“We don’t dress alike. We don’t rap alike. I shine different. I rhyme different” – Drake, penyanyi rap asal Kanada
PinterPolitik.com
Gengs, pernah heran nggak sih sama fenomena dua sekawan yang dahulu kompak, terus retak, dan tiba-tiba saling memendam rasa sebal masing-masing? Mungkin di olahraga banyak kali ya, seperti kisah perseteruan pemain dengan bekas klub dan mantan rekan, misal Rossi dengan Lorenzo.
Tapi, bagaimana jika landscape tersebut berada di dalam lapangan politik? Menarik, seperti itulah fenomena yang jamak ditemui di tengah persinggungan para politisi. Makanya, tidak heran sih kalau di kampungnya mimin ada pemeo yang sudah masyhur bahwa dalam politik tidak ada perkawanan yang abadi.
Mimin dengar kalimat itu sejak kecil, cuy. Dan ternyata pas sudah gedhe dan mulai kenal buku-buku, ketemu dah sama tokoh yang mencetuskan kalimat itu.
Salah satunya dari William Clay yang bilang, “This is quite a game, politics. There are no permanent enemies, and no permanent friends, only permanent interests,” yang arti intinya adalah nggak bakal ada keabadian di politik, kecuali kepentingan. Nah, makanya nih banyak teoretis politik yang lebih fokus sama faktor kepentingan buat dianalisis daripada faktor baper–baper-an yang nggak jelas beud.
Pertanyaan mimin, dari mana orang-orang kampung punya pemeo yang keren begitu? Jawabannya ternyata sederhana, mereka sudah maklum dengan fenomena politik yang seperti itu. “Gak heran, bosku,” ucap mimin dalam hati.
Berarti dalam mengamati politik nasional memang kita jangan baperan deh cuy – misal yang sedang melanda relasi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Ini kalau sudah baper duluan, wah, bisa-bisa gak jalan akal sehat kita. Yang ada cuma emosi, sebab hubungan mereka berdua memang nggak jelas naik turunnya.
Bayangkan saja nih, dulu pas Pakdhe – sebutan untuk Presiden Jokowi di kalangan masyarakat Jawa – jadi presidenpada periode pertama, bagaimana sosok Pak Anies? Beuh, mendampingi terus di mana presiden menghendaki deh.
Tapi itu nggak berjalan lama, sebab doi kena ketok reshuffle. Sejak itu deh, hubungan keduanya panas-panas gurih kayak lihat mantan jalan gandeng tangan pasangannya. Hiks, tisu mana tisu?
Sebagaimana jalan kelok Sembilan di Medan, begitulah hubungan keduanya yang kadang timbul dan tenggelam. Baru kemarin bulan Mei, keduanya kelihatan romantis saat meninjau stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) untuk persiapan new normal.
Ya, entah kepaksa akur sebab tuntutan kerja atau memang juga dorongan dari lubuk hati paling dalam sebagai kawan lama. Mimin tidak mau berspekulasi terlalu jauh. Intinya duet bagus gitu, kan. Sayang sungguh sayang, kemesraan ini nyatanya cepat berlalu.
Kemarin, Pak Anies dinilai memberi nama sendiri pada program penanganan Covid-19 di Ibu Kota. Padahal nih pemerintah ngasih nama new normal kan. Eh, Pak Anies dianggap nyempal sendiri dengan konsep “Pembatasan Sosial Berskala Besaer (PSBB) Masa Transisi”.
Kayaknya, ini menjadi dampak panjang dari perseteruan sebelum-sebelumnya deh, cuy, mulai dari pemerintah yang kurang responsif terhadap program penanganan Covid-19 yang digagas Anies, sampai debat soal data-data yang banyak bedanya antara Istana dengan Balai Kota.
Sampai-sampai, The Economist menuliskan sebuah artikel yang berjudul Indonesia’s President Has a New Rivalyang mejeng di situsnya – dipersembahkan untuk menjelaskan sedikit opini yang muncul di tengah publik bahwa Anies merupakan rival baru bagi Jokowi.
Wih, Pak Anies udah mau niru Pak Prabowo ketika dulu saja, ya. Upsss. Persaingannya tuh kayak smooth banget tapi kerasa gitu lho, cuy. Lagi pula, Pak Jokowi dan Pak Anies ini memang beda. Hehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.