“Pengalaman tanpa teori itu buta, tapi teori tanpa pengalaman hanyalah sebuah permainan kecerdasan.” ~Immanuel Kant
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]atanya Indonesia negara yang demokratis, tapi kenapa aku bisa ikut pemilu secara langsung, bebas, dan rahasia, sedangkan saudara-saudara kita yang tunanetra tak bisa begitu? Ehh, ralat, bukannya tidak bisa, hanya tidak difasilitasi dengan baik.
Tahun 2014 lalu, ku terenyuh ketika tahu, Zullatif, salah seorang penyandang tunanetra asal Cappa Galung, Sulawesi Selatan mengaku tak tahu harus mencoblos surat suara sebelah mana agar sesuai dengan nomor yang ingin ia pilih. Hmmm… lima tahun berlalu, ternyata kali ini pun orang-orang seperti Zullatif harus mengalami hal yang sama.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI hanya bisa menyiapkan template huruf braille untuk surat suara Pemilu Presiden dan DPD RI. Sementara itu, surat suara Pemilu DPR RI dan DPRD ternyata tidak tersedia. Kenapa? Kekurangan dana katanya.
Wah, bagaimana bisa mendekati Pemilu baru curhat soal masalah dana? Pemilu itu kan merupakan ajang besar lima tahunan. Dulu waktu menyiapkan Pemilu tidak memikirkan dana untuk memfasilitasi penyandang disabilitas?
Ya, kalau mau dihitung-hitung, jumlah peserta Pemilu DPR RI dan DPRD sekarang terlampau banyak. Di seluruh Indonesia ada 2.207 Dapil, berarti harus ada template sebanyak itu, dikali jumlah TPS jadi butuh sekitar 809.500. Sedangkan untuk mencetak braille butuh mesin dan kertas khusus yang harganya mahal. Walau begitu, masa nggak ada solusi?
Sedari dulu, solusi yang ditawarkan KPU paling banter itu hanyalah pendampingan. Jadi pemilih tunanetra boleh membawa orang kepercayaannya untuk mendampingi nyoblos di bilik suara. Kalaupun tidak ada, petugas yang akan membantu. Dengan catatan, petugas yang bertugas sudah diambil sumpah dan mengisi formulir C3, sebagai pernyataan untuk menjalankan tugas dengan sebenar-benarnya.
Hmmm, tapi tetap aja ya, akan lebih baik jika para tunanetra ini bisa memilih dengan langsung, bebas, dan rahasia seperti orang pada umumnya.
Kalau seandainya surat suara braille dianggap terlalu mahal, mungkin KPU bisa mencontoh Amerika. Di sana sudah tersedia mesin khusus yang bisa digunakan tunanetra untuk bisa memilih secara independen. Mesinnya bisa dipakai berkali-kali setiap ada Pemilu. Jadi lebih hemat biaya bukan? Tapi mesti diperhitungkan juga keamanannya ya. Khususnya aman dari para peretas.
Bagaimana pun tunanetra juga memiliki hak untuk memilih, loh. Bukankah tidak adil jika penyelenggara pemilu tidak bersungguh-sungguh dalam memenuhi kebutuhan mereka? (F41)