Aktivitas masyarakat di sebagian besar kota di Indonesia dinilai masih terus berdetak secara normal meskipun ada penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Lantas, apakah pedoman PSBB yang berlandaskan Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020 ini cenderung sia-sia keberadaannya?
PinterPolitik.com
“Hanya antrean pengunjung”. Begitu kira-kira kutipan komentar salah satu pihak berwenang saat merespon didapatinya kerumunan besar orang pada “seremoni” hari terakhir beroperasinya gerai Mc Donald’s (McD) Sarinah pada akhir pekan lalu.
Alih-alih tetap menjaga physical distancing di tengah pandemi Covid-19, kerumunan orang tersebut nyatanya lebih memilih menikmati saat-saat terakhir romansa perpisahan dibandingkan mencegah penularan virus yang telah merenggut lebih dari seribu jiwa di Indonesia.
Belum selesai sampai di situ. Mungkin saja terdapat individu yang sebelumnya menyayangkan kerumunan di McD Sarinah, namun tempo hari justru turut ambil bagian dalam penumpukan penumpang di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Peristiwa yang menjadi perbincangan nasional tersebut seolah semakin mendistorsi logika dan akal sehat publik, di tengah hiruk-pikuk isu penerapan atau pelonggaran PSBB, berdamai atau terus waspada terhadap Covid-19, hingga adanya larangan mobilitas dan mudik namun berbagai moda transportasi dibuka kembali dan dapat dimanfaatkan masyarakat dengan sebuah syarat secarik surat yang mudah untuk dimanipulasi.
Rahasia umum lainnya adalah sangat normalnya geliat interaksi masyarakat, terutama di pemukiman padat penduduk pinggiran ibu kota. Aktivitas seperti bercengkrama dengan tetangga, aktivitas peribadatan, hingga jalan-jalan sore menjadi fenomena biasa yang kita lihat.
Padahal landasan hukum yang mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), eksis adanya. Selain instrumen beberapa Undang-Undang (UU), ujung tombak terciptanya pencegahan transmisi Covid-19 di masyarakat terutama terdapat pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB.
Akan tetapi penerapan Permenkes dan instrumen hukum lainnya tersebut dinilai banyak kalangan cenderung serba tanggung dan tidak memiliki kekuatan mengikat yang signifikan bagi pelanggarnya. Terlebih tidak ada “petuah-petuah” yang seharusnya secara aktif diberikan, terutama oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto terkait pentingnya implementasi pedoman PSBB tersebut.
Jika melihat korelasi perilaku publik yang abai dengan physical distancing pada banyak kesempatan, serta absennya peran seorang Menkes yang seharusnya sangat vital di tengah public health crisis seperti saat ini, keraguan pun semakin tajam tertuju pada efektivitas pedoman PSBB yang mulai dinilai sia-sia.
Pertanyaan pembuka yang menarik untuk melihat sejauh mana kesia-siaan pedoman PSBB tersebut ialah mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada publik tanah air, yang seolah sangat santai beraktivitas normal di tengah pandemi Covid-19?
Ujian Akal Sehat
Dalam menyoroti fenomena rendahnya kesadaran sebagian masyarakat Indonesia dalam menerapkan protokol kesehatan yang ada dalam beraktivitas di tengah pandemi Covid-19, pendekatan konstruksi psikologis atau phsycological construction agaknya menjadi pilihan terbaik.
Penetrasi awal untuk menganalisa aspek psikologis masyarakat Indonesia itu sendiri menggunakan konsep bias kognitif. Konsep ini, menurut Martie Haselton dalam tulisannya yang berjudul “The Evolution of Cognitive Bias”, ialah sebuah kesalahan secara sistematis dalam pola pikir yang berimplikasi pada judgement atau penilaian serta decision atau keputusan yang dibuat oleh individu.
Lebih dalam, bias kognitif dalam konteks ini sendiri dipengaruhi oleh variabel yang oleh Tali Sharot dalam publikasinya “The Optimism Bias” disebut bias optimisme atau optimism bias. Bias optimisme sendiri terjadi ketika individu mengambil kesimpulan optimisme terbaik berdasarkan perhitungan murni subjektif dirinya sendiri, terutama dengan mengabaikan faktor lain.
Sementara variabel yang memengaruhi bias kognitif berikutnya ialah bias emosional atau emotional bias. Isabelle Blanchette dalam “The Influence of Affect on Higher Level Cognition: A Review of Research on Interpretation, Judgement, Decision Making and Reasonings” menyatakan bahwa bias emosional terjadi ketika justifikasi emosional direpresentasikan melalui perilaku yang berlandaskan aspek emosional atau perasaan semata.
Berdasarkan penjabaran konsep bias kognitif tersebut, dapat terlihat bahwa variabel bias optimisme tercermin dari tipikal masyarakat Indonesia yang terlalu santai dan cenderung lalai atas berbagai dinamika serta fenomena yang bahkan berpotensi membahayakan nyawa mereka.
Dalam konteks pandemi Covid-19 sendiri, bias optimisme dapat kita lihat dari beberapa kecenderungan antara lain: kepercayaan diri berlebihan akan kemampuan menjaga diri dari transmisi virus, anggapan Covid-19 tidak seberbahaya itu, hingga kepercayaan saklek bahwa Tuhan akan melindungi tanpa sama sekali mengupayakan ikhtiar menghindari virus.
