Site icon PinterPolitik.com

Jokowi “Sentil” Gubernur Egois

Jokowi “Sentil” Gubernur Egois

Dalam rapat kerja dengan para kepala daerah lalu, Presiden mengingatkan untuk tidak membuat peraturan yang bertentangan dengan Pemerintah Pusat.


PinterPolitik.com

“Jadi, politik otonomi daerah tetap harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan moralitas sehingga memahami bahwa di tangan pemerintahan daerah ada tanggung jawab juga menjaga Indonesia sebagai gambaran besar pemerintahan.” ~ Presiden Jokowi

[dropcap]S[/dropcap]ebagai negara kepulauan terbesar di dunia, mengantur Indonesia memang tidak bisa dibilang gampang. Selain daerahnya jauh-jauh karena dipisahkan oleh lautan, adat istiadat dan kebiasaannya pun berlainan. Contohnya aja, masalah gizi buruk di Suku Asmat, Papua.

Presiden udah minta di relokasi korban yang terkena gizi buruk, eh Gubernur sama Bupatinya enggak mau. Alasannya luar biasa masuk akal, takut tradisi dan istiadatnya enggak sesuai. Padahal kan, maksudnya biar dapat perawatan dulu. Kalau udah sehat kan bisa balik lagi. Tak ya gitu deh, mungkin logikanya emang beda.

Jadi bisa aja sebenarnya fasilitas kesehatan juga susah masuk ke sana, karena masyarakatnya yang emang tidak mau menerima. Nah, itu baru satu provinsi aja. Sekarang ada 34 provinsi lainnya yang dengan adat istiadatnya masing-masing, menyatukannya tentu butuh upaya dan kesabaran yang menantang.

Ditambah lagi, reformasi memungkinkan daerah memiliki otonomi daerahnya sendiri. Melalui otonomi, daerah bisa mengatur dan membuat peraturan yang sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Niatnya sih, aturan ini akan memudahkan karena tidak lagi sentralistik yang semuanya harus diatur dari pusat alias Jakarta.

Apakah masalahnya selesai sampai di sana? Ternyata enggak juga. Gara-gara bisa membuat aturannya sendiri, para pemimpin daerah pun menganggapnya sebagai kebebasan untuk membuat keputusan yang seenake dewe. Tak jarang aturan itu malah jadi berbenturan dengan keputusan pemerintah pusat yang sifatnya nasional.

Mau contohnya? Enggak usah jauh-jauh ke Papua atau Nangroe Aceh Darussalam. Cukup di Jakarta aja. Benturan peraturan pemerintah pusat dan daerah terliat betul dari masalah reklamasi Pantai Utara Jakarta. Bagaimana seorang gubernur yang baru dilantik bisa dengan mudahnya menganulir keputusan reklamasi yang dibuat oleh seorang Menteri yang notabene kepanjangan tangannya presiden.

Tulisan ini pro reklamasi? Enggak juga, tapi kan bukan berarti menyetujui tindakan yang tidak sesuai dengan hirarki. Kalau menurut Dosen antropologi FISIP Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya, benturan seperti aturan reklamasi itu terjadi akibat adanya egoisme daerah yang lebih mementingkan wilayahnya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan yang lebih besar, yaitu nasional.

Hmm, terlepas dari aturan mana yang lebih memiliki kekuatan, antara pemerintah daerah dan pusat. Mungkin permasalahan ini juga mencerminkan kalau banyak kepala daerah yang sebenarnya belum atau bahkan tidak tahu artinya otonomi itu sendiri. Mungkin otonomi itu dianggap sebagai federalisme. Padahal Indonesia ini kan masih NKRI ya. Jadi, para kepala daerah itu ngerti enggak ya? (R24)

Exit mobile version