Dalam sejarah politik Indonesia, kelompok dan gerakan mahasiswa memiliki peran tertentu. Namun, dalam pusaran Pilpres 2019, santri dapat dibilang menjadi penting.
PinterPolitik.com
Mahasiswa dan Politik
Mahasiswa memiliki sejarah panjang dalam keterlibatannya dalam perpolitikan Indonesia. Terhitung jauh sebelum proklamasi, mahasiswa yang pada masanya lebih akrab dikenal dengan nomenklatur Pemuda telah muncul ke permukaan dalam gerakan-gerakannya di kancah perpolitikan.
Dimulai dari munculnya Boedi Oetomo yang berdiri pada tahun 1908 digadang-gadang sebagai kelompok yang dimotori oleh mahasiswa bersama “kaum tua”. Dua puluh tahun setelah itu, mahasiswa semakin menunjukkan taringnya dengan deklarasi Sumpah Pemuda sebagai tonggak awal semangat kebangsaan dan persatuan.
Seiring berjalannya waktu, mahasiswa semakin berkembang dengan jumlah yang juga bertambah, terlebih setelah proklamasi dan memasuki masa Orde Lama (Orla) – di mana kebebasan politik serta partai politik mencapai masa keemasannya seperti yang dijelaskan oleh Kacung Marijan dalam bukunya yang berjudul Sistem Politik Indonesia.
Puncaknya terjadi pada tahun 1955 ketika Pemilu pertama dilaksanakan. Setiap partai politik melakukan manuver-manuver untuk merangkul mahasiswa untuk menjadi bagian dalam kekuatan politik mereka serta guna memudahkan akses para penguasa pada masyarakat.
Manuver-manuver partai politik itu kemudian menciptakan polarisasi pada mahasiswa. Kelompok-kelompok mahasiswa mulai terkotak-kotak berdasarkan ideologi, suku, ras, hingga agama.
Hal ini bukan menjadi kemunduran mahasiswa, tetapi sebaliknya, gerakan-gerakan mahasiswa semakin bersifat masif dengan backup partai pada organisasi mahasiswa yang mulai menjamur di tahun 1965. Perkembangan organisasi mahasiswa ini bisa ditilik dengan munculnya organisasi-organisasi mahasiswa yang bergerak dalam ranah sosial-politik, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang terafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah Orla runtuh, lingkup gerak mahasiswa dalam perpolitikan mahasiswa masih dapat dibilang “sakti.” Hal ini terbukti dengan munculnya gerakan demonstrasi pada Orde Baru (Orba) tepat setelah 2 tahun rezim Soeharto ini bertengger di Istana Merdeka.
Meski lambat laun kebebasan semakin dikebiri beriringan dengan munculnya sistem kapitalisasi negara (Robinson & Hill), “taring” mahasiswa dapat muncul kembali beriringan dengan melemahnya kekuasaan Orba. Gerakan ini diwarnai dengan membuminya Murba dan PRD pada awal tahun 1990.
Perjuangan mahasiswa dalam mengembalikan marwah demokrasi dalam perpolitikan Orba hingga keberhasilannya dalam meruntuhkan Soeharto dari takhta istana pada tahun 1998 menjadi tanda sejarah bagaimana kuatnya kekuatan politik mahasiswa.
Santri dan Politik
Jika mengusut sejarah panjang santri dengan politik, terdapat kaitan erat antara kelompok ini dengan gerakan-gerakan politik Islam dan pesantren di kancah perpolitikan Indonesia. Kaum agamawan sendiri tak bisa ddikotomi dalam peranannya dalam kemerdekaan.
Sebagaimana yang ditulis oleh George McTurnan Kahin dalam bukunya yang berjudul Nationalism and Revolution in Indonesia, merupakan prasasti ilmiah bahwa kesamaan nasib yang dialami oleh kelompok agama menuntunnya dalam upaya menentang penjajah asing.
Sejarah mencatat bahwa gerakan politik kalangan agamawan ditandai dengan munculnya Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911. Organisasi yang pada mulanya hanya berlingkup pada hal-ihwal perdagangan lambat laun berkembang pesat dan menjadi organisasi politik pertama di Indonesia.
Perkembangan gerakan politik bernuansa Islami terus berkembang beriringan dengan proses kemerdekaan Indonesia. Menurut Muhammad Yamin, kaum santri juga ikut andil dalam kompromi politik pembentukan dasar Pancasila pada 22 Juni 1945. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya KH. Wahid Hasyim sebagai perwakilan Nahdlatul Ulama kala penentuan Pancasila tersebut.
Melangkah pada tahun 1955, NU yang dikenal sebagai organisasi yang identik dengan kaum sarung mulai berevolusi menjadi partai politik dan mampu memenangi Pemilu di urutan ketiga. Hal itu membuktikan besarnya kekuatan kaum santri dalam perpolitikan bangsa.
