Isu intoleransi di tanah Minang menyeruak karena polemik aplikasi Injil berbahasa Minang. Mengapa isu toleransi seperti ini dapat muncul di Sumatera Barat?
PinterPolitik.com
Belakangan ini publik digemparkan dengan adanya isu aplikasi Injil berbahasa Minang yang terdapat di platform ponsel pintar. Isu ini menemui pro dan kontranya tersendiri.
Bagi pihak yang pro terhadap Injil yang diterjemahkan ke dalam bahasa Minang, sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia, mereka beralasan bahwa tidak ada salahnya ketika suatu agama/kepercayaan berusaha untuk membuat terjemahan kitabnya ke dalam bahasa daerah dengan tujuan agar masyarakat pengikut suatu agama/kepercayaan dapat lebih mudah memahami isi dari kitab tersebut.
Di sisi lain, bagi pihak yang kontra, mereka beranggapan bahwa keberadaan aplikasi Injil berbahasa Minang dapat menggerus konsensus serta nilai-nilai yang telah disepakati bersama, dalam hal ini oleh masyarakat etnis Minang.
Dilansir dari berbagai kanal berita daring, aplikasi tersebut telah dihapus oleh pihak Google dan telah hilang keberadaannya dari layanan unduh aplikasi. Hal tersebut terjadi setelah Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno melayangkan surat resmi kepada Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) yang isinya yakni seruan terhadap pemerintah pusat untuk segera menghapus aplikasi tersebut.
Senada dengan Irwan Prayitno, terdapat pula anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus, yang posisinya pun kontra dalam menyikapi aplikasi terjemahan Injil ke dalam bahasa Minang. Dua tokoh tersebut, yakni Irwan Prayitno dan Guspardi Gaus, memiliki kesamaan latar belakang etnis Minang.
Hal ini identik dengan konsep “Putra Daerah” yang didefinisikan sebagai orang-orang yang bergerak dalam bidang politik menggunakan sarana etnis atau kesukuan dalam mengumpulkan suara dan menanamkan pengaruh kuat untuk melegitimasikan kekuasaannya atas daerah asalnya, baik kaitannya dengan latar belakang biologis (seperti ikatan darah) ataupun juga asal-usul tanah kelahiran mereka.
Isu ini dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti dalam aspek historis, kebudayaan, serta politik. Ketiga aspek tersebut bersinggungan dan saling mengisi satu sama lain.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menggambarkan bagaimanakah aspek historis dan kebudayaan suatu etnis, yaitu Minang, dengan latar belakang sejarah dan falsafah hidup yang dipegang dalam kehidupan bermasyarakatnya, berkaitan langsung dengan perilaku segelintir elite politik dalam mendulang legitimasi di suatu daerah yang dikuasainya yang sarat akan politik identitas.
Latar Belakang Historis
Seperti yang diketahui bersama bahwa masyarakat etnis Minang pada mulanya bukanlah etnis yang menerapkan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakatnya. Dalam perkembangan awal sistem kepercayaan orang-orang yang mendiami pulau Sumatera – dalam hal ini fokusnya etnis Minang – mereka masih menganut kepercayaan animisme.
Pada tahap selanjutnya, masyarakat pulau Sumatera tersebut mengalami sinkretisme dengan masyarakat pendatang yang membawa pengaruh ajaran agama Hindu-Budha. Hal tersebut berdampak pada nenek moyang etnis Minang, di mana mereka mulai beralih menjadi penganut ajaran Hindu-Budha.
Barulah sekitar abad ke-15 sampai abad ke-17, pengaruh Islam mulai masuk dan menguat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau (Hadler, 2010: 31-32). Pada abad tersebut, terdapat sebuah kerajaan yang berdiri di tanah Sumatera Barat dan bercirikan adat Minangkabau yang bernama Kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Pagaruyung saat itu merupakan kerajaan yang bersendikan agama Budha dalam kehidupan kerajaannya. Kerajaan ini mulai melemah pengaruhnya dan akhirnya runtuh dikarenakan peristiwa Perang Paderi yang melibatkan Kerajaan Pagaruyung sebagai pihak Adat dan juga kaum Paderi yang merupakan golongan dari pemuka agama Islam dan juga beberapa ulama beraliran Wahabi.
Perang Paderi (1821-1837) merupakan momen dimana pengaruh dan hegemoni Islam melekat dalam kehidupan masyarakat Minang. Perang Paderi dapat dikatakan sebagai gerakan reformis dari golongan ulama Islam yang resah akan kegiatan-kegiatan kaum Adat yang marak dengan kemurtadan dan juga melenceng dari syariat Islam.
Sebelum datangnya agama Islam, masyarakat Minangkabau memegang filosofi adat basandi alua jo patuik (tiap perbuatan didasarkan pada kelayakan dan norma-norma yang berlaku). Setelah peristiwa Perang Paderi tersebut, kaum Adat dan kaum Paderi mengadakan suatu rekonsiliasi di antara keduanya dan menciptakan konsensus baru.
