Site icon PinterPolitik.com

Menggugat Jonan!

Menggugat Jonan!

Foto: krjogja.com

Koalisi Masyarakat Sipil menitikberatkan pada pembuatan kedua Permen yang secara substansial telah menyalahi induk aturan sebelumnya. Seharusnya pemerintah membenahi perubahan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba terlebih dahulu sebelum membentuk aturan turunan.


pinterpolitik.comSelasa, 17 Januari 2017.

JAKARTA – Permen ESDM Nomor 5 dan 6 Tahun 2017 yang baru disahkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendapat penolakan. Koalisi Masyarakat Sipil merupakan salah satu kelompok yang berencana menggugat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan ke Mahkamah Agung (MA) terkait dua Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang baru saja diluncurkan tersebut.

Kedua Permen tersebut adalah Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Permen Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

Salah satu perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil, Ahmad Redi menyebutkan, saat ini pihaknya tengah menyusun poin-poin gugatan terhadap kedua Permen tersebut, yang selanjutnya akan dilayangkan ke MA pada pekan depan.

Koalisi Masyarakat Sipil menitikberatkan pada pembuatan kedua Permen yang secara substansial telah menyalahi induk aturan sebelumnya. Seharusnya pemerintah membenahi perubahan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba terlebih dahulu sebelum membentuk aturan turunan.

Ada tiga poin dasar yang tertuang dalam kedua Permen tersebut, namun bertentangan dengan UU Minerba dan juga hasil Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 tentang Hasil Uji Materil terhadap Pasal 102 dan Pasal 103 pada UU Minerba.

Hal pertama yang disoroti adalah pemberian izin ekspor terhadap nikel dan bauksit yang belum dimurnikan atau berkadar rendah. Dalam Permen Nomor 6 Tahun 2017 memang disebutkan bahwa pemerintah memberikan izin ekspor nikel jika memiliki kadar di bawah 1,7 persen. Selain itu, terdapat pula aturan soal ekspor bauksit yang telah dilakukan pencucian.

“Karena berdasarkan UU Minerba jelas, harus dimurnikan dan diolah terlebih dahulu di dalam negeri,” tegas Ahmad yang juga merupakan pengamat energi dan sumber daya alam dari Universitas Tarumanegara.

Yang kedua, terkait perubahan status perusahaan tambang dari Kontrak Kerja (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK). Padahal, perubahan status tersebut seharusnya melalui sejumlah rangkaian terlebih dahulu atau tidak semudah yang ditetapkan oleh Jonan dalam Permen barunya.

Ahmad menjelaskan, rangkaian perubahan tersebut bermula dari status wilayah cadangan negara yang mana hal itu ditetapkan terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk selanjutnya diubah menjadi wilayah pertambangan khusus (IUPK).

Bila telah berubah menjadi IUPK, seharusnya pemerintah menawarkannya terlebih dahulu kepada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kemudian ditawarkan kepada perusahaan swasta dalam tahapan lelang.

“Tapi tiba-tiba dalam Permen, tidak menggunakan cara itu. Tetapi langsung memutus KK menjadi IUPK. Ini menyalahi proses dan prosedur yang ada di UU Minerba,” imbuh Ahmad.

Yang terakhir adalah terkait pelonggaran atau relaksasi ekspor minerba yang diberikan kepada perusahaan yang telah berstatus IUPK. Padahal, menurut Permen Nomor 1 Tahun 2014, pemerintah seharusnya tak lagi memberi izin ekspor minerba kepada perusahaan tambang yang tak kunjung membangun pemurnian dan pengolahan mineral (smelter).

“Tiga poin ini secara kasat mata tidak sesuai dengan ketentuan UU Minerba, khususnya Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 170, serta beberapa pasal lain mengenai wilayah pencadangan, juga tak sesuai dengan Putusan MK Nomor 10 Tahun 2014,” jelas Ahmad.

Koalisi Masyarakat Sipil sedianya mengajak Manajer Advokasi dan Jaringan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), dan beberapa lembaga lainnya untuk bersama-sama mengajukan gugatan tersebut. Menarik untuk menunggu kelanjutan gugatan tersebut. Apa pun itu, semuanya harus diupayakan demi kepentingan masyarakat banyak. (CNN/S13)

Exit mobile version