Aksi menggemparkan kembali terjadi di media sosial Facebook. Seorang pria merekam proses menggantung dirinya secara langsung. Bagaimana negara harus melihat kejadian ini?
PinterPolitik.com
Panghinggar Irawan (35) sempat mengenalkan dirinya sebagai Indra dalam video pertama yang berdurasi 1 menit 5 detik. Di video berikutnya, yang berdurasi 1 jam 44 menit, ia telah siap dengan seutas tali dan mengalungkannya ke leher. Kejadian miris yang terjadi pada Jumat tersebut membuat heboh masyarakat, khususnya netizen. Walaupun sudah dihapus oleh Facebook, video tersebut terakhir telah dilihat sebanyak lebih dari 57.000 kali.
Seperti yang dilansir dari Warta Kota, sebelum Indra melakukan aksi bunuh diri, ia dan istri, Dina Febrianti, sempat cekcok hingga melibatkan Ketua RT setempat, Mohammad Sidik. Menurutnya, Dina cemburu karena menemukan pesan chatting suaminya dengan perempuan lain. Setelah berkonsultasi, Mohammad Sidik tidak mengetahui kalau Dina membawa anak-anaknya pergi dari rumah. Saat itulah, Indra melakukan aksinya.
Dalam teori 4 jenis bunuh diri, Emile Durkheim menjabarkan terdapat jenis bunuh diri Egoistic Suicide, Altruistic sicide, Anomic suicide, dan Fatalistic suicide. Menilik dari aksi bunuh diri yang dilakukan oleh Panghinggar atau Indra dalam jenis bunuh diri versi Durkheim, ia masuk dalam jenis aksi bunuh diri Egoistic suicide, dimana aksi bunuh diri terjadi karena rendahnya integrasi sosial yang terjadi oleh pelaku bunuh diri. Ketika seseorang melakukan bunuh diri jenis egoistic suicide, mereka tidak didukung oleh lingkaran sosial, merasa diri asing, dan merasa tidak memiliki siapapun selain dirinya. Dalam keadaan tertekan akibat perselisihan dengan sang istri, Indra merasa tak berdaya dan takut, namun di sisi lain ia mengaku tak memiliki pilihan lain. Hal tersebut sempat disampaikannya dalam video bahwa ia sebenarnya takut.
Penanganan Kesehatan Mental di Indonesia
Penyelenggaraan kesehatan mental di Indonesia masih memiliki banyak persoalan. Data dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013 mengemukakan bahwa gangguan kesehatan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang.
Sedangkan data dari WHO (World Health Organization) menyatakan satu dari empat orang di dunia terjangkit gangguan mental dalam beberapa waktu dalam hidup. Sekitar 450 juta orang saat ini mengalami gangguan kesehatan mental dan 1 juta orang melakukan bunuh diri setiap tahun.
Kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental di Indonesia masih belum tinggi. Hal ini berkaitan dengan baru tiga tahun disahkannya UU nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan mental. Proses pembentukan UU ini dijelaskan oleh salah satu penggagasnya yakni, Nova Riyanti Yusuf, lahir melalui dobrakan atau desakan oleh publik. Ia juga berharap hadirnya UU tentang kesehatan mental ini akan menstimulasi perbaikan dan kesadaran masyarakat atas kesehatan mental.
Sudah 3 tahun diimplementasikan di Indonesia, perubahan signifikan belum terlihat. Prosedur kesehatan negara yang bertalian dengan pengesahan UU no 18 tahun 2014, juga tidak memudahkan warga untuk berobat atau memeriksa keadaan jiwanya.
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan) tidak memberi informasi mengenai pelayanan kesehatan mental melalui badannya. Sedangkan melalui Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) 59 tahun 2014, jelas disebutkan bahwa penyakit kejiwaan dijamin oleh BPJS.
Kenaikan harga iuran yang terjadi dalam dua tahun berturut turut mewarnai BPJS. Pada 1 April 2016 dan sesuai Peraturan Presiden nomor 19 tahun 2016, iuran peserta BPJSKes dinaikan menjadi Rp23,000 yang sebelumnya Rp19,225 per bulan. Bagi Pekerja Penerima Upah (PPU) swasta, tidak mengalami perubahan. Sementara , PNS, Anggota TNI, Polri, pejabat negara, pimpinan DPRD, dan pegawai pemerintah non-PNS, dikenakan keniakan 5 persen dari total upah 3 persen akan membayar 2 persen. Adapun, bagi peserta Bukan Penerima Upah (PPBU) dan Peserta Bukan Pekerja untuk kelas III, akan dikenakan Rp,30,000 per bulan yang sebelumnya Rp25,5000. Peserta kelas I membayar Rp51,000 per bulan yang sebelumnya Rp42,500. Dan untuk peserta kelas I, iuran menjadi Rp80,000 dari yang sebelumnya Rp59,500.
Alasan yang dikemukakan oleh pihak BPJSKes adalah, untuk menjaga keberlangsungan pelayanan sistem jaminan kesehatan ‘universal’ ini. Pilihan ini menjadi rasional mengingat BPJSKes tidak mungkin menurunkan jumlah manfaat atau meningkatkan proporsi anggaran mereka dalam APBN. Maka dari itu, mereka sesumbar dengan meningkatkan kualitas pelayanan terhadap seluruh peserta yang ada, melalui kenaikan iuran.
