Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Akhiri Corona di Akhir Tahun?

Presiden Jokowi sebut pandemi Covid-19 akan berakhir akhir tahun ini (Foto: Katadata)

Di tengah kerisauan publik akan pandemi virus Corona (Covid-19), baru-baru ini Presiden Jokowi memberikan pernyataan optimis bahwa pandemi tersebut akan berakhir akhir tahun ini. Akan tetapi, mungkinkah hal tersebut berhasil dilakukan?


PinterPolitik.com

Dalam sebuah konferensi pers terkait virus Corona (Covid-19) di Gedung Putih pada Maret lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendapat sorotan setelah memotong pertanyaan koresponden Gedung Putih Peter Alexander terkait apa yang dipikirkan politisi Partai Republik tersebut terhadap masyarakat AS yang tengah ketakutan karena meledaknya kasus Covid-19.

Yang membuat fenomena tersebut mendapatkan pemberitaan khusus adalah karena Trump menyematkan istilah seperti terrible reporter (reporter yang mengerikan) hingga nasty (menjijikkan) kepada pertanyaan Alexander.

Setelah pemotongan tersebut, Trump menyebutkan bahwa masyarakat AS tengah mencari “jawaban” dan “harapan” di tengah pandemi Covid-19. Apa yang dimaksudnya sebagai jawaban dan harapan dalam konferensi tersebut adalah pada klaimnya bahwa obat Malaria, chloroquine, dapat menyembuhkan Covid-19.

Akan tetapi, berbagai pihak justru membantah Trump karena obat tersebut belum memiliki bukti yang kuat dapat digunakan sebagai obat Covid-19. Tidak hanya itu, Trump bahkan disebut telah menyebarkan harapan palsu, misalnya oleh Dr. Thomas Tsai dari Harvard University karena menilai kondisi Covid-19 di AS memang tengah dalam kegentingan.

Di luar kontroversi tersebut, hal menarik yang dapat dilihat dari Trump adalah ia memiliki konsistensi untuk memberikan pesan harapan kepada pendengarnya. Suka atau tidak, di tengah situasi genting akibat pandemi Covid-19, pesan-pesan harapan semacam itu memiliki sisi positif sebagai penenang psikologis publik.

Uniknya, upaya Trump dalam memberikan pesan optimis tersebut sepertinya tengah dilakukan pula oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini. Di tengah lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia yang telah menyentuh angka 5.923 per 17 April, mantan Wali Kota Solo tersebut tiba-tiba memberikan pernyataan bahwa pandemi Covid-19 akan berakhir akhir tahun ini.

Tidak hanya itu, Jokowi bahkan menyebutkan bahwa pada tahun 2021 akan terjadi ledakan pariwisata karena penduduk dunia akan berlibur setelah menjalani social distancing dalam waktu yang relatif lama. Dengan tegas Jokowi menyebutkan bahwa optimisme harus diangkat agar tidak terjebak dalam pesimisme karena masalah Covid-19 yang tengah terjadi.

Tentu pertanyaannya, mungkinkah Jokowi mampu mewujudkan optimismenya terkait berakhirnya pandemi Covid-19? Atau justru sama halnya dengan Trump, yang mana ia terjebak dalam pemberian harapan palsu?

Politik Optimisme

Optimisme tersebut sepertinya dapat kita lacak dari pernyataan peraih hadiah Nobel untuk bidang kimia Michael Levitt yang menyebutkan pandemi Covid-19 akan segera berakhir setelah menemukan adanya perlambatan tingkat infeksi di Tiongkok.

Atas temuan Levitt tersebut, boleh jadi telah tercipta gelombang harapan di Indonesia, yang misalnya terlihat dari adanya berbagai pemberitaan tentang temuan tersebut oleh berbagai media dalam negeri.

Tidak hanya Levitt, berbagai peneliti dalam negeri juga telah membuat berbagai modeling untuk menentukan kapan sekiranya pandemi Covid-19 akan berakhir di Indonesia. ILUNI Matematika Universitas Indonesia (UI) misalnya, telah mempublikasikan tiga buah skenario terkait berakhirnya pandemi tersebut.

Dalam skenario terburuk, yakni jika per 1 April pemerintah tidak mengambil tindakan tegas terkait physical distancing, maka berakhirnya pandemi diprediksi akan terjadi pada akhir Agustus sampal awal September 2020.

Selain prediksi tersebut, progresivitas penemuan vaksin Covid-19 juga turut menambah angin harapan tersebut. Perusahaan produsen obat-obatan, peralatan medis, dan barang konsumsi multinasional asal AS Johnson & Johnson misalnya, pada Maret lalu telah mengumumkan bahwa mereka telah siap untuk menguji vaksin Covid-19 pada manusia pada bulan September, serta menyebutkan kemungkinan vaksin sudah dapat digunakan pada awal tahun 2021.

Kendatipun tidak pernah disebutkan secara tegas, boleh jadi prediksi dan progresivitas penemuan vaksin tersebut telah menjadi landasan atas optimisme Jokowi untuk menyebutkan pandemi Covid-19 akan berakhir pada akhir tahun ini.

Tidak hanya pada kasus Covid-19 Jokowi memberikan pesan harapan atau optimisme, melainkan pesan tersebut memang telah menjadi ciri khas dari bahasa politik mantan Wali Kota Solo tersebut.

Yang paling kentara untuk menunjukkan hal tersebut adalah ketika ia menanggapi pidato Prabowo Subianto tentang Indonesia dapat bubar pada tahun 2030 kala kampanye Pilpres 2019 lalu. Tegas Jokowi, tidak boleh ada lagi yang mengatakan Indonesia akan bubar karena seharusnya masa depan ditatap dengan penuh optimisme.

