Beberapa waktu lalu, para pencari suaka mendirikan tenda di trotoar-trotoar Jakarta. Ketidakpastian akibatnya menghantui para pencari suaka, imigran, dan pengungsi yang berasal dari berbagai negara.
PinterPolitik.com
Beberapa saat yang lalu, ramai diberitakan oleh berbagai media tentang ramainya pencari suaka yang terlunta-lunta, bahkan hidup tanpa perhatian pihak terkait di Jakarta, terutama di daerah Kalideres – di mana para pengungsi dan imigran pencari suaka ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim).
Lebih mirisnya lagi, para pengungsi tersebut telah menghuni Rudenim tersebut selama lebih dari setahun tanpa sedikitpun kepastian mengenai nasib mereka. Kondisi yang sama pernah meraih perhatian publik, tepatnya pada tahun 2017 lalu, akibat terlampau banyak pengungsi yang berdiam, bahkan mendirikan tenda di trotoar Jl. Peta Selatan. Kini, trotoar tersebut telah dirapikan oleh pemerintah terkait tetapi masih saja terlihat beberapa pengungsi dengan wajah termangu di seberang jalan, seperti menantikan sesuatu.
Penderitaan para pengungsi tersebut seakan semakin berat tatkala Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan bantuan makanan dan shelter penampungan bagi para pengungsi pencari suaka sejak 31 Agustus 2019 yang berarti bahwa mereka telah terkatung-katung menunggu kepastian izin suaka sejak awal bulan September 2019.
Umumnya, pengungsi yang bermukim di Kalideres merupakan pengungsi yang datang dari dua benua, yaitu Asia – khususnya Asia Selatan dan Timur Tengah – dan Afrika. Mereka pergi mengungsi meninggalkan rumah mereka yang terdampak konflik dengan harapan mencari kehidupan yang baru dan layak di negara-negara lain, terutama Australia. Namun, masalah mereka temui ketika pemerintahan Australia telah memperketat peraturan imigrasi mereka sehingga mempersulit para pencari suaka yang pada akhirnya terpaksa menghentikan langkah mereka di Indonesia.
Dilansir dari sejumlah media, Pemprov DKI Jakarta menjelaskan bahwa mereka tetap memberi bantuan kepada para pencari suaka tetapi Pemprov menyerahkan kembali para pencari suaka ini kepada UNHCR (Komisioner Perserikatan Bangsa Bangsa untuk para pengungsi) dan menanti arahan dari pemerintah pusat.
Lebih lanjut, pihak Pemprov sendiri masih mengadakan negosiasi bersama para pihak terkait. Beberapa di antaranya adalah UNHCR, Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), hingga Kementerian Luar Negeri (Kemlu).
Apabila kita menilik lebih lanjut, patut kita ketahui bahwa pemberian suaka terhadap imigran yang datang dari daerah konflik ialah wewenang dari pemerintah pusat untuk memberi status kepada para imigran dan, bahkan, memberi mereka kewarganegaraan. Yang menjadi titik masalah ialah lambannya respons dari penyedia layanan publik sehingga mengakibatkan membludaknya jumlah pemohon suaka yang menunggu kepastian.
Setelah melakukan pengamatan lebih lanjut, disinyalir terdapat mispersepsi antara pelaksana pelayanan publik – dalam hal ini pemerintah – sehingga kondisi yang terjadi pada tahun 2017 terjadi kembali pada tahun ini. Mispersepsi ini mengakibatkan adanya keterlambatan dalam pemberian pelayanan pemerintahan terkait proses permohonan suaka oleh imigran terhadap pemerintah.
Persamaan persepsi merupakan salah satu poin penting dalam pelaksanaan pelayanan publik karena, tanpa adanya persamaan tersebut, bisa jadi perlakuan pelayanan di satu tempat tidak sama dengan yang lainnya atau justru tidak terdapat kejelasan prosedur, waktu tunggu, dan, bahkan, siapa pihak yang sebenarnya berwenang menyelenggarakan hal tersebut. Hal inilah yang kemudian terjadi dalam penanganan imigran, pengungsi, dan pencari suaka.
