Site icon PinterPolitik.com

KDRT ‘Sunyi’ Ibuku

(Sumber: istimewa)

Pagi itu, seperti pagi biasanya. Ibu menyiapkan kopi dan sarapan untuk Ayah. Tak ada yang aneh, apalagi mencurigakan. Sampai saatnya Ayah berangkat ke kantor.


PinterPolitik.com 

[dropcap]R[/dropcap]encana ini sudah disusun lama, yakni sejak tiga bulan lalu. Secara sembunyi dan perlahan, saya dan Ibu memindahkan barang-barang ke rumah kakak di daerah Tebet, Jakarta Selatan dari rumah kami di daerah Depok, Jawa Barat.

Bersamaan dengan proses itu, saya dan Ibu mendatangi lembaga yang bergerak dalam perlindungan hukum perempuan dan anak, guna meminta pendampingan untuk melaporkan Ayah. Ya, di pernikahan yang sudah memasuki usia 30 tahun, Ibu memutuskan untuk bercerai dengan Ayah dengan alasan KDRT.

Selintas, tak ada yang salah dengan keluarga kami. Ayah dan Ibu tak pernah kedapatan mata bertengkar, berdebat saja tak pernah. Lantas, apa sebab Ibu bercerai dari Ayah? Delik yang dipakai KDRT pula.

Kekerasan yang dilakukan Ayah awalnya memang sangat sulit saya baca. Tak ada bekas di tubuh dan fisik Ibu. Setelah sadar akan keberadaan kekerasan pun, saya masih saja melakukan penolakan, pembenaran, bahkan berpura-pura tak tahu.

Tetapi, saat mengerjakan skripsi dan memikirkan Ibu yang semakin tua, tiba-tiba saja air mata jatuh, tak berhenti. Saya menangis sejadi-jadinya, memikirkan betapa jahatnya saya mendiamkan Ibu berada lebih lama dalam kondisi yang menyiksa.

Sejak sadar dengan hubungan Ayah dan Ibu, saya masih duduk bangku SD. Ibu tak pernah sekalipun keluar rumah, terlihat menelpon atau berbicara dengan orang lain pun, tidak. Sekalinya membaca koran dan buku, Ayah memintanya dan hanya menatap tajam dengan galak. Ya, ini sudah terjadi selama lebih dari dua dekade dalam keluarga kami.

Saya baru menyadari jika apa yang dilakukan Ayah adalah bentuk kekerasan psikis, sejak saya kuliah di semester akhir. Isolasi, melarang bersosialisasi, dan protektif ekstrem, merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang sama berbahayanya dengan tamparan atau tendangan seseorang. Rasa tak karuan menggelayuti. Hingga akhirnya saya bicara dengan Ibu. Apakah Ibu sadar jika dirinya menjadi korban KDRT selama ini?

Saat saya utarakan, Ibu menangis dan kami hanya bisa berpelukan. Ibu sudah tak tahan dengan keadaan pernikahannya. Tetapi bagaimana dirinya mau lepas, jika ia masih sangat bergantung secara ekonomi pada Ayah?

Sejak menikah 30 tahun lalu, Ibu tak lagi dibolehkan bekerja oleh Ayah. Ia diwajibkan mengurus anak dan rumah. Tapi apa daya, rumah ternyata selama ini menjadi sangkar buat Ibu. Tak hanya memaksa berhenti bekerja, Ayah sama sekali tak membolehkannya bersosialisasi dengan tetangga dan teman-temannya, mengabari keluarganya, mendirikan usaha sendri, bahkan tak boleh membaca dan menulis!

Menghadapi kondisi yang bahkan lebih buruk dari penjara tersebut, siapa yang tak terguncang jiwanya? Ibu harus berkonsultasi pula dengan psikolog selama beberapa bulan, hingga sang konselor memasukkan kondisi psikis ibu sebagai bukti kekerasan Ayah terhadapnya.

Dokumen dan bukti sudah dimasukkan ke pangadilan. Dan di pagi itu, di pagi yang menurut Ayah adalah pagi-pagi yang sama, Ibu menyelipkan sebuah surat berisi undangan sidang berbunyi, “sampai jumpa di pengadilan” dan surat resmi dari pengadilan agama. Setelah Ayah pergi bekerja, Ibu pun turut keluar dari rumah menuju Tebet dan tak kembali.

Sejak pagi itu, Ayah dan Ibu kembali bertatap muka di pengadilan sebagai terlapor dan pelapor. Ayah bingung luar biasa. Apa salahnya? Mengapa tiba-tiba begini? Setelah tahu anak-anaknya berada di sisi Ibu alih-alih di pihaknya, ia mulai gusar dan marah. Saat mediasi gagal, di pertemuan berikutnya, Ayah membawa Pak RT sebagai saksi yang meringankan dugaan KDRT dan perselingkuhan. Tunggu, ada perselingkuhan?

Yang tidak kusangka, ternyata selain KDRT, Ayah juga melakukan perseligkuhan.Ibu membongkarnya saat merapikan dokumen-dokumen, dan menemukan sebuah transaksi asing atas nama perempuan yang tak pernah didengarnya. Bukan keluarga maupun kolega, siapa dia?

Setelah didalami, ternyata sudah 5 tahun Ayah menikah diam-diam dengan perempuan lain. Bahkan punya anak dari pernikahan tersebut. Bukti pembelian mobil dan rumah jadi bukti.

Dua bulan proses sidang berjalan, akhirnya mereka berpisah. Tak ada yang disesali apalagi dibuat menjadi duka dalam perpisahan. Sebaliknya, justru kelegaan, rasa haru bahagia, dan kemenangan membuncah dalam dada.

Kini saya tinggal dengan Ibu di rumah yang baru. Rumah yang dibeli Ayah atas nama saya, anak perempuan bontotnya, beberapa tahun lalu. Di rumah ini, Ibu menjalani hari-hari barunya dengan lebih optimis dan bercahaya. Perjalanan ini pula makin merapatkan hubungan saya dengan Ibu di harinya yang makin senja. (Berbagai sumber/ A27)

Exit mobile version