Arab Saudi memang tidak memiliki anggaran investasi yang besar mengingat krisis ekonomi yang sedang melanda negara ini. Jadi, sebenarnya sudah bisa diprediksi dari awal bahwa kedatangan Raja Salman ke Indonesia tidak akan menginvestasikan uang dalam jumlah yang banyak.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]L[/dropcap]angit memang sedang mendung dan gerimis. Bakpao manis di tangan bocah kecil itu masih utuh. Ia berdiri dari balik dinding kaca, mencoba melihat-lihat apa yang ada di baliknya. Dari balik kaca restoran itu tampak kerumunan orang berdiri di depan televisi. Semuanya memandangi tabung kaca tua itu, menyaksikan sesosok orang yang turun dari pesawat dengan tangga otomatis. Ia tak kenal siapa orang itu, tetapi di layar televisi terpampang tulisan besar: “Selamat Datang, Raja Salman!”
Kunjungan Mewah, Mana Duitnya?
Ketika Raja Salman bin Abdulaziz al Saud mengunjungi gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, terlihat antusiasme para wakil rakyat itu untuk mengabadikan momen kunjungan tersebut. Anggota DPR berebutan mengambil gambar dengan menggunakan kamera handphone-nya masing-masing. Ada yang berjingkrak-jingkrak dan tidak sedikit yang mengambil gambar dengan membelakangi Raja Salman – layaknya anak muda zaman sekarang. Semuanya begitu heboh. Namun, apakah kehebohan itu sepadan?
Kunjungan Raja Salman ke DPR siang ini. pic.twitter.com/oiLH9YoxBx
— Fadli Zon (@fadlizon) March 2, 2017
Kita tentu masih ingat ramainya pemberitaan berbagai media massa menjelang kedatangan Raja Salman. Semua media cetak dan elektronik menulis tentang ‘jumlah besar’ investasi yang akan dibawa oleh Raja Salman dan rombongan ke Indonesia. Bahkan digembar-gemborkan oleh Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, bahwa jumlah investasi yang akan dilakukan oleh Arab Saudi di Indonesia mencapai 25 miliar dollar AS.
Faktanya, euforia kunjungan Raja Salman ini tidak membawa nilai investasi sebanyak yang dibayangkan. Hanya ada 1 miliar dollar atau sekitar 13 triliun rupiah investasi yang direalisasikan melalui pinjaman dari Saudi Development Fund (SDF) – sebuah lembaga pemberi dana pinjaman yang didirikan oleh Arab Saudi untuk membantu negara-negara lain di dunia. Dana ini akan digunakan untuk membiaya proyek infrastruktur, air minum dan perumahan.
Sementara kesepakatan lain yang ada adalah terkait pendirian perusahaan joint venture sebagai hasil kerjasama antara Pertamina dengan perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco. Nilai kesepakatan ini ditaksir mencapai 6 miliar dollar. Itupun dalam proyek ini, share Pertamina mencapai 55%, sedangkan Aramco ‘hanya’ 45 %. Dari kesepakatan yang dicapai, bahkan 70 % crude oil atau minyak mentahnya berasal dari Aramco. Dari jumlah tersebut, banyak pihak kemudian mencurigai bahwa sebetulnya share 45 % milik Aramco juga bukan dalam bentuk cash atau modal tunai, tetapi bisa jadi dalam bentuk minyak mentah saja.
Untuk diketahui minyak mentah asal Arab Saudi tergolong jenis sour (masam) karena tingginya kandungan sulfur. Jenis minyak mentah seperti ini tidak bisa diolah di sembarang kilang. Oleh karena itu, kilang minyak hasil joint venture di Cilacap ini misalnya, memang khusus dibangun untuk mengolah minyak mentah yang dimpor dari Arab Saudi.