Sementara variabel bias kognitif dari sisi bias emosional dapat kita dalami dari motivasi masyarakat untuk tetap beraktivitas dengan mengabaikan pedoman PSBB. Hal ini dapat kita lihat dan temukan pada fenomena beraktivitas di luar tanpa keperluan mendesak serta tanpa menerapkan physical distancing hanya karena bosan di rumah.
Selain itu, juga terdapat asumsi ribet dan canggungnya masyarakat dalam menerapkan phsical distancing, serta sekadar tidak terbiasa dan guncangan batin tersendiri ketika tidak melakukan rutinitas seperti mudik, ibadah berjamaah, dan bersosialisasi di kerumunan.
Berbagai realita cerminan bias kognitif Haselton tersebut tentu juga turut dikonstruksikan oleh faktor umum aspek pembentuk psikologis manusia yaitu terkait penyederhanaan penafsiran informasi. Ketika terdapat bias dalam proses ini, tendensi negatif cenderung menjadi potensi laten dan membahayakan, terutama kaitannya dengan bias mengenai Covid-19.
Hal tersebut juga cukup erat kaitannya dengan informasi apa yang secara simlutan diterima dan dicerna masyarakat Indonesia, terutama dari pemerintah dan khususnya dari seorang Menkes, yang dalam public health crisis berupa pandemi Covid-19 ini seharusnya memainkan peran vital.
Berangkat dari hal tersebut, apakah kecenderungan absennya peran `Menkes Terawan sejauh ini dalam berbagai tugas yang seharusnya ia jalankan, berdasarkan kewenangan dan spesialisasinya, membuat seolah pedoman PSBB di Indonesia yang ditandatanganinya itu menjadi percuma keberadaannya?
PSBB Kehilangan “Traksi”?
James Meindl dalam publikasinya “Follower-Centered Perspectives on Leadership” menyatakan bahwa setiap orang punya peran prominen dalam terciptanya struktur kognitif individu lainnya maupun secara kolektif.
Penggalan singkat namun padat dari deskripsi Meindl tersebut dinilai tepat untuk menjadi landasan yang semestinya dipegang oleh Menkes Terawan sebagai tokoh utama yang diharapkan dan seharusnya secara pro-aktif mengkonstruksi fundamental positif masyarakat Indonesia di tengah pandemi Covid-19.
Meskipun posisinya dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dibentuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya sebatas sebagai salah satu wakil pengarah, hal ini agaknya tidak menghalangi urgensi dan relevansi peran komprehensif Menkes Terawan yang sesungguhnya diharapkan.
Menkes Terawan tentu bisa menjadikan kolega seprofesinya asal Taiwan, Chen Chien-jen, yang pada tahun 2003 lalu dinilai sukses menghalau wabah SARS karena peran pro-aktifnya, termasuk membentuk kekuatan psikologis publik negara berjuluk naga kecil Asia. Bahkan atas prestasinya itu, saat ini ia menduduki kursi wakil presiden negara tersebut.
Meskipun kebanyakan masyarakat Indonesia seolah skeptis atas berbagai hal yang berhubungan dengan Menkes Terawan akibat “kelakar” masa lalunya, saat ini belum terlambat dan sama sekali tidak salah untuk menampilkan langkah-langkah pro-aktif serta progresif berdasarkan jabatannya saat ini dalam kabinet.
Banyak dinamika informasi domestik dan global terkait pandemi Covid-19 yang sesungguhnya dapat memperkokoh aspek psikis serta menghindari bias kognitif, jika disampaikan dengan gestur terbaik oleh dokter militer berbintang tiga itu.
Seputar penelitian-penelitian medis terbaru misalnya, ketika pertengahan pekan ini peneliti asal United States National Institute of Health menemukan temuan baru bahwa SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dikatakan dapat bertahan di udara selama 8 sampai 14 menit.
Informasi semacam ini tentu sangat penting untuk dapat disampaikan dengan kemasan terbaik oleh seorang Menkes Terawan, agar masyarakat Indonesia memiliki kesadaran lebih serta tidak mengalami bias kognitif terhadap Covid-19. Dengan realita bias kognitif yang sudah “menjamur”, penyampaian secara secara simultan juga sangat dibutuhkan dalam merekonstruksi aspek psikis di masyarakat.
Sekali lagi, alih-alih hanya menjadi pemberitaan terkait acc dan tidak acc penerapan PSBB berbagai Provinsi serta Kabupaten/Kota, peran pro-aktif Menkes Terawan dalam membangun kesadaran nasional atas berbagai hal terkait Covid-19 sangat dibutuhkan.
Selain itu hal tersebut juga dinilai dapat melepaskan kecenderungan mubazir peraturan yang ia telurkan sendiri tentang pedoman PSBB dalam Permenkes No. 9 tahun 2020, jika pemerintah memang sampai saat ini tidak berencana melonggarkan atau mencabut PSBB.
Bagaimanapun, seluruh pihak yang memiliki kewenangan, relevansi, serta urgensi dalam berbagai konstruksi positif atas penanganan pandemi Covid-19 ini diharapkan secara aktif menerjemahkannya dengan baik kepada masyarakat. Dan masyarakat sendiri diharapkan terus menjaga akal sehat di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19 ini. Itulah harapan dan hal yang harus kita upayakan bersama. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.