Konsensus tersebut tertuang dalam Piagam Bukit Marapalam yang melahirkan falsafah hidup baru bagi masyarakat Minang, yakni adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang bermakna bahwa adat Minangkabau berdasarkan kepada aturan-aturan dan ajaran agama Islam, yang bersumber pada Al-Quran dan Hadist Nabi (Yulika, 2017: 1-4). Piagam Bukit Marapalam dapat dimaknai sebagai upaya jalan tengah yang ingin diwujudkan oleh kaum Paderi untuk menyatukan masyarakat Minang dan menyelesaikan konflik antara mereka.
Hal ini berkaitan juga dengan kondisi masyarakat Minang kala itu yang sedang mengalami penjajahan dan berusaha melakukan perlawanan kepada pihak kolonial Belanda. Dapat diartikan bahwa karena memiliki musuh bersama, kedua golongan tersebut sepakat untuk bersatu dan menciptakan konsensus baru, yang barangkali sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Momen tersebut dinilai sarat akan pragmatisme dan telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minang sampai saat ini.
Realita Masyarakat Minang Kini
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan falsafah hidupnya, orang-orang Minang memegang teguh ajaran agama Islam dan menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ketika era penjajahan Belanda, orang-orang Belanda tidak hanya melakukan kolonisasi di wilayah Sumatera barat, tetapi mereka juga melakukan syiar agama, yaitu Nasrani.
Dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang memeluk agama Nasrani membuat banyaknya upaya yang dilakukan untuk memberikan akomodasi dalam penyebaran dan pelaksanaan ajaran Nasrani di Sumatera Barat, salah satunya yaitu membuat Kitab Suci/Alkitab ke dalam terjemahan bahasa daerah, termasuk bahasa Minang.
Penganut agama Nasrani yang merupakan minoritas di daerah Sumatera Barat rawan mengalami tindak diskriminasi dan segala bentuk intoleransi. Pemahaman budaya yang sempit dan terlanjur mengikat kuat masyarakat Minang menyebabkan timbul gesekan-gesekan disintegrasi antara orang Minang dan juga penduduk Sumatera Barat lain yang merupakan penganut agama Nasrani.
Bahasa Minang tidak hanya dituturkan oleh orang-orang asli etnis Minang saja. Yang perlu dipahami bahwa etnis Minang mempunyai kapabilitas dalam berbahasa Minang, tetapi orang yang mempunyai kemampuan berbahasa Minang belum tentu merupakan bagian dari etnis Minang.
Untuk itulah peran misionaris agama Nasrani dalam mengakomodasi jemaatnya agar lebih mudah dalam memahami ajaran agama Nasrani, salah satunya dengan menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Minang. Hal tersebut sejalan dalam ajaran agama Nasrani yang tertuang dalam Matius 28:19-20.
Pokok penggalan kitab tersebut berisi tentang “Amanat Agung” untuk melakukan penyebaran agama hingga ke seluruh dunia. Hal ini bukanlah tindakan melanggar hukum yang ada di Indonesia, bahkan mendapatkan persetujuan dari pihak Kementerian Agama dalam melakukan penerjemahan Kitab ke dalam bahasa daerah.
Namun, hal ini mendapatkan perlawanan dari orang-orang Minang asli yang resah dengan kehadiran ajaran agama lain selain Islam. Yang perlu dipahami di sini bahwa tidak masuk akal jika kita resah dan merasa keimanan serta nilai adat kita dapat luntur akibat dari datangnya pengaruh luar yang datang ke wilayah kita.
Justru hal inilah yang merupakan perwujudan dari adat, budaya, dan agama suatu kelompok menjadi lebih bernilai, bukan karena berpikiran tertutup, sempit, dan berprasangka buruk, namun cenderung lebih terbuka dan dapat hidup harmonis. Isu etnis ini diperparah dengan adanya pemahaman sempit dari segelintir elit politik yang berusaha menanamkan suatu praktik politik identitas pada wilayah yang dinaunginya guna mempertahankan suara konstituennya.
Dari Perwujudan Nilai Budaya hingga Politik Identitas
Berbicara tentang politik yang kaitannya dengan kebudayaan, erat kaitannya dengan konsep politik identitas. Alfaqi (Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, No. 2, Agustus 2015: 112-113) menyebut bahwa politik identitas merupakan sebuah alat politik suatu kelompok, seperti suku, etnis, budaya, agama, atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai wujud perlawanan atau juga sebagai alat untuk menunjukkan jati diri dari kelompok tersebut.
Politik identitas pada dasarnya terjadi karena adanya ketidakadilan atau dapat juga muncul akibat adanya konflik yang melibatkan kelompok satu dengan kelompok yang lain. Hal ini dapat terjadi karena merasa adanya kesamaan karakteristik (etnis) suatu kelompok tersebut.
