HomePolitikMelirik Regenerasi Kepemimpinan Partai Politik

Melirik Regenerasi Kepemimpinan Partai Politik

Oleh Ayu Henidar Mulyara, alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

Kecil Besar

Regenerasi merupakan hal yang wajar untuk terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam kepemimpinan partai politik. Bagaimana progress regenarasi dalam partai-partai politik di Indonesia?


PinterPolitik.com

Dinamika politik nasional saat ini masih didominasi oleh wajah-wajah lama. Akibatnya, paradigma dan perilaku politik yang dilakukan juga tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Banyak kalangan, khususnya generasi muda yang mengeluhkan regenerasi kepemimpinan partai politik yang melemah bahkan cenderung mandek. Hal itu ditunjukkan oleh dominasi nama-nama lama yang kembali hadir sebagai pucuk pimpinan partai politik nasional.

Banteng yang Awet

Pada kongres bulan November 2019 kemarin, PDIP secara aklamasi sudah memilih Megawati Soekarnoputri (73) kembali menjadi Ketua Umum. Sudah 21 tahun lamanya bu Mega memegang jabatan ini dan akan menjabat sampai lima tahun ke depan, saat usia beliau insyaallah mencapai 77 tahun.

Putri beliau, Puan Maharani (46), tampaknya dipersiapkan untuk memikul tanggung jawab berikutnya. Pasti bukan tanpa maksud ketika Puan menjadi Menko termuda saat pada usia 41 tahun pada periode 2014-2019. Pada periode 2019-2024, Puan disepakati menjadi Ketua DPR RI. Meski berbekal dua jabatan publik ini, tampaknya butuh waktu lebih lama untuk mendorong elektabilitas Puan untuk bisa mendekati popularitas dan elektabilitas Megawati. Selain Puan, kakaknya Prananda Prabowo (49), juga disebut-sebut berpeluang memegang tanggungjawab politik lebih besar dikemudian hari.

Dalam survei IDN Times tentang pandangan politik anak muda Indonesia, Puan berada pada urutan terakhir dari 16 tokoh politik yang dianggap populer oleh anak muda. Lembaga Survei Nasional Poltracking menempatkan Puan dalam posisi terakhir dengan elektabilitas 1,2%. Selain itu, masih banyak pihak dalam PDIP yang khawatir partai Banteng ini akan pecah tanpa Megawati sebagai Ketua Umum.

Rajawali Belum Akan Berganti

Partai lain yang sudah menyelenggarakan Kongres adalah Partai Nasdem. Dalam kongres yang berlangsung November 2019, para peserta secara aklamasi memilih kembali Surya Paloh (68) sebagai Ketua Umum. Ini sudah menjadi tahun kesembilan, Surya Paloh menduduki posisi Ketum sejak Partai Nasdem didirikan pada tahun 2011.

Baca juga :  Kongres, Mengapa Megawati Diam Saja?

Belum juga terlihat ada tanda-tanda regenerasi, meski putra tunggalnya Prananda Surya Paloh (32), mengikuti jejak karir berpolitik. Prananda terpilih kembali menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024 dari dapil Sumut 1. Pada kepengurusan DPP Partai Nasdem (2019-2024), ia menjadi Ketua Koordinasi Bidang Pemenangan Pemilu, membawahi ketua-ketua pemenangan pemilu daerah.

Belum Tampak Calon Garuda Muda

Di Partai Gerindra, Prabowo Subianto menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina sejak mendirikan Partai Gerindra pada tahun 2008. Tahun 2014, Prabowo kemudian menjabat sebagai Ketua Umum sampai sekarang. Saat ini, Prabowo menduduki dua jabatan sekaligus.

Menjelang kongres tahun ini, belum ada tanda-tanda regenerasi. Juru bicara Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan makin kuat aspirasi dari bawah untuk mencalonkan kembali Prabowo. Spekulasi bertambah kuat dengan beredarnya kabar Wakil Ketua Dewan Pembina Sandiaga Uno dijagokan untuk menduduki posisi puncak. Beredar juga kabar tentang keinginan agar tampuk kepemimpinan partai tetap dipegang oleh keluarga Djoyohadikusumo. Kita lihat bagaimana prosesnya nanti pada kongres 2020, mengingat usia Prabowo saat ini pun sudah 68 tahun.

Regenerasi dan Transisi Partai Biru

Partai Demokrat baru saja menyelenggarakan Kongres ke V di Jakarta. Hasil kongres tersebut Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dengan masa bakti 2020 – 2025. Nama AHY mewarnai pimpinan partai politik dari kalangan muda di deretan partai politik besar yang berada dalam lingkaran Senayan.

Berbeda dengan partai-partai yang lain, Ketua Umum sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terlihat sudah mengisyaratkan ingin mengundurkan diri dari day to day politics. Dalam kerangka politik Jawa ini bisa dibaca sebagai isyarat untuk Pandito Ratu yang berarti beralih kekuasaan formal menjadi guru bangsa.

