Belum lama ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Pertamina, menariknya Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok justru masuk dalam empat calon kandidat Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara Baru yang disebutkan langsung oleh Presiden Jokowi. Di luar persoalan pro dan kontra atas masuknya nama Ahok tersebut, satu pertanyaan mencuat, mengapa Jokowi begitu mengandalkan partnernya sewaktu memimpin DKI Jakarta tersebut?
PinterPolitik.com
Pada September 2014 lalu, Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID), Jajat Nurjaman memberikan prediksi terkait karier politik Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang menariknya benar-benar menjadi kenyataan. Saat itu, Jajat menanggapi sikap Ahok yang justru memilih keluar dari Partai Gerindra sebagai penanda bahwa karier politiknya akan berakhir pada 2017.
Terbukti, 2017 menjadi saksi bisu bagaimana Ahok mendapatkan hempasan hebat dalam karier politiknya, yang bahkan harus membuatnya mendekam di penjara selama dua tahun.
Setelah keluar dari penjara pada 2019 lalu, menariknya Ahok mengulangi pernyataan Jajat dengan menyebutkan bahwa karier politiknya telah berakhir karena ia tidak mungkin lagi dapat mengisi posisi jabatan publik.
Akan tetapi, alih-alih kariernya meredup, sosok yang belakangan ingin dipanggil sebagai BTP tersebut justru mendapatkan hujanan tawaran jabatan dari pemerintah. Tidak cukup ditunjuk sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina, kini nama Ahok bahkan masuk dalam empat calon Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara Baru.
Konteksnya menjadi semakin menarik karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri yang justru mengumumkan nama-nama tersebut. Sontak saja berbagai pihak langsung memberikan tanggapan sembari menyimpulkan bahwa itu menjadi indikasi kuat dekatnya hubungan sang presiden dengan Ahok.
Itu misalnya dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon dalam akun twitter pribadinya yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi “memang percaya dan sayang” kepada Ahok.
Tidak hanya itu, masuknya nama Ahok juga kembali menyulut aksi sejumlah Alumni 212 yang tergabung dalam Mujahid 212 yang secara terbuka menyerukan penolakan jika mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut dipilih menjadi Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara Baru.
Konteks akan adanya penolakan dari Mujahid 212 ataupun tudingan miring dari berbagai pihak tentu mudah diprediksi akan berdatangan.
Namun, mengapa pengumuman nama Ahok tetap dilakukan langsung oleh Presiden Jokowi? Seperti pernyataan Fadli Zon, apakah itu menunjukkan bahwa Ahok memang merupakan sosok yang begitu dekat dengannya?
Jokowi Alami Alternative Blindness?
Terkait pertanyaan tersebut, kegusaran pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin nampak menarik untuk direfleksikan. Gusarnya, dari 250 juta penduduk yang ada, mengapa nama Ahok yang justru dipilih oleh Presiden Jokowi?
Rolf Dobelli dalam bukunya yang tersohor The Art of Thinking Clearly, menyebutkan terdapat suatu bias kognitif yang kerap terjadi, yang mana itu membuat seseorang melupakan pilihan alternatif atas sesuatu. Bias kognitif tersebut disebut sebagai alternative blindness.
Menurut Dobelli, bias tersebut benar-benar menjadi langganan bagi aktivitas kognitif manusia, tak terkecuali bagi politisi.
Pada konteks Ahok, bias tersebut terlihat jelas, seperti yang diungkapkan oleh Ujang, mengapa Presiden Jokowi justru menyebut nama Ahok dari sekian banyak opsi yang tersedia. Di sini telah terjadi kebutaan akan alternatif lainnya.
Terjadinya bias tersebut boleh jadi memang tidak terlepas dari hubungan Presiden Jokowi dan Ahok yang disebut begitu dekat. Pada Mei 2018 lalu misalnya, Ahok pernah menjawab bahwa Presiden Jokowi adalah sahabatnya ketika ditanya tentang siapa sosok yang dianggapnya sebagai sahabat. Lanjut Ahok, Presiden Jokowi juga pasti akan menjawab namanya jika ditanya pertanyaan yang sama.
