Atmosfer yang tercipta antara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan pemerintah selama pandemi Covid-19 acapkali dinilai mengindikasikan pertentangan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan distingtif mengenai apakah peran IDI memang seolah tanpa celah dalam aspek penanganan kesehatan di Indonesia?
PinterPolitik.com
Publik Indonesia mungkin sudah tidak heran melihat pagelaran disharmoni antara pemerintah dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengenai data hingga penanganan seputar Covid-19. Hal ini entah mengapa terjadi ditengah sangat dibutuhkannya soliditas pihak-pihak terkait dalam penanganan Covid-19 yang menyeluruh.
Teranyar, Ketua Umum IDI, Daeng Faqih menyatakan ada kemungkinan bahwa data yang diupdate setiap harinya oleh pemerintah bisa jadi adalah data satu atau dua minggu yang lalu. Tentu hal ini sedikit menyentak publik, meskipun memang tidak dapat dipungkiri telah ada “kelumrahan” persepsi atas rendahnya kualitas himpun data pemerintah seputar Covid-19.
Narasi konfliktual yang terbangun selama ini antara IDI dan pemerintah, di satu sisi cukup positif untuk mengakselerasi perbaikan penanganan Covid-19. Namun di sisi berbeda, publik dibuat bingung dan resah atas pertentangan kualitas data tersebut.
Selain dapat menyebabkan distorsi publik sehingga menyepelekan perhatian akan bahaya Covid-19, narasi tersebut juga seolah memperkuat gambaran “in a nuthshell” mengenai rendahnya kolaborasi antara berwenang yang ironisnya terjadi pada saat genting pandemi Covid-19.
Memang harus diakui, pasang surut selalu menghiasi hubungan antara IDI dan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sebelum hantaman Covid-19 misalnya, penunjukkan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto mendapatkan reaksi kurang positif dari IDI, yang bahkan ketika itu lantang menentang atas nama asosiasi. Hal ini dinilai kuat terkait dengan pertentangan metode “cuci otak” yang belum sepenuhnya terselesaikan antara kedua belah pihak.
Pro-kontra terus bermunculan secara dinamis, hingga ada saat di mana IDI dan Menkes Terawan mengurangi tensi tersebut pada akhir Oktober 2019. Grafik kemesraan hubungan kedua belah pihak kembali terjerembab ketika Covid-19 di Indonesia relah terkonfirmasi dan terus menyebar luas hingga saat ini.
Tendensi yang tercipta pun menjadi menarik ketika IDI seolah selalu berada di pihak yang memiliki visi paling tepat atas ketidakcakapan pemerintah dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Namun di sisi lain, ada satu hal yang jarang terekspos oleh mata publik, bahkan media, mengenai apakah IDI sebagai organisasi yang menaungi profesi dokter di seluruh Indonesia tidak memiliki kekurangan atau flawlessness saat membangun berbagai narasinya selama pandemi Covid-19?
Telaah Medical Politics
Berdasarkan ketetapan konstitusi, IDI merupakan satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia. Atas hal tersebut, organisasi ini kemudian turut memainkan peran penting sebagai kelompok prioritas dalam pemberi referensi kebijakan pemerintah Indonesia pada aspek kesehatan.
Theodore Marmor dan David Thomas dalam publikasinya “Doctors, Politics and Pay Disputes: ‘Pressure Group Politics’ Revisited” mengemukakan bahwa organisasi ataupun asosiasi profesi kedokteran berperan sebagai kelompok penekan (pressure group) terhadap pemerintah mengenai berbagai elemen kebijakan terkait kesehatan di suatu negara.
Merujuk pada pernyataan Marmor dan Thomas di atas, serta fakta sebelumnya bahwa IDI adalah satu-satunya organisasi profesi kedokteran di Indonesia, dapat ditarik konklusi bahwa IDI memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam membentuk kebijakan pemerintah. Hal tersebut dapat tercermin melalui outcome kebijakan seputar profesi dokter serta tenaga kesehatan, obat dan farmasi, hingga fasilitas kesehatan.
Sebagai kelompok penekan, IDI juga memenuhi syarat mutlak mumpuni ketika harus dihadapkan pada kebijakan yang merugikan profesinya. IDI juga memiliki kekuatan tawar atau bargaining power yang besar, mengingat posisi dokter sebagai tenaga medis sangat vital di negara dengan rasio dokter yang rendah seperti Indonesia.
Kemudian, David Hyde dalam “The American Medical Association: Power, Purpose, and Politics in Organized Medicine” mengemukakan bahwa seorang dokter yang secara aktif memainkan peran dalam ranah medical politics atau politik medis, dapat memperoleh kekuatan serta pengaruh pada visi profesi kedokteran, aspek profitabel terkait, status profesi dokter di mata publik, hingga signifikansi peran dalam pemerintahan.
Lebih lanjut, Hyne juga menyebutkan tiga konsekuensi produktif terkait medical politics pada suatu organisasi profesi kedokteran, yaitu posisi monopoli atau monopoly position, sumber daya finansial atau financial resources, dan kekuatan politik atau political strength.
