Status kota dengan polusi udara terburuk sempat tersematkan pada ibu kota Jakarta. Dengan persoalan polusi tersebut, langkah dan kebijakan apa yang dapat dan perlu dilakukan oleh pemerintah?
PinterPolitik.com
Rilis data AirVisual pada 29 Juli lalu terkait kualitas udara Jakarta yang menempati urutan pertama sebagai kota dengan polusi udara terburuk di dunia berhasil menggegerkan publik. Sebagai ibu kota negara, Jakarta merupakan pusat kegiatan pemerintahan serta beroperasinya berbagai instansi swasta maupun milik negara.
Belum lagi, terdapat juga rumah-rumah yang menjadi tempat bernaung, sekolah-sekolah, sampai instansi pendidikan lain yang beroperasi di Jakarta. Ketika terbukti bahwa tempat tinggal dan tempat beraktivitasnya berpotensi besar membawa dampak buruk bagi kesehatan, tentu saja kekhawatiran masyarakat memuncak.
Padahal, sesungguhnya permasalahan buruknya kondisi udara Jakarta bukanlah permasalahan yang baru. Tentu, masyarakat Jakarta hafal betul apa yang pertama kali menyambut mereka ketika keluar dari pintu rumah.
Kemacetan, namanya. Asap-asap kendaraan mengepul hebat, beriringan dengan sahut-sahutan suara klakson kendaraan. Sejak beberapa tahun lalu, media-media massa di Indonesia sudah beberapa kali menyebutkan kondisi udara di Jakarta amatlah buruk. Entah apa lagi yang ditunggu para pembuat kebijakan untuk membenahi permasalahan tersebut.
Tampaknya, permasalahan lingkungan hidup, termasuk penanganan polusi udara, tidak menjadi agenda penting bagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut salah satunya tercermin dari agenda politik dan kampanye para politisi dan pemerintah.
Tentu masih jelas di ingatan kita agenda kampanye para calon legislatif di pemilihan legislatif April 2019 lalu. Sampai mencuat ke media sosial, kebanyakan politisi berlomba-lomba “menjual” agama sebagai daya tarik dalam kampanyenya. Selain agama, sentimen suku dan ras juga turut dimainkan dalam agenda kampanye.
Di tengah-tengah polusi udara yang terjadi, bagaimana masyarakat Jakarta meresponsnya? Kebijakan dan peran apa yang dapat diisi oleh pemerintah?
Lawan Polusi Udara
Masalah kualitas udara adalah perkara yang amat krusial dalam kehidupan manusia. Pasalnya, kualitas udara yang dihirup secara langsung mempengaruhi aktivitas manusia. Kualitas udara yang buruk bisa mengurangi produktivitas manusia hingga mengganggu ekosistem lainnya.
Maka, ketika pemerintah negara tidak segera membuat kebijakan untuk mengatasi permasalahan udara, rakyat akan menuntut. Minimnya perhatian dan upaya pemerintah Indonesia dalam menangani permasalahan polusi udara rupanya telah dirasakan masyarakat.
Akhir 2018 lalu misalnya, menghadapi polusi udara buruk, sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta menuntut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten karena dianggap lalai memenuhi hak warga negara, yakni untuk mewujudkan kualitas udara yang bersih.
Gugatan kembali dilayangkan pada orang-orang nomor satu di wilayahnya itu oleh sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota), 6 Juli 2019 lalu. Gugatan tersebut dilayangkan sesaat setelah Jakarta dinyatakan mempunyai kondisi udara terburuk di dunia.
Bukan hanya Indonesia, rakyat di negara lain juga pernah mengkritik kelalaian pemerintahnya dalam menangani permasalahan polusi udara. Rakyat Prancis menanggapi kegagalan pemerintah dalam menangani permasalahan polusi udara dengan cara yang berbeda. Mereka melakukan protes dengan memasangkan masker ke patung-patung yang ada di Paris dan kota-kota lainnya.
Sementara di India, tepatnya di kota New Delhi, gugatan serupa juga pernah dilayangkan pada pemerintah. Bedanya, gugatan itu berada di tingkat yang lebih ekstrem lantaran disertai dengan denda material.
Pada tahun 2018 lalu, The National Green Tribunal – badan pengawas lingkungan India – memberikan denda sebesar USD 3,5 juta (atau setara Rp 5 miliar) kepada pemerintah New Delhi lantaran dianggap gagal mengurangi kadar kabut asap di kota tersebut.
Kebijakan Polusi Udara
Politisi dan pemerintah Indonesia perlu membangun konstruksi pikiran yang lebih berorientasi pada masa depan dalam berpolitik. Keinginan untuk menang seharusnya digeser menjadi keinginan untuk membuat kebijakan yang substansial dan sesuai dengan kebutuhan rakyatnya.
Andai saja, pada kontestasi politik yang lalu, para calon wakil rakyat berlomba-lomba menyusun kebijakan soal lingkungan hidup, bukan berlomba-lomba menjatuhkan dengan sentimen SARA. Mungkin, penuntasan masalah polusi udara Jakarta bisa lebih cepat direalisasikan.
Pemerintah perlu membuat kebijakan-kebijakan yang substansial dan mengikat di bidang lingkungan hidup, terutama terkait polusi udara. Bukan sekadar dibuat, kebijakan itu juga wajib direalisasikan sesegera mungkin. Pemerintah Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang telah berhasil mengurangi polusi udara.
Tiongkok misalnya, berhasil mengurangi 12 persen polusi udara di Beijing. Hal itu merupakan hasil dari kebijakan pemerintah Tiongkok untuk berperang melawan polusi yang direalisasikan sejak tahun 2014.