Dari kalkulasi tersebut, jika ditotal, ‘hanya’ ada 5 hingga 7 miliar dollar total investasi yang akan dilakukan oleh Arab Saudi – sangat jauh dari ekspektasi 25 miliar dollar yang sebelum-sebelumnya digembar-gemborkan. Sejumlah 1 miliar adalah pinjaman – yang berarti utang – sedangkan sisanya untuk investasi kilang. Bahkan jika terbukti benar bahwa share Aramco di kilang Cilacap berbentuk crude oil, maka boleh jadi tidak ada sepeser pun investasi murni dari Arab Saudi. Wow, benarkah demikian? Kita boleh bertanya: mana duit investasinya?
Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya. Jika memang jumlah investasinya tidak sampai separuh dari yang ditargetkan, mengapa pemerintah Indonesia berani menggembar-gemborkan angka yang sangat tinggi tersebut?
Ekonomi Arab Saudi sedang mengalami krisis akibat penurunan harga minyak dunia. Cadangan devisa Arab Saudi saat ini pun ‘tinggal’ 555 miliar dollar. Jumlah itu adalah hasil penurun 16 % dari cadangan devisa di tahun sebelumnya. Dengan asumsi IMF bahwa sampai tahun 2020 Arab Saudi masih akan mengalami defisit anggaran negara, maka akan sangat sulit untuk membayangkan akan ada dana dengan jumlah hingga 25 miliar dollar yang akan diinvestasikan ke Indonesia. Defisit anggaran Arab Saudi sendiri saja sudah menyentuh angka 80 hingga 90 miliar dollar per tahun. Agaknya makin sulit untuk membayangkan adanya realisasi investasi dengan jumlah yang sedemikian besar.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kunjungan Raja Salman kali ini tidak membawa jumlah investasi yang demikian besar seperti yang digembar-gemborkan – bahkan bisa jadi tidak membawa investasi apa-apa. Investasi hanya menjadi ‘kulit’ yang dipakai untuk menggembar-gemborkan kunjungan. Mungkin kita pun boleh bertanya: “King Salman, where is the beef?”
Investasi ala Wendy’s
Kisah euforia Raja Salman ini mengingatkan kita pada iklan burger Wendy’s. Dari iklan inilah ungkapan ‘where is the beef’ menjadi trademark dan seringkali pula dipakai sebagai sinisme untuk menyebutkan hal yang jauh dari harapan.
Pada tahun 1984, iklan burger Wendy’s yang dibintangi oleh tiga orang nenek-nenek menjadi bahan perbincangan – kalau saat ini mungkin bisa dibilang sebagai viral. Tiga nenek tersebut berdiri di hadapan sebuah burger yang ukuran rotinya begitu besar. Eh, ternyata setelah rotinya (bean) dibuka, tampak hanya ada sepotong kecil beef atau potongan daging sapi yang ada di dalamnya. Maka, salah satu dari tiga nenek tersebut bertanya: “where’s the beef?” Pertanyaan itu seolah menampilkan sisi kekecewaan melihat burger besar yang ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.
Pertanyaan ‘where’s the beef’ mungkin saat ini bisa ditanyakan kepada Raja Salman. Investasi yang digembar-gemborkan tidak lebihnya sebagai ‘kulit roti’ yang kelihatan begitu besar, namun hanya ada ‘sepotong daging’ yang terealisasi di dalamnya. Kita boleh bilang bahwa ini adalah investasi ala Wendy’s – bukan tentang strategi perusahaannya, tetapi tentang iklan burgernya.
Dari sisi investasi, Arab Saudi memang tidak banyak berinvestasi di Indonesia. Faktanya, Arab Saudi hanya menduduki peringkat 57 dalam jumlah investasi di Indonesia. Pada tahun 2016, nilai investasi Arab Saudi di Indonesia bahkan tidak sampai 1 juta dollar. Singapura adalah negara yang tercatat paling banyak berinvestasi di Indonesia dengan nilai mencapai 7,12 miliar dollar pada tahun 2016. Berikut ini adalah 10 besar negara dengan jumlah investasi terbesar di Indonesia.
