“Tugas menjaga rumah tangga itu ada di pundak istri. Kalau suami berbuat maksiat, itu salah istri!” begitu kata seorang keluarga padanya. Yah, bagaimana bisa melarang, jika sekali mengeluarkan suara, tamparan mendarat di wajahnya? Mengapa pula istri tak melapor?
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]ni baru saja ditinggal suaminya. Bukan rahasia umum jika laki-laki itu meninggal karena overdosis narkoba. Selain pemakai dan pecandu, suami Ani juga terkenal memiliki perangai kasar. Tamparan, tendangan, dan makian kerap melayang kepada Ani saat menjalani bahtera rumah tangga dengan alm. suaminya.
Suami Ani bekerja sebagai pengusaha. Saat usahanya meroket dan sukses, Ani diminta untuk tak lagi bekerja dan tinggal di rumah oleh suaminya. Ani, yang tadinya ikut terlibat dalam usaha sang suami, juga dicegah ‘ikut campur’ mengurus perusahaan bersama.
Bayangkan saja, sudah harus menerima kekerasan fisik dari suami, kini Ani harus menanggung pula kekerasan psikis berupa pembatasan ruang gerak dan keuangan oleh suami.
Ani pikir, meninggalnya sang suami, walau dengan keadaan mengenaskan, akan membawa sebuah ketenangan dan setidaknya, sedikit kebebasan baginya. Tapi sayang, tidak. Keluarga suami menyalahkan dirinya karena Ani dianggap tidak bisa mengatur dan melarang suami.
Ani hanya bisa menjawab, “bagaimana saya melarang dia, ketika ditanya ‘kok malam pulangnya?’, saya langsung mendapat tamparan di pipi dan dibilang cerewet banyak ngatur?”
Namun apa daya, respon yang diterima Ani malah membuatnya makin sedih saja. “Tanggung jawab keluarga itu ada d pundak istri. Bila suami melakukan kesalahan sampai terjerumus dalam kemaksiatan, itu karena salah sang istri!”
Wah, sungguh betapa berat menjadi seorang istri ideal yang dibangun oleh masyarakat patriarkis. Sudah patuh dan menurut pada suami, masih saja salah. Tengok saja, istri diminta untk patuh dan menurut kepada suami. Suami digadang-gadang dalam kitab suci sebagai seorang pemimpin keluarga dan istri yang yang baik ada mereka yang tak pernah menentang kehendak suaminya. Bahkan, saat terjadi kekerasan terhadap istri, masyarakat masih saja cenderung menyalahkan istri.
Keengganan Melapor ke Polisi
Saat seorang istri mengalami kekerasan dari suami, mereka jarang melaporkan suaminya ke polisi. Bahkan ketika peraturan mengenai KDRT yang termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekeran Dalam Rumah Tangga, Ani, beserta sebagian besar perempuan lainnya, lebih memilih untuk menempuh jalan damai atau mediasi. Mengapa? Karena para perempuan ini masih memiliki ketergantungan ekonomi dan psikis pada pelaku (pasangan).
Keterbatasan ekonomi dan kebutuhan untuk dilindungi serta disayang orang lain (pasangan), adalah penyebab utama keengganan para korban melaporkan pelaku KDRT. Meskipun kekerasan yang dialami terkadang tergolong dalam KDRT berat, korban tidak ingin pelaku dihukum atau dipenjara. Mereka hanya berharap pelau dapat mengubah perilakunya tersebut. Dari sini, tak jarang korban baru menempuh proses pidana saat kekerasan benar-benar sudah berat dan berulangkali terjadi.
Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2014 menunjukan, kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 293.220. dari angka tersebut, sekitar 96% atau 280. 710 adalah kasus KDRT. Data ini didapat Komnas Perempuan ‘hanya’ dari Pengadilan Agama, artinya hanya yang tercatat atau diselesaikan secara hukum perdata saja yang terekam. Sedangkan bagi korban yang mengalami KDRT dan memperkarakannya ke hukum pidana, jumlahnya lebih kecil lagi.
Dengan demikian, perempuan sebagai pihak yang hampir selalu menjadi korban KDRT, menemui beban berlapis yang datang dari luar dan diri sendiri. Yakni kerap dilempar kesalahan oleh masyarakat atau keluarga, serta masih sangat bergantung secara ekonomi dan psikis terhadap pelaku KDRT.
(Disadur dari Konde.co/ A27)