Secara objektif, ini bisa dilihat dari siapa tokoh Demokrat yang memiliki elektabilitas paling tinggi, mengingat selama ini kompetisi diantara kader-kader Demokrat berlangsung secara terbuka. Selain elektabilitas, juga perlu dilihat akseptabilitas, kapasitas, dan kapabilitasnya.

Baca juga :  Indonesia Thugocracy: Republik Para Preman?

Dari empat faktor itu yang terlihat menonjol baru AHY. Berdasarkan survei-survei nasional, elektabilitas AHY dilihat selalu berada di peringkat atas. Hasil survei Cyrus Network, yang dirilis tahun 2019 terkait kandidat yang paling cocok menjadi Cawapres, AHY mendapat 15%, berada di tingkat pertama dari 20 nama tokoh yang disimulasi. Hasil survei Indikator Politik Indonesia, AHY juga meraih peringkat pertama dengan 16%, dari 19 nama tokoh yang disimulasikan. AHY juga rajin keliling Nusantara baik menyapa kader maupun berinteraksi dengan masyarakat akar rumput. Dari foto dan video yang beredar, dimanapun AHY berada, sambutan yang diterima selalu bagus.

Tanda-tanda regenerasi belum terlihat di tiga partai besar, PDIP, Partai Gerinda dan Partai Nasdem. Nampaknya internal partai politik cenderung menghendaki terjaganya status quo, dimana ruang perubahan dan regenerasi tidak mendapatkan ruang yang memadai dalam proses kepemimpinan partai politik.

Tentu saja ini bukan semata-mata soal pewaris. Pengurus masing-masing parpol pasti juga kalkulasi soal elektabilitas, mengingat politik Indonesia adalah politik tokoh bukan politik program. Partai Demokrat sepertinya berhasil menjadi sejarah regenerasi kepemimpinan partai baru.

Perubahan ini seharusnya menjadi sentilan bagi partai besar lain. Mengingat tahun 2024 diperkirakan 70% pemilih Indonesia berasal dari generasi muda. Regenerasi kepemimpinan politik menjadi hal yang tak dapat dihindari. Yang berada di tampuk kekuasaan selanjutnya, haruslah pemimpin yang selaras dalam sikap, pemikiran dan pengambilan keputusan dengan para mayoritas pemilih di negara ini.

Tulisan milik Ayu Henidar Mulyara, alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Return of the Wolf Warrior?

Retorika internasional Tiongkok belakangan mulai menunjukkan perubahan. Kira-kira apa esensi strategis di baliknya? 

Prabowo’s Revolusi Hijau 2.0?

Presiden Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua di peluncuran Gerina. Mengapa ini punya makna strategis?

Cak Imin-Zulhas “Gabut Berhadiah”?

Memiliki similaritas sebagai ketua umum partai politik dan menteri koordinator, namun dengan jalan takdir berbeda, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) agaknya menampilkan motivasi baru dalam dinamika politik Indonesia. Walau kiprah dan jabatan mereka dinilai “gabut”, manuver keduanya dinilai akan sangat memengaruhi pasang-surut pemerintahan saat ini, menuju kontestasi elektoral berikutnya.

Indonesia Thugocracy: Republik Para Preman?

Pembangunan pabrik BYD di Subang disebut-sebut terkendala akibat premanisme. Sementara LG “kabur” dari investasinya di Indonesia karena masalah “lingkungan investasi”.

Honey Trapping: Kala Rayuan Jadi Spionase

Sejumlah aplikasi kencan tercatat kerap digunakan untuk kepentingan intelijen. Bagaimana sejarah relasi antara spionase dan hubungan romantis itu sendiri?

Menguak CPNS “Gigi Mundur” Berjemaah

Fenomena undur diri ribuan CPNS karena berbagai alasan menyingkap beberapa intepretasi yang kiranya menjadi catatan krusial bagi pemerintah serta bagi para calon ASN itu sendiri. Mengapa demikian?

It is Gibran Time?

Gibran muncul lewat sebuah video monolog – atau bahasa kekiniannya eksplainer – membahas isu penting yang tengah dihadapi Indonesia: bonus demografi. Isu ini memang penting, namun yang mencuri perhatian publik adalah kemunculan Gibran sendiri yang membawakan narasi yang cukup besar seperti bonus demografi.

Anies-Gibran Perpetual Debate?

Respons dan pengingat kritis Anies Baswedan terhadap konten “bonus demografi” Gibran Rakabuming Raka seolah menguak kembali bahwa terdapat gap di antara mereka dan bagaimana audiens serta pengikut mereka bereaksi satu sama lain. Lalu, akankah gap tersebut terpelihara dan turut membentuk dinamika sosial-politik tanah air ke depan?

More Stories

Kerajaan-Kerajaan Ter-Epic: Dari Majapahit Hingga Dinasti Habsburg

https://youtu.be/1WxhA5Ojve8 Pinterpolitik.com – Dari Majapahit hingga Habsburg, ini adalah beberapa kerajaan yang meraih kejayaan di masanya dan meninggalkan banyak warisan dalam sejarah peradaban manusia. Berikut PinterPolitik merangkum...

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...