Selain itu, ditempatkannya Ahok di posisi strategis, seperti Komut PT Pertamina ataupun katakanlah nantinya akan menjadi Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara Baru juga dapat dipahami sebagai sebuah strategi politik.
George C. Edwards III dalam tulisannya yang berjudul Neustadt’s Power Approach to the Presidency, menyebutkan bahwa perluasan pengaruh presiden dapat dilakukan melalui relasi-relasi yang dimilikinya. Melalui relasi-relasi tersebut, presiden dapat menyebarkan pengaruhnya di tempat-tempat kekuatan lain.
Artinya, dengan menempatkan Ahok di berbagai posisi, itu menjadi semacam jaminan bagi Presiden Jokowi untuk menjaga pengaruhnya di posisi-posisi tersebut.
Apalagi, proyek pemindahan ibu kota yang disebut menelan biaya sampai Rp 466 triliun tentu saja membutuhkan sosok yang begitu dipercayai untuk menjamin ambisi besar Presiden Jokowi tersebut terlaksana. Ahok yang dikenal memiliki kemampuan pengawasan anggaran yang sangat baik tentu menjadi pilihan yang masuk akal untuk menjaga agar tidak terjadi korupsi di mega proyek tersebut.
Jokowi Terapkan Hypodermic Needle Theory?
Pada titik ini, mungkin dapat dipahami bahwa Presiden Jokowi telah mengalami alternative blindness karena kedekatannya dengan Ahok ataupun terkait strategi politiknya untuk menjaga pengaruh di proyek pemindahan ibu kota.
Akan tetapi, bagaimana jika terdapat intrik politik lain di balik pengumuman langsung Presiden Jokowi yang menyebut nama Ahok?
Pasalnya, mantan Wali Kota Solo tersebut pasti mengetahui bahwa hal tersebut akan semakin menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat. Terlebih lagi, saat ini pemerintah tengah dilanda oleh gelombang isu miring.
Keheran serupa juga diungkapkan oleh Direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi tengah melawan emosi publik dan gagal dalam membaca sentimen, yang mana itu adalah potensi untuk menciptakan kegaduhan dan mengganggu stabilitas politik.
Merujuk pada hal tersebut, serta menimbang pada status Ahok yang telah menjelma menjadi magnet perhatian publik dan media massa, apakah mungkin Presiden Jokowi sengaja melempar isu Ahok adalah calon Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara Baru sebagai strategi untuk mengalihkan isu tertentu?
Pasalnya, berdasarkan hypodermic needle theory atau magic bullet theory, status Ahok tersebut sangat tepat digunakan untuk menjadi “peluru ajaib” atau konten pemberitaan yang mumpuni karena ketenaran dan kontroversinya, sehingga dapat langsung bersarang di benak publik.
Teori itu sendiri menjelaskan bahwa pemberitaan di media massa – terlebih lagi apabila informasinya berasal dari orang yang begitu penting – dapat memiliki kekuatan yang dapat mengontrol pandangan pembaca.
Artinya, dengan fakta isu tersebut dihembuskan langsung oleh Presiden Jokowi, itu tentu menciptakan efek kontrol yang kuat, yang mana akan membuat pandangan dan perhatian publik begitu tertuju.
Lantas, jika demikian yang terjadi, isu apakah yang sedang dialihkan oleh pemerintah? Mungkinkah isu virus Corona?
Saat ini, dengan fakta adanya kasus virus Corona di Indonesia, itu telah menjadi semacam tamparan hebat bagi penolakan pemerintah selama ini yang menyebut kasus virus Corona masih negatif.
Tidak hanya itu, hal tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintah boleh jadi tidak memiliki langkah preventif yang mumpuni dalam menangkal penyebaran virus yang berasal dari Kota Wuhan, Tiongkok tersebut.
Apapun itu, yang jelas isu Ahok dan mega proyek ibu kota Presiden Jokowi telah berhasil menarik perhatian banyak pihak. Kita nantikan saja bagaimana perputaran isu tersebut nantinya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.