Setidaknya, terdapat dua indikator menarik yang melatarbelakangi lambatnya penanganan imigran, pengungsi, dan pencari suaka. Yang pertama adalah miskonsepsi tentang siapa sebenarnya yang dapat disebut sebagai imigran, pengungsi, dan pencari suaka. Keberadaan miskonsepsi ini nyata dengan adanya fakta bahwa ketiganya ditempatkan di tempat yang sama, yakni di Rudenim yang seharusnya hanya untuk para Imigran.
Meminjam pernyataan Thomas Varga, Kepala Perwakilan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Indonesia, imigran merupakan warga negara asing yang datang ke Indonesia atau sebaliknya. Mereka datang dengan berbagai alasan – mulai dari ekonomi, keluarga, penugasan, maupun ingin menetap. Sementara, pengungsi adalah mereka yang lari dari negara asalnya ke suatu negara lain untuk menjalani hidup yang lebih layak. Apabila dicermati, kata “lari” di sini menunjukkan adanya persekusi (penganiayaan) di negara asal sebagai faktor pembeda antara imigran dengan pengungsi.
Bila demikian, lantas, bagaimana kedudukan pencari suaka? Pencari suaka adalah seseorang yang menyebut dirinya sebagai pengungsi tetapi permintaan mereka akan perlindungan belum selesai dipertimbangkan.
Dapat dibayangkan bahwa ketidaksamaan persepsi ini kemudian melahirkan miskonsepsi dan miskonsepsi dan berujung pada ketidakpastian dalam pelayanan publik. Pelayanan yang seharusnya cepat dan efisien menjadi lama dan bertele-tele – mengakibatkan keterlambatan pemenuhan pelayanan bagi yang membutuhkan.
Maka dari itu, untuk menyamakan persepsi, pertama-tama harus ada kepastian hukum yang dapat dijadikan landasan berpikir sekaligus menjadi landasan pelaksanaan pelayanan publik. Inilah indikator yang kedua, yakni masih absennya kepastian hukum.
Hingga tahun 2019, Indonesia belum meratifikasi Geneva Convention and Protocol Relating to The Status of Refugees 1951 dan New York Protocol Relating to the Status of Refugees 1967. Akibatnya, secara praktik hukum internasional, Indonesia tidak mempunyai wewenang dalam memberikan Refugee Status Determination (RSD) atau Prosedur Penentuan Status Pengungsi.
Dengan tidak diratifikasinya instrumen internasional, persoalan muncul ketika pemerintah tidak tanggap dalam memberikan pelayanan RSD kepada para pencari suaka. Penentuan status (RSD) yang hanya dapat dilakukan oleh UNHCR juga memperparah keadaan karena, dengan tidak adanya lembaga lain yang berwenang, pelayanan terhadap para pencari suaka ini akan memakan waktu yang lama.
Sementara, dengan lamanya waktu tunggu, secara tidak langsung ketentuan HAM baik nasional maupun internasional, serta kebiasaan internasional terkait pengungsi – yakni “menghormati hak asasi manusia” dan juga “pelayanan yang baik berstandar internasional” telah dilanggar.
Oleh sebab itu, dua indikator inilah yang sesungguhnya harus diperhatikan untuk melancarkan penanganan terhadap imigran, pengungsi, dan pencari Suaka. Setidaknya, apabila terdapat payung hukum, maka ada kepastian hukum.
Kepastian hukum kemudian menumbuhkan persamaan persepsi dan titik terang dalam penanganan isu yang selanjutnya menelurkan realisasi pelayanan publik terhadap imigran, pengungsi, dan pencari suaka yang efektif dan efisien. Lebih lanjut, dengan efisiennya pelayanan, pencegahan akan kejadian yang sama dapat dilakukan.
Besar harapan agar pemerintah berkenan untuk mengesampingkan kepentingan-kepentingan politik dan memulai memikirkan kepentingan kemanusiaan dan pendekatan yang humanis terhadap para pengungsi yang membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah.
Tulisan milik Agung Trisna, Nugroho Adhi, Agnes Maria, dan Priscentia; mahasiswa-mahasiswi Hukum di Universitas Gadjah Mada
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.