Politikus senior PDIP Eros Djarot sebut kekuatan asing bisa saja campuri polemik soal Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang memanas baru-baru ini. Siapa kekuatan asing di balik misteri RUU HIP ini?
PinterPolitik.com
“They just wanna sabotage my hustle, shawty, that’s why” – T.I., penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)
Mungkin, di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) yang belum mereda ini, banyak orang akhirnya banyak menghabiskan waktu di rumah masing-masing dengan menikmati jasa layanan streaming seperti Netflix dan Spotify. Bagaimana tidak? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saja sampai tertarik untuk segera menarik pajak dari berbagai perusahaan digital tersebut, termasuk Zoom.
Terlepas dari rencana pajak tersebut, sebagian penikmat Netflix pasti mengenal seri yang berjudul Dear White People. Dalam seri itu, banyak isu-isu sosio-politik yang dibahas. Salah satunya adalah persoalan label dan identitas.
Terdapat sebuah perkataan dan lelucon yang cukup memorable dalam seri itu. Dalam salah satu episode, seorang redaktur bernama Silvio Romo menjelaskan bahwa label diperlukan oleh setiap orang karena label lah yang mencegah orang-orang di Florida untuk meminum Windex (cairan pembersih kaca).
Kala itu, Silvio memberikan nasihat pada Lionel Higgins – seorang jurnalis kampus – yang mengeluh kebingungan akan identitas dirinya yang sebenarnya. Maka dari itu, Silvio mengatakan pada Lionel bahwa menemukan label diri merupakan hal yang penting.
Selama ini,
Ada Pihak pihak yang menunggangi Isu RUU HIP
dengan menjadikan PDIP sebagai Partai yg ingin merubah Pancasila menjadi Ekasila & TrisilaJadi jangan Percaya dengan Isu" tersebut yang ingin memecah Bangsa Indonesia ini.
Sekjen PDIP
"HASTO KRISTIYANTO pic.twitter.com/DYm7QyMIW5— P7Ang_TBO (@P7Ang_TBO) July 2, 2020
Meski bagi Silvio dan Lionel label ini dapat menjadi suatu pencerahan atas identitas diri, Eros Djarot – politikus senior PDIP – tidak berpikir demikian. Politikus yang mengaku turut menyusun AD/ART PDIP tersebut mengatakan bahwa partai berlambang banteng itu kini tengah menghadapi politik labelisasi.
Di tengah ramai polemik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), PDIP kini banyak diidentikkan dengan ideologi komunisme. Pasalnya, sebelumnya, PDIP juga ditengarai menolak memasukkan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme ke dalam bagian konsideran RUU tersebut.
Eros akhirnya melihat upaya identifikasi PDIP dengan komunisme ini merupakan strategi divide-et-impera yang dijalankan kekuatan asing. Tujuannya adalah untuk membuat masyarakat Indonesia terpecah-belah.
Bukan tidak mungkin, apa yang dikatakan Eros benar sekaligus menimbulkan beberapa pertanyaan. Kira-kira, bagaimana caranya kekuatan asing mencampuri urusan negara lain? Lantas, mengapa kekuatan asing memiliki kepentingan untuk mencampuri polemik RUU HIP?
Menyoal Campur Tangan Asing
Kekuatan negara lain memang tidak jarang memiliki kehendak dan kemampuan guna mencampuri politik domestik suatu negara. Biasanya, negara-negara ini memiliki kepentingan tersendiri yang mendasari upaya campur tangan asing.
Damien D. Cheong, Stephanie Neubronner, dan Kumar Ramakrishna dari S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) dalam tulisan mereka yang berjudul Foreign Interference in Domestic Politics menjelaskan bahwa kekuatan asing akan memberikan campur tangan dalam politik domestik suatu negara karena beberapa faktor.
Tentu saja, sebuah negara akan mencampuri negara lain demi kepentingannya. Namun, Cheong dan rekan-rekan penulisnya menyebutkan bahwa dorongan untuk mencampuri urusan domestik negara lain semakin kuat apabila terjadi kompetisi global yang besar.
Cheong dan rekan-rekan penulisnya mencontohkan kompetisi global ini dengan Perang Dingin yang terjadi pada abad ke-20. Kala itu, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet terlibat dalam sebuah persaingan global yang ketat – mulai dari perlombaan senjata, ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga pengaruh geopolitik.
Perebutan pengaruh geopolitik antara AS dan Uni Soviet kala itu akhirnya turut merambat ke negara-negara lain. Oleh karena itu, tidak jarang negara-negara lain – termasuk Indonesia – menjadi tempat persaingan dua negara besar tersebut.
Dalam tulisan milik Cheong dan rekan-rekannya tersebut, dijelaskan pula bahwa motivasi kekuatan asing untuk mencampuri politik domestik menjadi semakin besar apabila rezim yang berkuasa tidak memiliki cara pandang yang sejalan. Campur tangan politik semacam ini bahkan dapat berujung pada pergantian rezim dan kepemimpinan di negara tersebut.
