“Inilah pantai penuh pesona, Karya Tuhan yang abadi. Namun tangan – tangan manusialah yang kejam, Merobek keindahan lukisan biru”
[dropcap]S[/dropcap]etidaknya ini yang menjadi spirit bagi Teh Susi, primadona dari Pangandaran untuk mempertahankan keindahan laut Indonesia. Terlebih, Teh Susi yang jadi kapten lautannya Indonesia.
Pernah mendengar atau terdoktrin bahwa Indonesia sebagai poros maritim dunia? Apa bisa terwujud atau cuma sekadar gincu? Hmmm, kalau gatau gincu, ada lagu band Malaysia yang ngomongin tentang gincu.
“Manis di bibir memutar kata, Malah kau tuduh akulah segala penyebabnya”
Ya hanya pemanis saja. Kalau mau minum teh aja kita maunya gula asli kan bukan gula buatan. Wkwkwk
Tapi memang kayanya semua masyarakat sudah terdoktrin bahwa Indonesia sebagai poros maritim dunia melalui tuturan maupul slogan – slogan yang dinyanyikan penguasa. Nyata atau slogan?
Tapi, informasi tentang poros maritim dunia ini ibarat arus yang mengalir menuju muara. Akan terus digaungkan dan entah kapan terwujudnya.
Maritim bukan hanya bicara tentang Pantai Ancol yang harga masuknya Rp 25 ribu per orang, tapi yang lebih kompleksnya bahwa maritim sebagai kekuatan negara yang berbasis laut. Tapi, mahal juga itu masuk Ancol.
Nah makanya coba dengerin saran dari Teh Susi, kalau mau serius, negara harus punya masterplan, bukan cuma masing-masing kementeriannya aja sehingga dapat mengimplementasikan gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kalau tidak, jangan terlalu banyak berharap dan negara tergolong PHP a.k.a pemberi harapan palsu.
Masterplan dalam konteks ini masterplan negara sebagai sebuah grand design harapan ini. Kalau cuma sekedar ajang coba-coba dan icip-icip, ini tak ada bedanya dengan program televisi, masterchef ajang kompetisi memasak.
Kalau masterplan maritim itu seperti masterchef, tentu potensi laut Indonesia akan seperti sebuah improvisasi coba-coba dari chef saja. Ujungnya, belum tentu enak atau sesuai dengan apa yang diharapkan.
Ga ngebayangin kan kalau masterplan maritim dikomentari sama chef Juna, akan terasa lebih pedas daripada sambalado atau cabe rawit. Tapi, cabe beneran bukan cabe-cabean.
Semisal, dengan tatapan antagonisnya, chef Juna bilang “hmmm, rasanya kalau di bibir gimana ya, masterplan negara terlalu manis dan ga ada rasa rasanya. Lah bukannya laut itu asin ya. Ga sesuai dengan harapan. Maaf anda tidak bisa lolos.”
(Z19)