Beberapa caranya ialah dengan melarang kota-kota dengan kadar polusi udara paling tinggi untuk mendirikan pembangkit listrik bertenaga batu bara, memberi perintah agar pembangkit listrik yang ada dikurangi emisinya atau mengganti bahan bakarnya dengan gas alam, mengurangi pabrik besi dan baja, menutup tambang-tambang batu bara, mengurangi jumlah mobil di jalanan, hingga mendirikan Menara Bebas Asap – sebuah pembersih udara besar di luar ruangan.
Selain Beijing, Mexico City juga pernah dinobatkan sebagai kota dengan polusi udara terburuk. Salah satu penyebabnya adalah “debu anjing”, atau partikel kotoran anjing yang sudah kering.
Partikel-partikel itu beterbangan bebas di udara akibat banyaknya populasi anjing liar di kota itu. Untuk mengatasinya, seorang ahli berusaha membangun tempat-tempat maupun fasilitas yang dapat mengurangi polusi udara.
Misalnya, menciptakan sebuah desain menyerupai karang untuk menangkap cahaya dan angin. Proyek itu sudah berhasil mengurangi polusi di jalanan setara seribu mobil setiap harinya.
Sementara, di Inggris, pemerintah menerapkan kebijakan Patroli Burung untuk mengurangi kadar polusi udara di London. Pada Maret 2016, sepuluh ekor burung merpati dilepaskan ke udara dengan membawa perangkat GPS dan sensor pendeteksi polusi di punggungnya.
Perangkat itu mengirimkan laporan kualitas udara melalui cuitan ke ponsel para penduduk London. Ternyata, sebagian besar wilayah kota tersebut diselimuti polusi udara yang buruk. Kebijakan itu dibuat guna meningkatkan kesadaran masyarakat kota London untuk mengurangi polusi udara.
Mencari Peran Pemerintah
Upaya untuk menjaga kualitas udara di sebuah tempat memang bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah. Masyarakat juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menjaga kualitas udara maupun memperbaikinya.
Namun, pemerintah sebagai pembuat kebijakan mempunyai tanggung jawab untuk memfasilitasi akses terhadap udara yang bersih itu. Pemerintah perlu memanfaatkan kewenangannya guna menyelesaikan permasalahan yang ada, termasuk masalah kualitas udara yang buruk.
Sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum melaksanakan kebijakan konkret guna menanggulangi permasalahan polusi udara di Jakarta. Salah satu kesalahan terbesar pemerintah ialah tidak adanya transparansi data yang mengungkap sumber-sumber polusi udara di Jakarta.
Transparansi dana tersebut juga menjadi salah satu tuntutan masyarakat yang tergabung dalam Ibu Kota. Tentu bukanlah hal yang sulit bagi pemerintah berwenang untuk mengkaji dan meneliti kondisi udara Jakarta guna menghimpun data tersebut.
Pemerintah mempunyai lembaga-lembaga riset dan penelitian yang mampu mewujudkannya. Namun, sampai hari ini data sumber polusi udara Jakarta belum juga terlihat batang hidungnya. Hal itu membuat banyak pihak bertanya-tanya dari mana saja kah datangnya penyebab polusi udara itu.
Pemerintah juga perlu memperbaiki kebijakan yang berlaku di bidang pengendalian pencemaran udara. Masyarakat turut menggugat pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang menjadi wewenang Presiden Jokowi.
Peraturan itu seharusnya diganti karena undang-undang yang menaunginya sudah berganti. Di dalam peraturan tersebut, dijelaskan standar PM (particulate matter) atau partikel debu halus 2,5 yang ditetapkan pemerintah adalah 65 mg/m³. Padahal, menurut World Health Organization (WHO), udara yang sehat memiliki PH 2,5 sebesar 25 µg/m³.
Di periode pemerintahan keduanya, Presiden Jokowi mempunyai banyak pekerjaan rumah. Masalah polusi udara adalah salah satu masalah dengan tingkat urgensi yang tinggi. Presiden Jokowi beserta jejeran pemerintah lainnya perlu membuat serta merealisasikan kebijakan-kebijakan yang nyata di bidang lingkungan hidup, khususnya penanganan polusi udara.
Data-data mengenai sumber polusi udara yang valid juga perlu sesegera mungkin dibuka aksesnya bagi publik. Melihat latar belakangnya sebagai mantan Wali Kota Solo, mungkin Presiden Jokowi dapat sedikit belajar dari Wali Kota Solo sekarang, F.X. Hadi Duryatmo.
Seperti diwartakan republika.co.id, pada tahun 2016 Solo berhasil dinobatkan sebagai kota dengan udara terbersih se-Indonesia. Sang walikota berperan penting karena kebijakan-kebijakan yang ditetapkan, seperti tes uji emisi gratis, rekayasa lalu lintas, dan penutupan puluhan tempat pembuangan sampah sementara.
Ditambah lagi, Jokowi dan F.X. Hadi juga berada di naungan partai yang sama, Partai PDI Perjuangan. Tentu, belajar dari yang baik, akan memberikan nilai-nilai baik pula. Jangan sampai buruknya polusi udara Jakarta dibiarkan tanpa penyelesaian nyata.
Bila perlu, menerapkan kebijakan dengan memberi denda pada pemerintah atas kegagalan menangani masalah polusi udara seperti di India, tidak ada salahnya untuk dicoba. Buruknya kualitas udara di suatu wilayah terbukti bisa menyurutkan niat investor asing untuk menanamkan modalnya di sana. Tentu pemerintah Indonesia tidak akan membiarkan kemungkinan itu terjadi, bukan?
Tulisan milik Selma Kirana Haryadi, mahasiswi Jurnalistik di Universitas Padjadjaran
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.