Jika bergeser pada aspek politik medis, berdasarkan paparan Hyne tersebut, menjadi relevan jika dikatakan bahwa posisi decision making dalam organisasi IDI sangat penting, baik secara personal maupun kolektif. Namun demikian, hal itu seringkali memicu friksi, baik di internal IDI sendiri, maupun dengan pemerintah ketika kepentingan dua kutub saling bertolak belakang.
Hal ini dapat terlihat dari hubungan antara IDI dengan Menkes saat ini. Permasalahan masa lalu seputar metode cuci otak yang berujung pemecatan Terawan dari IDI, serta kemudian merembet kepada hubungan keduanya sampai saat ini, dinilai erat kaitannya dengan konsekuensi medical politics yang disebutkan oleh Hyne sebelumnya.
Pada titik ini, justifikasi politis nampaknya sulit dihindari ketika metode cuci otak Terawan disinyalir memonopoli segalanya, yang kemudian dinilai membuat spesialis radiologi lain di bawah naungan IDI dirugikan. Meskipun, alasan yang publik ketahui di balik friksi tersebut ialah terkait persoalan teknis metode tersebut yang dinilai menyalahi aturan.
Menjadi dapat dimaklumi ketika IDI bereaksi keras saat Terawan melenggang di jajaran Kabinet Indonesia Maju. Namun, selain mendapatkan momentum tersendiri, political strenght Terawan yang nyatanya dibutuhkan oleh Presiden Jokowi, tampaknya membuat IDI harus gigit jari saat itu.
Momentum bagi IDI sendiri kemudian hadir ketika Covid-19 terkonfirmasi di Indonesia. Kegagapan pemerintah, termasuk Menkes, menjadi celah eksploitasi “empuk” bagi IDI untuk membombardir “rival masa lalu” dengan berbagai kritikan. Bagaimanapun, itulah salah satu konstruksi perpektif logis yang tercipta ketika narasi konfliktual tidak pernah terbantahkan di antara IDI serta pemerintah sepanjang pandemi Covid-19.
Probabilitas Eksesif
Sebagai organisasi yang relevan, kredibel, dan menjadi garda terdepan saat pandemi Covid-19, IDI tentu berkepentingan menuntut pemerintah agar menyediakan kebijakan serta dukungan teknis terbaik bagi para anggotanya. Lalu, tanggung jawab moral juga menjadikan IDI selalu terdepan dalam memberikan saran dan kritik kepada pemerintah.
Selain itu, kesan bahwa pemerintah seolah “anti-sains” saat pandemi Covid-19 menjadikan berbagai kritikan serta narasi yang berupaya IDI bangun memiliki superioritas atau kekuatan tersendiri. Namun seperti halnya organisasi lain, IDI sebagai organisasi profesi, juga tidak tertutup kemungkinan memiliki konflik kepentingan tersendiri, terutama terkait narasi yang berupaya mereka bangun saat ini.
Steven Nissen dalam “Conflict of Interest and Professional Medical Association” menyatakan bahwa isu integritas dan independensi sangat rentan dalam konflik kepentingan organisasi profesi kedokteran. Hal ini dikarenakan organisasi tersebut secara natural berisi subjek-subjek “marketing” para pemodal di industri medis dan farmasi. Ihwal tersebut bisa mengalir dan berbentuk pendanaan konferensi, pendanaan publikasi jurnal, hingga “fasilitas sponsorship” dari industri medis dan farmasi bagi para dokter.
Mengacu pada tulisan Nissen tersebut, konflik kepentingan di dalam tubuh IDI bukan tidak mungkin eksis keberadaannya. Apalagi ditemukan fakta bahwa di kondisi internal IDI tidak selalu solid. Bahkan beberapa waktu lalu, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshidiqie sempat turun tangan dan berupaya menetralisir munculnya konflik kepentingan antara anggota IDI di pemerintahan dan di kepengurusan.
Sementara terkait dengan Covid-19, IDI yang jamak mengkritisi pemerintah, di sisi lain juga dinilai menyelipkan agenda tersendiri terkait histori hubungan disharmoni dengan sang Menkes. Ditambah lagi dengan adanya potensi “natural” penyebab konflik kepentingan yang disebutkan Nissen, yang disinyalir sulit terbantahkan nihil keberadaannya. Hal ini membuat narasi yang coba IDI bangun sepanjang dinamika pandemi Covid-19 ini dinilai patut untuk selalu dicermati dengan kritis.
Flawlessness atau kekurangan dari superioritas narasi IDI terhadap pemerintah nyatanya dinilai berasal dari karakteristik organisasi profesi itu sendiri. Ketika kritik yang disampaikan berlandaskan kode etik profesi tentu akan positif. Namun di sisi lain, ketika kritik tersebut berlandaskan kepentingan tertentu, akan menjadi preseden minor tersendiri bagi masa depan organisasi.
Bagaimanapun, saat ini IDI dinilai masih berada pada spektrum yang sesuai dalam memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Diharapkan, masukan konstruktif serta gestur pro aktif dapat lebih dimaksimalkan oleh IDI untuk meminimalisir dugaan diferensiasi chemistry atau bahkan kepentingan dengan pemerintah. Menarik untuk menantikan kelanjutannya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.