Charles Vallance dalam tulisannya The Politics of Optimism menyebutkan bahwa strategi menebar pesan harapan atau optimisme tersebut memang terbukti telah membawa keberhasilan dalam mendulang simpati publik. Vallance misalnya mencontohkan pesan optimis “Make America Great Again” dari Trump ketika kampanye Pilpres AS lalu telah menjadi salah satu faktor keberhasilannya terpilih sebagai presiden.

Mengacu pada Vallance, boleh jadi Jokowi bermaksud untuk mendulang simpati publik di tengah kekecewaan berbagai pihak terkait penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia yang dinilai tidak sigap sedari awal. Selain itu, ancaman sosial dan ekonomi juga turut menghantui seiring dengan terjadinya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena berhentinya aktivitas ekonomi.

Survivorship Bias

Pada titik ini, mungkin mudah untuk memahami bahwa Presiden Jokowi memang hendak menyebarkan pesan optimis guna menenangkan psikologis publik. Akan tetapi, bagaimana jadinya jika pesan optimis tersebut justru mendapat backlash atau reaksi negatif seperti halnya pada kasus Trump?

Pasalnya, optimisme Jokowi tersebut bak bertepuk sebelah tangan dengan upaya penanganan pandemi Covid-19 yang dipertontonkan pemerintah selama ini. Hal tersebut misalnya terlihat dengan pemerintah yang belum mengeluarkan larangan mudik Lebaran 2020.

Andrew Wight dalam tulisannya Will The Coronavirus Follow When 20 Million Indonesians Go Home For Mudik? turut memberikan sorotan tajam atas hal tersebut. Mengacu pada data tahun 2019, yang mana terdapat 20 juta pemudik, jika belum terdapat larangan mudik, besar kemungkinan tradisi tahunan tersebut akan menjadi bom ledakan kasus Covid-19 di berbagai daerah.

Konteksnya menjadi semakin rumit karena fasilitas kesehatan di daerah dinilai tidak begitu memadai untuk merawat pasien Covid-19. Dengan adanya ketimpangan pembangunan antara ibu kota dan daerah, mudah untuk menyimpulkan, apabila fasilitas medis di Jakarta saja dirasa masih belum mencukupi untuk menangani banyaknya pasien Covid-19, lantas bagaimana mungkin fasilitas di daerah sanggup?

Harapan akan berakhirnya pandemi Covid-19 juga seolah berada di arah yang tidak tentu setelah ditemukannya prediksi akan adanya gelombang kedua Covid-19 di Asia. Kepala tim ahli klinis Covid-19 di Shanghai, Zhang Wenhong, juga telah memprediksi bahwa gelombang kedua tersebut akan terjadi pada bulan November mendatang.

Apalagi, dengan adanya berbagai temuan di mana pasien sembuh Covid-19 dapat terjangkit lagi seperti yang terjadi pada 116 pasien di Korea Selatan, membuat harapan akan berakhirnya pandemi tersebut sepertinya hanya akan terwujud jika vaksin telah ditemukan. Getirnya, berbagai pihak justru menyebutkan vaksin Covid-19 baru akan siap dalam waktu 12-18 bulan ke depan.

Lantas, dengan berbagai faktor tersebut, mungkinkah Jokowi telah terkena bias kognitif yang disebut dengan survivorship bias?

Survivorship bias adalah tendensi psikologis di mana seseorang cenderung menaksir kesuksesannya terlalu tinggi atau melebihi kemungkinan yang ada. Bias tersebut umumnya ditemukan dalam aktivitas bisnis seperti investasi.

Pada konteks pesan optimis Jokowi, dengan menimbang pada berbagai faktor penghambat yang ada, boleh jadi bias kognitif tersebut memang tengah mendera orang nomor satu RI tersebut. Pasalnya, tidak hanya memprediksi berakhirnya pandemi, Jokowi juga menyebut akan adanya ledakan pariwisata yang akan melanda Indonesia pada 2021 mendatang. Atas itu pula, ia telah memberikan perintah kepada menteri untuk menyiapkan stimulus ekonomi kepada pelaku bisnis pariwisata dan ekonomi kreatif.

Menariknya, survivorship bias tampaknya tidak hanya terjadi pada kasus Covid-19, melainkan juga pada visi pembangunan infrastruktur Jokowi. James Guild dalam tulisannya Jokowinomics Gambles with Indonesia’s Democratisation menyebutkan bahwa Jokowi sepertinya percaya bahwa pembangunan infrastruktur dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Atas dasar itu, Guild menyebut bahwa Jokowi akan meningkatkan skala pembangunan infrastruktur pada periode kedua kepemimpinannya.

Pada akhirnya, mungkin kita dapat memetik dua simpulan atas pesan optimis Jokowi tersebut. Pertama, boleh jadi pesan tersebut semacam bahasa komunikasi politik untuk menenangkan psikologis publik. Kedua, jika tendensinya bukan politik, maka boleh jadi Jokowi telah mengalami survivorship bias.

Akan tetapi, skenario ketiga, seperti pandemi Covid-19 benar-benar akan berakhir pada akhir tahun ini juga mungkin saja untuk terjadi, dan itu memang menjadi harapan kita semua. Tentunya, jika pemerintah memang serius ingin mengakhiri pandemi ini secepat mungkin, langkah-langkah terbaik menjadi suatu keharusan untuk dilakukan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version