Jangankan di antara negara-negara di dunia, di antara negara-negara Timur Tengah pun, jumlah investasi Arab Saudi berada jauh di bawah Uni Emirat Arab, Iran, dan bahkan negara yang rawan konflik seperti Irak memiliki investasi yang jauh lebih besar dari Arab Saudi.
Jumlah investasi Arab Saudi bahkan nilainya ada di bawah Mali. Padahal Mali – sebuah negara di Afrika bagian barat – ‘hanya’ memiliki GDP sebesar 30.000 miliar dolar pada tahun 2016, bandingkan dengan GDP Arab Saudi yang mencapai 891.000 miliar dollar – terlihat sangat jauh perbedaannya.
Tidak Tertarik Investasi di Indonesia: Tanya Kenapa?
Hal ini menguatkan fakta bahwa pemerintah Arab Saudi sebenarnya tidak begitu tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Pada pertengahan tahun 2016 lalu misalnya, Arab Saudi menginvestasikan 3,5 miliar dollar pada Uber – perusahaan transportasi online yang berpusat di Amerika Serikat. Bahkan jumlah investasi Arab Saudi – melalui Al-Rajhi Bank (bank yang ditenggarai membiayai aksi-aksi terorisme Al-Qaeda) – mencapai 155 juta dollar di Eropa hanya untuk bidang logistik saja.
Jika membandingkan jumlah investasi-investasi tersebut, sebetulnya Arab Saudi bisa dibilang tidak yakin dengan prospek investasi di Indonesia. Padahal, sebagai sesama negara dengan penduduk muslim Sunni terbesar, seharusnya ada kedekatan yang lebih besar. Bahkan, kedekatan tersebut harusnya menumbuhkan sikap saling percaya di antara kedua negara ini.
Namun, yang ada justru sebaliknya, Arab Saudi seolah-olah tidak yakin dengan situasi politik dan ekonomi di Indonesia. Kita tentu masih ingat apa yang terjadi di tahun 1998 lalu, saat Indonesia mengalami krisis. Saat itu menlu Alwi Shihab mengundang pejabat-pejabat dan pangeran-pangeran dari Arab Saudi, UAE, Kuwait, Qatar dan lainnya, namun tidak ada satu pun yang berminat untuk menginvestasikan uangnya ke Indonesia karena alasan situasi politik.
Mengapa demikian? Apakah Arab Saudi ‘takut’ investasinya di Indonesia tidak akan mendatangkan keuntungan kalau-kalau terjadi kekacauan politik di negara ini? Atau jangan-jangan Arab Saudi sendiri sudah yakin bahwa situasi politik Indonesia tidak akan pernah aman, sehingga akan sangat rentan untuk menginvestasikan uang dalam jumlah yang lebih besar? Tunggu dulu, ini mungkin pertanyaan yang berbahaya.
Terkait hal tersebut, beberapa peneliti menyebutkan bahwa Indonesia menjadi tujuan penyebaran aliran fundamentalisme yang berasal dari Arab Saudi. Sidney Jones – peneliti untuk Institute for Policy Analysis of Conflict – bahkan mengatakan bahwa Arab Saudi berkontribusi terhadap peningkatan angka intoleransi di Indonesia. Faktanya aliran Wahhabisme begitu kuat di Indonesia dan Sidney Jones juga percaya ada aliran uang yang masuk ke kelompok-kelompok intoleran di Indonesia yang berasal dari Arab Saudi. Salah satu hal yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia adalah semakin meningkatnya Islam konservatif yang tidak toleran, yang dianggap merupakan pengaruh kelompok garis keras Wahabi di Indonesia. Hal ini tampak dari jumlah anggaran yang dihabiskan oleh Arab Saudi untuk negara-negara Islam miskin melalui banyak lembaga pendidikan dan dana pembangunan.
