HomeNalar PolitikKulminasi Ketidakpercayaan Terhadap Jokowi

Kulminasi Ketidakpercayaan Terhadap Jokowi

Kebijakan serta kinerja pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dinilai banyak pengamat sangat mengecewakan. Penilaian mayoritas publik terhadap sosok Jokowi pun semakin terjerembab ke titik terendahnya. Berbanding lurus dengan ketidakpercayaan publik saat ini.


PinterPolitik.com

Politik dan pemerintahan Indonesia saat ini di ambang keterpurukan. Bagaimana tidak, belum selesai permasalahan pelik namun elementer di dalam negeri seputar sosial, ekonomi, hukum, lingkungan hingga hak asasi manusia, Indonesia saat ini dihantui efek mengerikan dari pandemi Covid-19 yang sedang terjadi.

Di tengah berbagai permasalahan tersebut, nyatanya tidak dirasakan solusi yang berasal dari sosok Jokowi sebagai seorang pemimpin. Justru yang publik lihat dan nilai ialah jamaknya ketidakberpihakan terhadap rakyat, ketidakcakapan, ketidaktegasan, kepura-puraan, hingga kebohongan.

Isu seputar kasus rasial Papua pada Agustus lalu misalnya, meskipun terjadi di penghujung pertama kepemimpinannya, setelah terpilih kembali dan dilantik kembali nyatanya Jokowi tidak menghadirkan penyelesaian komprehensif hingga tuntas.

Tidak hanya itu, permasalahan krusial seputar regulasi yang mengatur kemaslahatan rakyatpun tidak disikapi dengan serius. Demontrasi mahasiswa besar-besaran September 2019 yang berujung kekisruhan di Jakarta dan berbagai wilayah lain di Indonesia soal Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menguap begitu saja sampai sekarang. Jokowi justru tidak memihak kepada apa yang telah disuarakan dengan tidak melakukan upaya apapun serta hanya menunda pengesahannya saja.

Permasalahan seputar regulasi berikutnya hadir saat Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai tanggapan miring karena dianggap para pakar serta masyarakat jelas-jelas melemahkan kinerja lembaga anti rasuah itu. Suara dan nurani rakyat kembali hadir melalui demostrasi namun lagi-lagi presiden abai hingga RUU itu secara otomatis efektif berlaku sebagai pedoman KPK saat ini.

Terbaru, terobosan Omnibus Law yang mengatur beberapa aspek seperti tenaga kerja, perpajakan, penguatan sektor keuangan, pertanahan, lingkungan hidup, hingga ketahanan keluarga justru menuai respon negatif. Seperangkat ide penyederhanaan regulasi itu dinilai disusun dengan asal-asalan dan bahkan pengaturannya berdampak buruk terhadap rakyat hingga lingkungan. Penolakan terkini, gerakan legendaris “Gejayan Memanggil!” kembali menggema pada 9 Maret lalu. Namun entah mengapa respon Jokowi sangat samar bahkan tak terdengar.

Jika kita jeli, bergulirnya resistensi publik di bidang regulasi maupun persoalan lainnya namun minim tanggapan pemimpin, yang seharusnya mengayomi, merupakan fenomena mulai nampaknya gelagat upaya pembiasan kepalsuan dan secara otomatis mengindikasikan suatu hal yang tidak baik di level pemerintahan.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Lantas bagaimana seharusnya sekelumit persoalan tersebut harus dipahami?

Afirmasi Kepalsuan

Tindak-tanduk dan gaya kepemimpinan Jokowi yang kita kenal bersahaja, sederhana, dan merakyat, paling tidak sebelum 2014 lalu, mulai kehilangan relevansinya saat ini. Patrick Duignan dan Narottam Bhindi menyebutkan konsep Political Trojan Horse dalam jurnalnya yang berjudul “Authenticity in leadership: an Emerging Perspective”.

These are the “Political Trojan Horses” who often lull us into complacency beneath their façade of warmth and sincerity but when least expected they show their true colours.”

Konsep tersebut  menjabarkan kesan artifisial hangat, merangkul dan mewakili rakyat seorang pemimpin, yang akan terlihat aslinya ketika berhadapan dengan situasi tertentu. Kesan yang semakin relevan dan mulai menyeruak untuk menggambarkan bagaimana sosok dan kapabilitas Jokowi sebenarnya, merefleksikan kondisi dan situasi keseluruhan negara yang dipimpinnya saat ini.

Mari kita telaah satu persatu. Di awali “Nawa Cita”, yang merupakan indikator sederhana nan mudah untuk melihat bagaimana janji Jokowi untuk rakyat Indonesia saat  periode pertama menjabat. Agenda reformasi hukum tidak dilaksanakan dengan serius, bahkan beberapa diabaikan seperti kasus Marsinah, peristiwa Mei 1998, tragedi Trisakti, penculikan 1998, dan peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya.

