Semakin ketat pengawasan, maka semakin ‘kreatif’ juga para koruptor mencari celah kecurangan. Bahkan tak jarang, pungutan liar maupun pencatutan dilakukan secara terang-terangan.
PinterPolitik.com
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sudah bukan barang baru lagi bagi telinga rakyat Indonesia. Bahkan seolah-olah, sudah mendarah daging. Apalagi saat rezim orde baru berkuasa, otoritas pemerintahan seolah tak tersentuh hukum. Selama puluhan tahun, korupsi seakan sudah menjadi budaya yang sangat sulit dihilangkan.
Penegakan hukum yang tajam ke bawah, menyebabkan para koruptor belum terjamah. Jadi meskipun media menyajikan berbagai analisa, diskusi, hingga perdebatan sengit mengenai penegakan hukum. Para pelaku koruptor yang sebagian besar pejabat negara, tidak pernah tercubit bahkan tak tersentuh sedikitpun. Bagi mereka, semakin besar korupsinya, semakin besar pula kemungkinan bebasnya.
Walau di era pemerintahan Joko Widodo menganut istilah revolusi mental, namun praktik KKN tetaplah kental. Berdasarkan informasi seorang sumber, korupsi masa kini semakin canggih dan terorganisir rapi. Seringnya Jokowi mengganti-ganti menteri, juga menjadi salah satu faktor korupsi menjadi-jadi. Terutama menteri-menteri titipan yang lebih banyak terpilih atas alasan pembagian kekuasaan.
Cara canggih korupsi para menteri di era Jokowi, diungkap seorang sumber yang berasal dari sebuah kementerian. Menurutnya, ada menteri yang sengaja mengajak kader satu partai untuk terlibat di dalam kementeriannya. Atas dalih membantu, teman itu diberi ruang tersendiri. Padahal itu hanyalah kedok si menteri, sebab kehadiran utama “temannya” itu adalah untuk menggalang dana demi kepentingan parpol pengusungnya.
“Yang bersangkutan tidak diangkat sebagai staf ahli atau staf khusus, tetapi memiliki ruangan khusus karena diberi peran strategis. Modus ini sengaja dilakukan, ditengarai untuk mengantisipasi jika terjadi masalah hukum, menteri dan kementerian bisa lepas dari tanggung jawab,” ujar sumber tersebut, di Jakarta, Rabu (22/3).
Karena tugasnya menggalang dana, lanjutnya, maka sejumlah proyek maupun kegiatan di semua direktorat jenderal (ditjen) di kementerian harus melibatkan kader tersebut. “Bahkan jika ada kegiatan kementerian, peran EO (Event Organizer) pun di jalaninya. Dengan kata lain, dia menguasai anggaran kementerian,” kata sumber tersebut.
Ia menambahkan, kehadiran kader partai “siluman” ini telah membuat resah sejumlah pejabat di kementerian itu. Sebab para birokrat kementerian yang dulunya ikut kebagian rezeki, kini kesal karena terpaksa gigit jari. Kesimpulannya, korupsi Indonesia memang sudah begitu struktural dan massal. Tak heran bila koruptor Indonesia banyak yang berwatak bebal dan berkuping tebal. (Suara Pembaruan)