“Baju pengantin telah kutanggalkan, dini hari jenuh awan nan kelabu, berakhir di ujung hujan”. – Chrisye, Baju Pengantin
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]egala yang putih emang selalu dianggap jadi yang paling baik.
Di era Kerajaan Mesir dan Romawi kuno, warna putih dianggap melambangkan kemurnian. Makanya, para pendeta perempuan di era tersebut selalu menggunakan pakaian berwarna putih.
Demikian pun hingga kini, warna putih masih digunakan di banyak agama sebagai simbol atau warna yang melambangkan kesucian dan kemurnian. Tak heran, pemuka-pemuka agama banyak yang mengenakan pakaian berwarna putih.
Warna putih juga menjadi warna kerajaan atau kebangsawanan untuk raja-raja di Prancis.
Menurut survei yang diadakan di Eropa dan Amerika Serikat, warna putih adalah warna yang paling sering diasosiasikan dengan kesempurnaan, kebaikan, kejujuran, kebersihan, sebuah awal mula, netralitas, dan kegairahan.
Itu makanya pakaian pengantin – umumnya perempuan – sering dijumpai warnanya putih. Soalnya kalau kuning itu Sponge Bob. Hadeh.
Beh, positif semua kan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan warna putih itu. Tidak heran kalau untuk Pemilu 2019 ini banyak seruan untuk masyarakat agar menggunakan pakaian warna putih saat datang ke tempat pemungutan suara alias TPS.
Ajakan untuk “memutihkan TPS” itu memang dimaksudkan agar warga datang ke TPS berpakaian putih loh ya, bukan datang ngecat TPS jadi putih. Hehehe.
Efek putih itu emang dahsyat. Aksi Bela Islam 212 dulu juga menggunakan pakaian warna putih. Pak Jokowi juga suka banget menggunakan baju putih sebagai pakaian kerja kepresidenannya. Jadi, harapannya emang efek putih itulah yang ingin dicari oleh kubu yang mengajak untuk memutihkan TPS itu.
Menariknya, dua kubu sama-sama menyerukan untuk memutihkan TPS.
Jokowi pernah ngajak masyarakat memutihkan TPS. Sementara di kubu Prabowo, timsesnya pun sering mengajak untuk memakai pakaian warna putih.
Tapi, sebenarnya kalau semuanya pakai putih, justru bagus loh. Orang kan jadi nggak tahu mana pendukung Jokowi dan mana pendukung Prabowo. Dengan demikian, bisa mengurangi potensi konflik yang terjadi.
Soalnya, warna kan juga menjadi identitas cuy. Kalau Jokowi misalnya minta pendukungnya pakai merah, terus Prabowo minta pendukungnya pakai putih atau warna yang lain, kan potensi kekacauan bisa menjadi sangat besar. Soalnya tiap kelompok jadi mudah teridentifikasi.
Hal ini bisa terlihat dalam kasus kelompok kaos merah dan kaos kuning yang terjadi di Thailand menyusul kudeta terhadap Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada tahun 2006 lalu.
Kala itu krisis politik yang terjadi emang sempat melahirkan ketegangan antara dua kubu politik yang mengidentikkan diri dengan kaos yang warnanya berbeda. Beh, kan parah jadinya.
Nah, tahun 2014 muncul gerakan baru yang menyebut diri mereka bukan kelompok kaos merah dan bukan kaos kuning, yaitu gerakan kaos putih. Mereka bersuara dan menuntut hak pilih mereka.
Jadi, seruan untuk memutihkan TPS oleh dua kubu di Pilpres 2019 ini sebenarnya positif untuk menghindari identifikasi pendukung yang bisa menyebabkan gesekan politik.
Lha terus gimana kalau orang nggak punya baju putih? Nggak pakai baju ke TPS? Upppss.
Jangan cuy, justru itu juga bisa bikin ricuh hahaha.
Sebenarnya, mau pakai baju apa mah terserah harusnya. Hak pribadi cuy. Yang penting pakaiannya bersih dan sopan aja. Jangan pakai bikini! Terus pakaiannya itu punya sendiri, bukan hasil nyolong punya tetangga hehehe.
Isu warna baju yang terjadi sekarang ini emang akibat identifikasi warna dengan pilihan politik. Sehingga, membuat warna yang dipakai jadi sensitif.
Harusnya, dua kubu menyerukan pendukungnya bukan untuk pakai baju putih, tapi pakai baju tim sepak bola aja. Kan timnya banyak, jadi aman.
Eh, nanti pendukung Persija Jakarta sama Persib Banding bisa tawuran ya kalau pakai baju bola. Upppss.
Politik dan bola mah sama saja.
Jadi, kamu pakai baju apa? Janjian yuk hehehe. (S13)