Kemudian bergeser ke masifnya pembangunan berbagai infrastruktur di Indonesia. Jokowi sebagai inisiator proyek kolosal tersebut berjanji bahwa setelah semua rampung akan meningkatkan perekonomian Indonesia dan kesejahteraan rakyat.

Faktanya pembangunan infrastruktur juga menimbulkan konsekuensi negatif secara langsung terhadap masyarakat dan lingkungan. Bahkan belakangan, Jokowi sendiri mengeluhkan masih mahalnya biaya logistik padahal infrastruktur sudah mendukung.

Dua contoh persoalan fundamental itu sudah lebih dari cukup untuk menguak stigma kepalsuan yang terpancar dari Jokowi. Sosok sederhana, apa adanya, namun seolah tegas mengambil keputusan yang awalnya kita kenal dari sosok Jokowi perlahan pudar.

Ditambah lagi dengan guncangan hebat Covid-19 yang melanda Indonesia saat ini. Rakyat dibuat bingung dengan sikap kepemimpinan yang ditampilkan Jokowi di mana terkesan tidak tahu apa yang harus dilakukan secara terencana. Hal ini dinilai mengerucut pada titik puncak rasa ketidakpercayaan publik terhadap Jokowi. Benarkah itu?

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Rakyat Semakin Insaf

Pun dalam situasi darurat nasional pandemi Covid-19 saat ini, Jokowi sebagai pembuat keputusan dinilai menampilkan sikap yang tidak terbuka.

Bagaimana tidak, disaat negara-negara lain memetakan wilayah mana saja yang harus diwaspadai terkait Covid-19, di awal penyebaran, pemerintahan Jokowi tidak membuka informasi tersebut. Padahal, informasi terbuka sangat dibutuhkan masyarakat untuk selalu waspada dan bisa memetakan risiko.

Selain sampel di atas, dalam penanganan pandemi Covid-19 ini publik disajikan banyak hal yang  tidak transparan. Yang utama tentu terkait dengan data pasien terjangkit Covid-19 di Indonesia. Pemerintah memang secara rutin mengumumkan angka jumlah terinfeksi positif, meninggal, maupun sembuh. Namun, tidak ada publikasi yang jelas terkait dengan jumlah tenaga medis yang terdampak setelah satu orang terkonfirmasi meninggal.

Kemudian yang paling mencengangkan ialah pengakuan Juru Bicara penanganan Covid-19 di Indonesia, Achmad Yurianto, dalam sebuah sesi di channel Youtube Dedy Corbuzier. Dirinya blak-blakan seputar penanganan Covid-19 yang memang sepenuhnya tidak transparan untuk maksud tertentu.

Dua contoh terakhir menarik untuk didalami mengingat kedua hal tersebut secara logis pasti tidak begitu saja terjadi tanpa perintah. Tentunya perintah seorang pemimpin yang memiliki kewenangan membuat final decision terhadap penanganan seluruh situasi saat ini.

Berangkat dari realita itu, publik nampaknya mulai sadar bahwa selama ini Jokowi acapkali menampilkan ketidakjujuran kepada masyarakat dalam berbagai kesempatan. Hal inilah yang membawa jatuhnya kepercayaan terhadap Jokowi. Hal ini tercermin pada mayoritas survei yang dilakukan mengatakan bahwa kepercayaan publik kepada Presiden Jokowi sudah sangat rendah, bahkan di saat hendak memulai periode kedua. Ditambah dengan berbagai persoalan-persoalan kekinian yang semakin menumpuk karena tidak diselesaikan hingga tuntas.

Selain itu, gestur yang bisa ditebak publik lainnya dari sosok Jokowi ialah seringnya frasa “Saya perintahkan..”. Frasa yang tidak jarang kita dengar dalam setiap penyampaian solusi di hampir semua persoalan yang ditanggapinya, namun publik mulai tersadar bahwa frasa itu hanya sekedar kata-kata namun minim aplikasi di lapangan. Selain itu, pelaksanaan pengawasan serta evaluasi dari sosok Jokowi tidak terlalu terlihat hingga penilaian dan kepercayaan publik terhadapnya semakin menurun.

Robert Cooper mengemukakan frasa “Dishonesty dalam The other 90%: How to Unlock Your Vast Untapped Potential for Leadership and Life. Dishonesty atau ketidakjujuran pemimpin pada saatnya selalu menghancurkan segalanya, termasuk kepercayaan publik, terlepas dari sebagus apapun permukaannya terlihat.

Tentu kita tidak ingin ada sedikitpun “kehancuran” sebagai akibat narasi yang telah tersampaikan di atas. Seyogyanya ada perbaikan yang tulus dan sungguh-sungguh demi kepentingan rakyat atas berbagai permasalahan yang terjadi saat ini di Indonesia. Itulah harapan kita semua. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?