlihat cukup berat. Permasalahan dana ini menjadi halangan utama dalam implementasi UBI di berbagai dunia. Cara yang paling mudah tentu saja dengan menaikkan pajak bagi para korporasi-korporasi berlaba triliunan. Cara lain yang bisa digunakan adalah pemotongan anggaran-anggaran yang tidak produktif untuk dialihkan ke UBI ini.

Namun, UBI adalah masa depan. Beberapa negara mungkin melalui jalur yang berbeda untuk mencapainya. Terlebih dengan masuknya Revolusi Industri 4.0 dengan otomatisasinya. Kompensasi UBI adalah sebuah hal yang niscaya sebagai bagian dari upaya memanusiakan manusia.

Tulisan milik Hilman Gufron, mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Pendidikan Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...