Penyebab Bunuh Diri
Direktur dari Anxiety and Phobia Treatment Center di Amerika Serikat, Frederic Neuman, mengungkapkan ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya dorongan bunuh diri. Faktor tersebut adalah depresi, rasa takut, kemarahan, kebencian, kebingunan, kesepian, benci pada diri sendiri, kekecewaan mendalam, ketidakberdayaan, hingga tidak mau dikalahkan. Namun, seperti halnya semua perilaku manusia, bunuh diri merupakan hasil pemikiran yang berbeda dan kadang bertentangan.
Menurutnya lagi, ada tiga sebab seseorang dapat melakukan bunuh diri, yakni disebabkan oleh faktor biologis, psikologis, dan sosio kultural. Faktor biologis yang mempengaruhi biasanya terletak secara genetis. Neuman melanjutkan bahwa, keluarga yang mempunyai catatan bunuh diri, akan menurunkan kemungkinan bunuh diri juga. Artinya, jika salah seorang anggota keluarga melakukan bunuh diri, di masa depan kemungkinan anggota keluarga melakukan bunuh diri dapat terjadi. Penyebab secara biologis ini berkaitan pula pada persoalan genetik yang membawa trait pada kepribadian tertentu.
Faktor psikologis penyebab bunuh diri berputar pada depresi, gangguan kognitif, dan stress akut. Sedangkan penyebab karena faktor sosio kultural, dilatarbelakangi oleh alienasi individu dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial yang tidak menghargai eksistensi seseorang, mampu mendorong seseorang melakukan bunuh diri.
Cara Bunuh Diri
Menyiarkan aksi bunuh diri secara langsung melalui media sosial Facebook, tidak pertama kali ini terjadi. Sebelumnya seorang remaja berusia 14 tahun asal Florida, Amerika Serikat juga melakukan hal yang sama. Naika Venant melilit lehernya menggunakan scarf atau kain di pintu kamar mandi pada pukul 03.00 pagi saat semua penghuni panti sosial terlelap. Naika tinggal bersama pengasuh di panti sosial sejak kecil.
Berbeda dengan Negara Jepang, mereka ingin aksi bunuh diri sangat personal dan private. Praktik bunuh diri yang sudah mencapai tahap mengkhawatirkan di Jepang, membawa nama aokigahara familiar di berbagai belahan negara. Hutan Aoki atau aokigahara dikenal sebagai hutan tempat melangsungkan bunuh diri. Konon, lebih dari 105 jasad ditemukan dalam hutan pada 2003. Kebanyakan dari mereka menggantung diri atau overdosis obat-obatan. Pada tahun 2011, pemerintah setempat meminta media berhenti mengasosiasikan aokigahara dengan bunuh diri. Hingga akhirnya, kini tempat tersebut menjadi destinasi wisata terkenal di Jepang.
Bila dibandingkan dengan Jepang, Indonesia belum mencapai angka dan fenomena sosial demikian. Tentu hal tersebut kita haus antisipasi agar tidak terjadi. Namun, faktor kurangnya tenaga psikiater sama-sama melanda Indonesia dan Jepang dalam menghadapi kasus bunuh diri. Selain itu, ketabuan membahas gangguan kesehatan mental juga melanda masyarakat Jepang dan Indonesia.
Perbaikan dari Pemerintah
“Each victim of suicide gives his act a personal stamp which expresses his temperament, the special conditions in which he is involved, and which, consequently, cannot be explained by the social and general causes of the phenomenon.” Emile Durkheim.
Dalam tiap aksi bunuh diri, seseorang meninggalkan sebuah cap yang menggambarkan tempramen dan kondisi hidup, yang tidak bisa dijelaskan oleh fenomena sosial dan keadaan umum dari keadaan tersebut. Kegagapan, bahkan ketidaksensitifan kita ketika berhadapan dengan kasus Indra yang melakukan aksi bunuh diri secara langsung, hanya dapat membuat masyarakat, terutama netizen, memberi beragam komentar. Sehingga, seakan kasusnya idak mempunyai korelasi apapun tentang latar belakang sosial dan hal-hal umum lainnya.
Benny Prawira, pendiri komunitas peningkatan kesadaran pencegahan bunuh diri, Into The Light Indonesia, mengungkapkan bahwa kata-kata menghakimi, merendahkan, atau memancing sebaiknya tidak diucapkan pada seseorang yang hendak bunuh diri tersebut. Cara yang paling sederhana dan mudah dilakukan adalah dengan bersikap empati dan menjadi lawan bicara yang bak dan mau mendengarkan.
Sedangkan di negara maju, seperti Inggris, usaha mereduksi ketimpangan finansial menjadi soal yang ditempuh untuk meredam angka gangguan kesehatan mental di negaranya. Mereka menemukan fakta bahwa ketidakpastian pekerjaan, kecilnya pendapatan, hingga beban hutang-hutang membuat Inggris berhadapan dengan kasus bunuh diri warganya.
Lalu apa yang harus dilakukan Indonesia? Tentu, meredam jarak ekonomi adalah langkah yang perlu diperjuangkan. Tetapi, dukugan pemerintah untuk menyediakan fasilitas kesehatan dan kemudahan akses pada kesehatan mental adalah hal yang paling dekat dilakukan. Selain itu, keseriusan pengimplementasian akan UU nomor 18 tahun 2014 mengenai kesehatan mental, harus serius diberlakukan. (A27)