Mulai dari tahun 70-an saat booming minyak sampai tahun 2002, Arab Saudi diperkirakan mengeluarkan sekitar 7 miliar dolar atau Rp93 triliun untuk negara-negara Islam miskin. Dana ini juga dipakai untuk dakwah Wahabi lewat lembaga keagamaan, masjid dan ormas, termasuk juga di Indonesia.
Jika benar demikian, bisa jadi Arab Saudi merasa tidak aman untuk menginvestasikan uang dalam jumlah lebih besar di Indonesia. Apalagi, situasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga sangat tidak kondusif, terkait dengan aksi-aksi radikalisme. Apa yang bisa disimpulkan pada titik ini? Silahkan menyimpulkan sendiri!
Hal lain yang mendapat sorotan adalah terkait upaya membentuk sebuah gerakan Pan Islam yang diprakarsai oleh Arab Saudi dengan membentuk multi-country Islamic Military Alliance. Gerakan ini awalnya diharapkan mampu menjadi tameng untuk menghadapi teror yang disebarkan kaum teroris, misalnya Al-Qaeda dan ISIS. Banyak pihak menilai kedatangan Raja Salman ke Indonesia juga berkaitan dengan hal tersebut. Namun, tidak sedikit yang menilai bahwa gerakan ini adalah bagian dari upaya membangun solidaritas negara muslim Sunni, dan lebih jauh untuk menjamin keberlangsungan Wahabisme, termasuk juga mentransformasi dan melawan gerakan muslim toleran di Indonesia. Pertanyaannya tentu saja: apakah benar demikian?
Kunjungan Raja Salman: Kunjungan Persahabatan, Kunjungan Politik, atau Kunjungan Ekonomi?
‘Where’s the beef’ sebetulnya tidak akan terjadi jika tidak ada pemberitaan yang terlalu bombastis terkait kedatangan Raja Salman. Tidak mungkin juga menyalahkan media karena bagaimana pun juga kedatangan Raja Salman dengan rombongan yang sangat besar tentu saja akan menarik perhatian begitu banyak orang. Mungkin juga karena kunjungan ini terjadi setelah hampir 47 tahun tidak ada kunjungan Raja Arab ke Indonesia lagi, sehingga tentu saja pemberitaannya menjadi menarik.
Pohon ulin yang ditanam Sri Baginda Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud, simbol persahabatan kuat Indonesia dan Arab Saudi –Jkw pic.twitter.com/PMP8GooUg8
— Joko Widodo (@jokowi) March 2, 2017
Namun, pemberitaan media yang berlebihan misalnya tentang nilai investasi yang begitu besar juga bisa jadi mendatangkan kekecewaan untuk banyak pihak. Ternyata memang tingkat kepercayaan Arab Saudi untuk berinvestasi di Indonesia masih sangat rendah.
Selain itu, Arab Saudi juga memang tidak memiliki anggaran investasi yang besar mengingat krisis ekonomi yang sedang melanda negara ini akibat penurunan harga minyak. Jadi, sebenarnya sudah bisa diprediksi dari awal bahwa kedatangan Raja Salman ke Indonesia tidak akan menginvestasikan uang dalam jumlah yang banyak. Saat ini Arab Saudi pun masih punya utang luar negeri dengan jumlah mencapai 10 miliar dollar atau sekitar 131 triliun rupiah. Maka, sangat sulit untuk berharap ada investasi dalam jumlah yang lebih besar lagi.
Lalu, masuk dalam kategori apakah kunjungan Raja Salman ini? Mungkin kita perlu duduk-duduk dan memikirkannya sambil minum kopi dan menikmati akhir pekan ini. Yang jelas, kita boleh dong bertanya ‘where’s the beef, King salman’ untuk menanyakan investasi yang digembar-gemborkan, namun tidak terealisasi tersebut. Where’s the beef? (S13)