Ajian Maut ‘Reklamasi’ digencarkan soko guru ‘Kemaritiman RI’. Bisakah Jurus Bangau Putih melawan?
PinterPolitik.com
L[dropcap size=big]L[/dropcap]ayaknya perhelatan silat, Anies dan Sandi seolah dikunci dari berbagai sisi oleh lawan. Belum tuntas dua minggu kepemimpinan, tamparan dan tendangan seakan berdatangan dari segala tikungan. Setelah jurus ‘pidato pribumi’, kali ini ajian maut bernama ‘Moratorium Reklamasi’ keluar memberondong Anies dan Sandi. Apakah mereka masih punya ‘nyali’ untuk menepati janji?
Ajian maut ‘Reklamasi’ memang menjadi sebuah penanda perbedaan Anies dengan Ahok saat kampanye Pilkada DKI Jakarta. Anies dari awal sudah teguh tak akan melanjutkan reklamasi karena merusak tatanan hukum, sosial-lingkungan, hingga integritas individu-individu. Soal posisi, ia sudah mengambil kuda-kuda berada di sebelah warga dan nelayan, sementara Ahok di pihak pengembang. Setidaknya itu yang kelihatan di layar.
Tentu mengambil langkah untuk menepati janji, bukan perkara mudah. Anies harus berani melawan arus layaknya Ikan Salmon. Belum lagi, sosok soko guru dari ‘perguruan’ Koordinator Kemaritiman RI, Luhut Panjaitan, mau tak mau harus dihadapi. Beliau sudah bersabda, “Anies Sandi Gubernur semua orang, bukan satu kelompok!”
Benar sekali, Anies dan Sandi adalah gubernur semua orang Jakarta, bukan milik kelompok tertentu. Namun, apakah kakak mentor ‘perguruan’ Anies dan Sandi, yang akrab dengan soko guru Kemaritiman, bersedia membiarkan Anies – Sandi melancarkan jurusnya sendiri? Atau apakah sang kakak mentor tetap ngotot mengendalikan mereka melanjutkan reklamasi?
Warga Pantai Utara Jakarta tentu sudah kembung (bukan kenyang), dengan jargon-jargon para pendekar terdahulu yang mendatangi mereka dan membawa panji-panji kesejahteraan nelayan. Tapi belum ada dua tahun, pendekar sudah berubah haluan, jurusnya memang makin lihai, tapi kok warga malah ikutan diserang?
Kalau begini, kita mungkin hanya bisa berharap-harap cemas lewat Jurus Bangau Putih Sandiaga. Jurus itu barangkali adalah bentuk dari sikap kemandiriannya. Kuda-kuda tetap tegak, meski hanya satu kaki. Simbol ia bisa sigap menerjang di udara, tapi tetap membumi. Eh, atau malah sebaliknya? Jangan-jangan itu simbol bahwa dia mampu berdiri dua kaki; seolah membela warga, tapi ternyata mau ikut berubah haluan dan abai?
Yang jelas, menjadi pendekar baru di Jakarta, bukan berarti naik level politik lebih tinggi. Berbeda dengan Desa Konoha di sebelah. Pendekar haruslah menunaikan dan menepati utang budi. Mereka dibutuhkan warga yang balik dimusuhi dan diserang pendekar-pendekar terdahulu dan dilindas oleh mantra-mantra pembangunan.
Jadilah Salmon, bila itu diperlukan. Gunakanlah Jurus Bangau Putih bila memang tepat sasaran. Sebab bersama para wargalah, pendekar-pendekar harusnya berada. Walau berbagai jurus, ajian maut, bahkan ribuan meriam dihadapkan ke pondokan Balai Kota. (A27)