Perang Dagang yang tengah terjadi antara Tiongkok dan Amerika Serikat disebut-sebut oleh banyak pihak dapat menjadi keuntungan bagi Indonesia. Namun, benarkah begitu?
PinterPolitik.com
Sudah hampir satu tahun sejak Perang Dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dimulai. Per September tahun lalu, AS menetapkan tarif sebesar 25% pada produk Tiongkok senilai US$250 triliun (Rp 3,525 kuadriliun) dan Tiongkok pun melakukan retaliasi dengan menetapkan tarif pada persentase yang sama terhadap produk AS senilai US$200 (Rp 2,82 juta).
Meskipun pada pertemuan G20 akhir Juni lalu telah ditemui kesepakatan untuk memulai kembali negosiasi untuk menghentikan Perang Dagang, bukan berarti eskalasi selanjutnya akan ikut terhenti. Pada pertemuan G20 di Buenos Aires, Argentina, pada Desember 2018 lalu, kedua pemimpin negara sepakat untuk melakukan ‘gencatan senjata’ tetapi Presiden AS Donald Trump pada Mei lalu secara sepihak mengumumkan akan meningkatkan tarif terhadap US$300 triliun (Rp 4,231 kuadriliun) produk Tiongkok
Dalam menyikapi Perang Dagang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa Perang Dagang ini bukan masalah besar dan pengusaha perlu memanfaatkan kesempatan mengalihkan perdagangan Tiongkok ke Indonesia.
Logika Jokowi memang tepat apabila produk ekspor Tiongkok ke AS terkendala karena tarif maka Tiongkok akan mencari pasar baru. Begitu juga sebaliknya, Tiongkok akan membutuhkan substitusi atas produk-produk impor dari AS untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Namun, apakah benar Perang Dagang bukan masalah besar bagi Indonesia? Dan seberapa besar potensi mengalihkan perdagangan Tiongkok ke AS menjadi ke Indonesia?
Proyeksi Skenario
Setidaknya, ada empat skenario bagaimana Perang Dagang dapat berdampak pada Indonesia. Di antaranya adalah dominasi produk Tiongkok di pasar Indonesia, trade exposure, rantai jaringan global, dan investasi.
Potensi permasalahan yang paling memungkinkan Indonesia hadapi adalah kemungkinan dominasi produk Tiongkok di pasar Indonesia dan solusi yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
Lima ekspor teratas Tiongkok terhadap AS adalah sektor industri pengolahan antara lain peralatan listrik, mesin, furnitur, plastik dan alat angkut. Sementara Indonesia untuk produk-produk tersebut hanya berkontribusi sebanyak masing-masing 4,16%, 2,72%, 1,47%, 6,24% dan 1,75%. Masih terpaut jauh dari industri makanan yang mencapai 23%, sawit yang mencapai 12% dan tekstil yang mencapai 8%
Pertumbuhan industri pengolahan pun cenderung stagnan, bahkan menurun. Di tahun 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan hanya mencapai 4,77%, sedangkan di tahun sebelumnya mencapai 4,85%. Kontribusi terhadap perekonomian juga menurun dari yang tahun sebelumnya mencapai 20,16%, sementara di tahun 2018 mencapai 19,86%.
Hal tersebut menunjukan bahwa industri manufaktur bukan komoditas utama Indonesia. Saat ini produksi Indonesia masih berfokus ke pertanian, peternakan, dan kelapa sawit. Akibatnya, Indonesia sangat rentan terhadap masuknya produk manufaktur Tiongkok akibat lemahnya produksi dalam negeri.
Terlebih lagi, ekspor permesinan Tiongkok ke Indonesia menyumbang 36% dari total impor mesin Indonesia berkontribusi pada defisit perdagangan sebesar US$20 juta (Rp 282 miliar). Sementara untuk produk peralatan listrik Indonesia mengalami defisit sebesar US$9 juta (Rp 127 miliar) dari 46% ekspor Tiongkok ke Indonesia.
Tingginya impor Indonesia akan produk manufaktur terutama peralatan listrik dan permesinan menunjukan bahwa Indonesia memiliki permintaan yang tinggi terhadap produk tersebut. Tiongkok dapat memanfaatkannya untuk menjual produk-produk yang gagal masuk AS ke pasar Indonesia dengan mudah.
Sementara untuk skenario lainnya memiliki probabilitas yang rendah untuk menjadi permasalahan di Indonesia. Indonesia tidak akan terdampak langsung dari Perang Dagang mengingat perdagangan internasional hanya menyumbang 35% dari persentase PDB.