Biasaya, kekuatan asing akan berupaya menyasar pemerintah dan elite politik yang berkuasa. Terkadang, guna menjalankan upaya campur tangan tersebut, kekuatan asing mengandalkan hubungan personal yang terjalin di wilayah negara sasaran.
Pengaruh kekuatan asing ini juga disebarkan melalui misinformasi dan disinformasi melalui jejaring luring maupun daring. Penyebaran ini dapat berjalan secara terbuka maupun tertutup.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia pernah menjadi negara sasaran bagi campur tangan kekuatan asing?
Eros pun menyebutkan bahwa Indonesia pernah menjadi sasaran kekuatan asing pada era Perang Dingin, khususnya ketika Gerakan 30 September (G 30S) PKI terjadi pada tahun 1965. Politikus senior PDIP tersebut menjelaskan pendapatnya mengacu pada dokumen-dokumen rahasia AS yang menjelaskan keterlibatan Central Intelligence Agency (CIA) dalam pergantian rezim kala itu.
Kabarnya, lembaga intelijen AS tersebut memiliki sumbangsih dalam menyusun siapa saja nama yang termasuk dalam daftar PKI – berisi sekitar 5.000 nama. Hal ini diakui oleh beberapa pejabat CIA dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS – seperti Robert J. Martens, Joseph Lazarsky, Edward Masters, dan sebagainya.
Lantas, mungkinkah campur tangan serupa kembali terjadi di Indonesia? Kira-kira, siapa kekuatan asing yang bisa jadi mencampuri polemik RUU HIP?
Kekuatan Asing Mana?
Bukan tidak mungkin pendapat Eros soal kehadiran kekuatan asing dalam polemik RUU HIP ini benar terjadi. Pasalnya, beberapa prasyarat akan adanya campur tangan asing di Indonesia bisa saja mulai terlihat.
Seperti apa yang dijelaskan oleh Cheong dan rekan-rekan penulisnya dalam tulisan mereka, kekuatan asing akan mencampuri politik domestik karena adanya kepentingan tertentu. Bisa jadi, negara-negara besar kini memiliki kepentingan tersendiri di Indonesia.
Apalagi, kini situasi geopolitik mulai memanas layaknya Perang Dingin di abad ke-21, yakni antara AS dan Tiongkok. Kedua negara ini juga disebut-sebut tengah berebut pengaruh di kawasan Asia-Pasifik, termasuk Asia Tenggara dan Indonesia secara khusus.
Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) juga telah mengalami pergeseran politik luar negeri. Pada periode pertama misalnya, Indonesia dianggap semakin mendekat pada pengaruh Tiongkok.
Bisa jadi, AS melihat hal ini sebagai preferensi kebijakan yang tidak sejalan dengannya. Apalagi, PDIP yang dianggap oleh Eros menjadi korban politik labelisasi merupakan partai politik yang tergabung dalam Progressive Alliance – organisasi internasional yang berisikan partai-partai politik berhaluan demokrasi sosial. Mungkin, haluan ini menjadi berseberangan dengan pemerintah AS yang kini lebih menganut spektrum politik konservatif.
Pasalnya, AS sendiri dalam sejarahnya – khususnya pada era Perang Dingin – kerap mencampuri politik domestik negara lain. Biasanya, campur tangan ini dilakukan apabila pemerintahan negara tersebut tidak sejalan dengan preferensi kebijakan dan kepentingan AS.
Namun, di sisi lain, Tiongkok bisa juga berada di balik campur tangan di RUU HIP. Hal ini bisa didasari oleh perubahan arah kebijakan luar negeri Jokowi baru-baru ini yang dinilai mulai meninggalkan Tiongkok dan beralih ke AS.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Tiongkok baru-baru ini diduga turut mencampuri urusan negara lain. Kemungkinan campur tangan oleh Tiongkok di banyak negara ini diungkapkan oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI) yang menyebutkan bahwa Partai Komunis Tiongkok memiliki banyak hubungan terhadap beberapa kelompok dan individu di banyak negara.
Meski kedua negara tersebut memiliki kepentingan Indonesia, belum juga dapat dipastikan siapa yang sebenarnya kekuatan asing di balik polemik RUU HIP. Bahkan, Eros sendiri yang melontarkan isu ini pun tidak berkehendak menuding siapa.
Namun, terlepas dari siapa yang sebenarnya terlibat di balik polemiknya, RUU HIP sendiri bukan tidak mungkin akan mengganggu kepentingan asing milik siapapun. Pasalnya, RUU HIP bisa saja mengandung prinsip-prinsip nasionalisme ekonomi sebagai haluan bagi pelaksanaan perekonomian dan pembangunan nasional.
Hal ini terlihat dari Pasal 17 yang terkandung dalam draf RUU HIP yang diunggah di situs milik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di pasal itu, disebutkan bahwa negara menguasai lapangan perekonomian dan hajat hidup orang banyak.
Namun, bagaimana pun, kekuatan asing ini akan senantiasa menjadi misteri – layaknya misteri di peristiwa-peristiwa bersejarah di masa lampau. Lagi pula, kepentingan negara lain memang tidak akan ada habisnya hadir di Indonesia – entah bagaimana upaya yang dilakukan untuk memenuhinya. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.