Dari tahun ke tahun kalangan Pesantren semakin membangun kekuatan politiknya hingga melahirkan tokoh-tokoh politik yang dianggap sebagai wajah politik kaum sarungan, seperti Gus Dur. Terlebih, setelah reformasi muncul lah PKB yang digadang-gadang sebagai evolusi partai kaum santri.
Mahasiswa vs Santri
Pemilu 2019 menjadi pemilu paling bersejarah. Pasalnya, Pemilu kali ini menjadi pemilu pertama yang dilaksanakan secara serentak legislatif dan eksekutif dalam sehari. Banyak plus dan minus dalam pelaksanaannya, mulai dari simpang siurnya dugaan kecurangan Pemilu hingga korban meninggal yang mencapai angka 554 di kalangan KPPS, Panwas, hingga Polisi.
Selain berbagai problematika tersebut, hal lain yang menarik dari Pemilu kali ini adalah sentralnya posisi kaum santri dalam perbincangan politik. Dengan posisi santri yang semakin diperhitungkan, benarkah mahasiswa mulai kehilangan kekuatan politik dan santri yang mulai menunjukkan taringnya?
Berawal dari pembahasan milenial sebagai sasaran gerakan politik, kedua paslon mulai membumikan tendensinya untuk mendekat pada kalangan santri yang dianggap sebagai milenial agamis. Hal ini terlihat dengan beberapa dukungan ulama yang diberikan pada masing masing Paslon.
Seperti dilansir oleh Tribunnews, kubu Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin mendapat dukungan dari 300 kiai yang tergabung dalam Forum Kiai Bersatu se-Jatim, di mana para kiai ini juga menjadi pengasuh pesantren-pesantren yang tersebar di provinsi tersebut.
Tidak hanya berhenti di situ, K.H. Ahmad Fahrur Rozi juga menjelaskan bahwa alasannya untuk mendukung paslon nomor urut 01 adalah kehadiran Ma’ruf sebagai cawapres. Ia bahkan mengatakan bahwa warga NU harus memilih paslon tersebut. Dukungan ini diikuti dengan kehadiran ulama-ulama kaliber Jawa Tengah, seperti K.H. Maimoen, K.H. Muwafiq, dan Habib Luthfi yang semakin mengukuhkan suara NU pada paslon 01.
Di lain pihak, kubu 02 juga tak mau kalah. Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memulai gerakan milenial relijiusnya dengan menerapkan self-branding “santri milenial” pada Sandi selaku cawapres dari paslon nomor urut 02.
Disusul dengan dukungan oleh kaum agamawan yang tergabung dalam PA 212, FPI, dan juga dukungan oleh Forum Habaib Jatim, serta pengukuhan dukungan Ijtima Ulama Jilid II yang melahirkan 17 Praktat Integritas, dukungan politis pada pasangan Prabowo-Sandi turut menguat.
Bukan hanya menerima dukungan, kedua paslon juga rajin mengunjungi banyak pesantren, seperti Pesantren Sarang di Jateng, Pesantren Sidogiri di Jatim, hingga beberapa pesantren lainnya di Jember dan Banyuwangi.
Beda santri, beda mahasiswa. Mahasiswa seakan-akan kurang diperhatikan dan semakin tak terlihat dalam Pemilu kali ini. Terlebih, muncul juga gerakan-gerakan pernyataan golput yang dilakukan beberapa kelompok mahasiswa, seperti di Banyuwangi.
Selain itu, kunjungan-kunjungan pada kalangan mahasiswa oleh tokoh politik kurang dilakukan dan pendekatan yang ala kadarnya juga tampak jelas. Akan tetapi, partisipasi mahasiswa masih terbilang tinggi di pemilu kali ini.
Kartu kuning yang diberikan oleh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI pada Jokowi misalnya, bisa dibilang masih membekas. Survei Founding Fathers House (FHH) menunjukkan partisipasi mahasiswa dalam Pemilu yang cukup tinggi dengan angka 80% memutuskan untuk menggunakan hak pilihnya.
Namun, mahasiswa dan santri memang memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal sikap politik. Mahasiswa cenderung independen dalam menentukan hak pilihnya dan sikap politisnya, sedangkan kaum santri cenderung memasrahkan sikap politiknya pada kiai atau guru agamanya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Huub De Jonge, masyarakat santri dan Madura Pendalungan menempati posisi kedua dalam kepatuhannya terhadap kiai. Senada dengan pernyataan De Jonge, Clifford Geertz juga memberikan pandangan bahwa santri menjadi kekuatan politis yang penting dan dominan selain kelompok Abangan dan Priyayi dalam masyarakat Indonesia.
Maka, menjadi terang mengapa gerakan politik parpol cenderung menggait ulama yang jelas memiliki prospek kekuatan politik yang besar. Di samping itu, citra mahasiswa yang cenderung oposan juga menjadi salah satu pertimbangan semakin sedikitnya upaya kampanye yang dilakukan di kalangan mahasiswa.
Tulisan milik M. Robi’al Muhasibi, mahasiswa di Universitas Yudharta Pasuruan, Jawa Timur.