Kemungkinan Peralihan Perdagangan
Indonesia juga akan kesulitan untuk melakukan substitusi produk-produk yang AS impor ke pasar Tiongkok. Lima ekspor teratas AS ke Tiongkok yang juga terkena tarif antara lain peralatan listrik, permesinan, peralatan optik dan mineral. Lagi-lagi, didominasi oleh produk manufaktur.
Saat ini, lima ekspor unggulan Indonesia ke pasar Tiongkok antara lain mineral, peternakan, besi dan baja, batu bara dan getah kayu. Pada produk tersebut AS hanya berkontribusi masing-masing 3%, 1,2%, 1,9%, 0,8% dan 14.2% terhadap impornya ke Tiongkok.
Produk-produk impor AS ke Tiongkok tersebut dapat tergantikan dengan negara-negara kawasan Asia Timur yang memiliki komoditas unggul dibidang manufaktur, antara lain Taiwan, Korea Selatan, Vietnam, Singapura, dan Malaysia.
Untuk produk peralatan listrik, Taiwan unggul dengan angka 21.8%, sedangkan Indonesia hanya berkontribusi sebesar 0.3% terhadap ekspor permesinan ke Tiongkok. Dua negara anggota ASEAN, Malaysia dan Vietnam, bahkan mengungguli AS dengan perolehan masing-masing 6.5% sehingga produk permesinan kedua negara tersebut berpotensi menggantikan produk asal AS.
Untuk produk permesinan, Indonesia tidak termasuk dalam importir ke Tiongkok sedangkan Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Thailand dan Singapura berkontribusi masing-masing 20.1%, 11.7%, 7.4%, 4.3% dan 2.4$.
Indonesia hanya dapat unggul di produk getah kayu, di mana ekspor ke Tiongkok mencapai 9.6% atau tepat dibawah AS. Terpaut jauh diatas Jepang, Hongkong dan Thailand yang masing-masing berkontribusi sebesar 3.9%, 0,8% dan 0.7%
Lima produk teratas yang AS impor dari Tiongkok dan terkena tarif antara lain peralatan listrik, permesinan, furnitur, plastik dan alat angkut. Selain dari Tiongkok, AS mengimpor produk tersebut dari Meksiko, Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam. Pada produk peralatan listrik Malaysia berkontribusi sebesar 17,4% sedangkan Indonesia hanya mencapai 0.3%. Bahkan untuk produk permesinan, furnitur dan alat angkut Indonesia tidak memiliki impor ke AS.
Mengejar Ketertinggalan
Data-data tersebut menunjukan bahwa industri pengolahan atau manufaktur adalah kunci bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan potensi Perang Dagang dan menghindari kemungkinan terjadinya kerugian.
Pemerintah perlu mengakui bahwa Indonesia berada dalam posisi tidak diuntungkan dalam Perang Dagang dan probabilitas untuk memanfaatkannya cenderung rendah. Seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Zulfikar Rakhmat dari Universitas Islam Indonesia dalam tulisannya di South China Morning Post, Indonesia masih perlu menyelesaikan berbagai pekerjaan rumahnya guna memitigasi tantangan-tantangan yang diakibatkan oleh Perang Dagang.
Salah satu upaya yang perlu ditingkatkan adalah peningkatan ekspor di bidang manufaktur. Pasalnya, dengan terjadinya Perang Dagang, banyak perusahaan akan membutuhkan bahan-bahan produksi yang sebelumnya disediakan oleh Tiongkok.
Namun, produk-produk Indonesia sendiri belum memiliki signifikansi yang tinggi untuk menggantikan pasar AS dan Tiongkok. Indonesia justru berada dalam posisi lemah akibat produksi industri manufaktur dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk Tiongkok dan masih sulit menembus pasar luar negeri.
Upaya untuk memanfaatkan Perang Dagang merupakan sebuah upaya jangka panjang. Beruntungnya, Perang Dagang sangat memungkinkan terjadi dalam waktu yang panjang pula, mengingat sulitnya posisi dan kepentingan Tiongkok dan AS untuk dapat bertemu.
Pemerintah perlu menetapkan strategi untuk meningkatkan daya produksi industri manufaktur serta meningkatkan kualitas tenaga kerja. Untuk saat ini, Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga yang lebih unggul dalam bidang industri manufaktur sehigga dapat menjadi pasar alternatif bagi AS dan Tiongkok.