Site icon PinterPolitik.com

Konsistensi Sistem Presidensil dan Relevansi GBHN

Konsistensi Sistem Presidensil dan Relevansi GBHN

Presiden Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan dalam sidang bersama DPR dan DPD pada Agustus 2015 silam. (Foto: Setkab)

Era reformasi menandai penghapusan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dianggap lebih sejalan dengan sistem presidensil Indonesia. Namun, wacana kembalinya GBHN menimbulkan pertanyaan akan revelansi GBHN itu sendiri.


PinterPolitik.com

Berakhirnya rezim Orde Baru (Orba) menjadi titik awal dimulainya era Reformasi. Sejumlah agenda reformasi yang dilaksanakan secara cepat di antaranya adalah tuntutan melakukan amendemen terhadap UUD 1945.

Kala itu, ada beberapa alasan untuk melakukan amendemen terhadap UUD 1945, yakni  melemahnya sistem checks and balances dalam institusi ketatatanegaraan, dan adanya executive heavy yang didominasi oleh Presiden. Akhirnya, pada kurun waktu tahun 1999 hingga tahun 2002, amendemen terhadap UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 kali.

Setelah amendemen UUD 1945 dilaksanakan, terdapat berbagai perubahan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Pertama, perubahan terhadap pelaksanaan sistem demokrasi yang berganti dari sistem demokrasi perwakilan menjadi demokrasi secara langsung.

Konsekuensinya, MPR bukan lagi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dari kedaulatan rakyat. Penyerahan kedaulatan rakyat kepada MPR dulu menyebabkan kekuasaan pemerintahan seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat. Setelah amendemen UUD 1945, kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar.

Kedua, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat dalam satu paket. Implikasinya, kewenangan MPR “diamputasi” sehingga hanya melaksanakan tugas rutinitas yakni melantik Presiden.

Ketiga, kedudukan MPR setara dengan lembaga negara yang lain sehingga tidak ada istilah lembaga teringgi negara (superior) dan lembaga tinggi negara (inferior).

Keempat, kewenangan MPR untuk menyusun dan menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihilangkan. Dalam melaksanakan program pembangunan nasional, Presiden mengacu kepada UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Percencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai pengganti GBHN.

Kelima, Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR sehingga Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat – sistem pemerintahan Indonesia menjadi lebih presidensil.

Sejak amendemen ketiga UUD 1945, sistem pemerintahan presidensil menjadi lebih tegas, murni dan konsisten. Dapat dikatakan konsisten karena Presiden – menurut UUD RI 1945 sebelum amendemen – harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.

Disamping itu, sebagai mandataris MPR, Presiden dalam menjalankan program pembangunan nasional harus sesuai dengan GBHN. Sebab, sewaktu-waktu, mandat tersebut dapat ditarik kembali oleh MPR. Sifat pertanggungjawaban kepada MPR yang seperti ini memperlihatkan adanya unsur parlementer dalam sistem pemerintahan presidensil. (Jimly Asshiddiqie, 2006).

Namun, setelah amendemen UUD 1945, pelaksanaan sistem pemerintahan presidensil memiliki kendala. Hal ini disebabkan adanya konstruksi politik multipartai. Penerapan sistem multipartai berimplikasi pada tingkat pelembagaan kepartaian yang rendah dan kekuatan politik di parlemen cenderung “terfragmentasi”.

Kondisi ini semakin menegaskan, bahwa antara teori dan praktik tidak harus koheren sehingga penyusunan kabinet cenderung diwarnai oleh konsensus politik yang mengandung “kompromi” dan “akomodatif”.

Tujuannya adalah agar Presiden memperoleh dukungan mayoritas dari parlemen untuk merealisasikan program-programnya. Akibatnya, hak prerogatif presiden “tersandera” oleh kepentingan parpol koalisi pemerintah.

Presiden tidak lagi mandiri dan independen dalam membuat kebijakan. Meskipun terdapat kekurangan dalam implementasinya, sistem pemerintahan presidensil pasca-amendemen UUD 1945 tetap menjadi pilihan yang ideal dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Relevansi GBHN

Mochtar Kusumaatmadja (2002) menjelaskan bahwa teori hukum pambangunan banyak mengandung atensi apabila dijabarkan terdapat beberapa aspek secara global. Pertama, tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia.

Jika diaplikasikan, maka akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik. Artinya, pembangunan nasional akan sesuai dengan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia.

Kedua, secara dimensional, teori hukum pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila. Rescoepound menyebut fungsi hukum sebagai sarana pembaharu masyarakat, yakni law is a tool of social engeneering.

Fungsi hukum dalam pembangunan nasional tidak saja berkiprah untuk memelihara ketertiban dan ketenteraman, akan tetapi berfungsi juga sebagai sarana perubahan masyarakat atau sarana pembangunan. Fungsi hukum pembangunan menjadi acuan standar tentang arah, sarana, dan kebijaksanaan pembangunan bidang hukum yang dirumuskan.

Perencanaan pembangunan hukum saat ini bisa dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan perencanaan pembangunan hukum yang sebelumnya. Oleh karena itu, perlu untuk membandingkan antara sistem pembangungan nasional di era GBHN dengan SPPN.

Proses perencanaan pembangunan setiap lima tahunan (repelita) mengacu pada GBHN sebagai produk legislasi MPR RI dari sidang lima tahunan. Hal tersebut memilki tujuan untuk: (1) mengakomodasi dinamika dan aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat; (2) agar GBHN mampu merespon secara cepat permasalahan-permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat; (3) MPR RI memperhatikan segala aspek dan kemungkinan yang akan terjadi; dan (4) terdapat petunjuk teknis pelaksanaannya dalam melaksanakan GBHN lima tahunan.

MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara membuat cetak biru program pembangunan nasional yang akan dijalankan oleh Presiden. Isinya adalah dokumen legal mengenai arah kebijakan pembangunan nasional.

Di dalam melaksanakan program pembangunan nasional, terdapat periodesasi yang jelas, terukur, dan terarah sehingga Presiden tidak memiliki visi dan misi. Sebab, program perencanaan pembangunan nasional sudah ditentukan dalam GBHN. Presiden hanya menjalankan apa yang tertuang di dalam GBHN.

Eksistensi GBHN pada masa Orba memiliki peran penting dan strategis karena Presiden – sebagai mandataris MPR – harus menjalankan roda pemerintahan harus sesuai dengan GBHN. Jika tidak sesuai atau melanggar GBHN, maka secara konstitusional MPR dapat memberhentikan Presiden.

Akan tetapi, semenjak era Reformasi, eksistensi GBHN dihilangkan. Presiden dalam menjalankan perencanaan pembangunan nasional mengacu pada UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN.  Dalam UU tersebut, Presiden diberikan ruang yang lebih besar untuk menjalankan program perencanaan pembangunan nasional.

Kemudian, UU SPPN dijabarkan lebih lanjut ke dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN sebagai acuan perencanaan pembangunan jangka panjang nasional.  Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) uu SPPN yang menyebutkan bahwa RPJPN merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UU 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional.

Dilihat dari proses penyusunan dan penetapannya, penyusunan RPJPN bersifat lebih demokratis. Pertama, RPJPN disiapkan secara matang oleh Menteri dan dibahas melalui serangkaian proses Musrenbang Jangka Panjang. Kedua, proses itu melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik unsur-unsur penyelenggara negara maupun keterlibatan publik (masyarakat).

Ketiga, RPJPN ditetapkan dalam bentuk UU yang berarti proses pembahasan dan penetapannya melibatkan Presiden dengan DPR RI. Dilihat dari isi atau materinya, RPJPN ini lebih bersifat visioner dan hanya memuat hal-hal yang mendasar sehingga memberi keleluasaan yang cukup bagi penyusunan rencana jangka menengah dan tahunannya. Oleh karena itu, sistem pembangunan nasional berdasarkan RPJPN lebih sesuai dengan harapan rakyat.

Akhir-akhir ini wacana untuk re-eksistensi GBHN semakin mengemuka. Bahkan, dalam setiap sosialisasi empat pilar bernegara oleh MPR, wacana untuk menghidupkan kembali GBHN menjadi salah satu materinya.

Sesuai dengan Rekomendasi Nomor 2 Keputusan MPR RI Nomor 4/MPR/2014 tentang Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan 2009-2014, isinya menyebutkan agar melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara (Sadono, 2016).

Hal ini sejalan dengan pendapat Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bahwa model pembangunan nasional sekarang ini seperti tarian poco-poco –  maju ke depan selangkah dan mundur ke belakang dua langkah).

Oleh sebab itu, negara Indonesia harus memiliki pedoman dalam melaksanakan pembangunan nasional yang suistainable dalam bentuk GBHN sehingga siapapun yang menjadi Presiden tetap melanjutkan pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah sebelumnya.

Wacana ini menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat. Sebab, gagasan re-eksistensi GBHN akan berimplikasi terhadap sistem ketatanegaran Republik Indonesia – setidaknya dalam hubungan antara MPR dan Presiden yang mana keduanya adalah lembaga negara yang sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat.

Kedudukan di antara keduanya adalah sederajat atau sama-sama kuat. Artinya, diantara kedua lembaga negara tersebut tidak boleh saling intervensi. Apalagi mengintervensi kewenangan yang dimiliki oleh Presiden (Mahfud MD., 1993).

Problematikanya adalah bagaimana caranya mengimplementasikan ke dalam sistem pemerintahan presidensil. Apa implikasinya jika Presiden bertentangan dengan atau tidak melaksanakan GBHN?

Konsekuensi hukum apakah yang akan diterima Presiden? Apakah nantinya Presiden dapat diinterupsi atau diberhentikan dari jabatannya? Apakah laporan pertanggungjawabannya dapat ditolak sementara Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat?

Demikian juga MPR yang dipilih langsung oleh rakyat. Apakah tidak akan menimbulkan problematika hukum baru dalam sistem ketatanegaran Republik Indonesia?

Pada hakekatnya, secara substansial, eksistensi RPJPN memiliki fungsi yang sama dengan GBHN. Bahkan, memiliki nilai lebih, yaitu adanya kesempatan bagi daerah untuk menggali potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing. Tujuannya agar tercipta sinergitas dengan “rencana induknya,” yakni RPJPN.

Dapat dikatakan, bahwa urgensi untuk re-eksistensi GBHN menjadi tidak relevan. Sebab, eksistensinya telah digantikan oleh RPJPN. Problematika pembangunan nasional saat ini sebenarnya terletak pada inkonsistensi dan tidak adanya sinergitas antara RPJPN dengan program pembangunan turunannya.

Oleh karena itu,  lebih bijak jika melakukan sinkronisasi dan harmonisasi terhadap peraturan perundang-undangannya sehingga dapat melahirkan produk hukum yang lebih komprehensif, partisipatif dan sustainable sebagai pedoman program pembangunan nasional ke depan. Di samping relasi antara pusat dengan daerah menjadi sinergi, akan terjalin relasi antar daerah yang saling menguntungkan (relasi mutualisme).

Tulisan milik Yassir Arafat, dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nurul Qarnain, Jember, Jawa Timur.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version