Politik identitas marak terjadi di wilayah yang majemuk, selama adanya suatu konsep dominasi kelompok mayoritas dan penindasan terhadap minoritas, tak terkecuali di provinsi Sumatera Barat. Provinsi Sumatera Barat yang identik dengan etnis Minangkabau sarat akan praktik politik identitas.
Merujuk pada definisi sebelumnya mengenai politik identitas, praktik tersebut tidak ada salahnya jika tujuannya untuk meraih keadilan dan kesejahteraan bersama. Namun, praktik politik identitas nyatanya sarat akan politik dekstruktif, yang hanya dimanfaatkan sebagai sarana mencari serta mempertahankan kekuasaan.
Etnis Minangkabau dengan segala kekayaan budaya dan adat istiadatnya, amat disayangkan jika dimanfaatkan oleh segelintir elite politik yang berusaha mempolitisasi kekayaan budaya tersebut. Melihat rekam jejak perpolitikan serta falsafah hidup orang Minang, dapat dikatakan bahwa daerah Sumatera Barat sangat mudah menjadi sasaran praktik politik identitas yang buruk.
Kunci praktik politik identitas di Provinsi Sumatera Barat cukup dua poin, yakni agama (Islam) dan etnis (yakni Minangkabau). Kultur masyarakat asli Minangkabau yang berada di Provinsi Sumatera Barat dapat dibilang konservatif, yang sangat memegang teguh ajaran adat tradisional serta ajaran agama Islam.
Hal ini berimbas pada menguatnya politik identitas di tanah Minang, yang kalau kita amati bersama bahwa kriteria pemimpin daerah di Sumatera Barat tidak jauh dari dua poin yang telah disebutkan sebelumnya, yakni agama Islam serta etnis Minangkabau.
Partai Islam dalam Perpolitikan Sumatera Barat
Hegemoni partai Islam di Sumatera Barat mempengaruhi perolehan suara pemilih dalam pemilu, baik Legislatif ataupun Eksekutif. Empat partai besar yang mendominasi perpolitikan di Sumatera Barat berturut-turut antara lain Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat.
Dari empat partai besar tersebut, dua di antaranya merupakan partai yang berlandaskan Islam, yakni PKS dan PAN. Rekam jejak PKS dan PAN sebagai partai baru pasca Reformasi dalam perpolitikan Indonesia mempunyai andil besar, dengan kaderisasi partai yang dilakukan dengan cukup matang.
PAN dengan tokoh sentralnya yakni Amien Rais, yang merupakan tokoh penting dalam terwujudnya Reformasi hingga berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. PKS yang asal-usul pembentukan partainya berawal dari gerakan underground (bawah tanah) para mahasiswa serta cendekiawan muslim yang dilakukan dalam diskusi-diskusi dalam ranah kampus ketika masa Orde Baru.
Seperti yang kita ketahui bersama mengenai Orde Baru, pada rezim ini sifat pemerintahannya otoriter, sehingga corak pemerintahannya sangat membatasi adanya kebebasan berpendapat. Walaupun secara nasional partai ini kalah pamor dalam hal elektabilitas pemilih partainya, namun jika dikerucut dalam lingkup kedaerahan, partai tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata. Pamor partai tersebut sejalan dengan praktik politik identitas yang mempengaruhi kriteria pemilih dalam memilih partai dan kecenderungan politiknya.
Untuk kasus di Sumatera Barat, gubernur mereka, yakni Irwan Prayitno, merupakan kader dari PKS. Sebelum isu terjemahan Injil ke dalam bahasa Minang menguak, tidak ada media yang menyoroti secara khusus mengenai rekam jejak Irwan Prayitno.
Beliau merupakan gubernur Sumatera Barat petahana (incumbent), yang artinya bahwa dia telah memimpin Provinsi Sumatera Barat selama 2 periode, terhitung dari masa jabatan 2010 sampai nanti pada Februari 2021 mendatang. Belakangan ini, pernyataan yang dilontarkan oleh Irwan Prayitno mengenai isu munculnya terjemahan Injil ke dalam bahasa Minang, menimbulkan pertanyaan tersendiri.
Langkah Irwan Prayitno yang mengatasnamakan masyarakat Minang mengenai keberatannya terhadap munculnya terjemahan Injil dalam bahasa Minang dinilai sarat kepentingan politik. Seperti yang dikatakan sebelumnya, walaupun beliau tidak dapat maju kembali dalam Pilkada Sumatera Barat selanjutnya, namun beliau berusaha menanamkan hegemoni partainya sendiri yang menjadi pengusungnya waktu pilkada Sumatera Barat periode sebelumnya.
Sayangnya, banyak tokoh adat fundamental yang mendukung aksi Irwan Prayitno tersebut. Di sisi lain, tidak sedikit pula masyarakat Minang, baik dari provinsi Sumatera Barat ataupun luar Sumatera Barat, yang tidak memiliki rasa keberatan terhadap isu tersebut.
Imbas dari konflik tersebut contohnya yakni pelaporan ke pihak berwajib terhadap salah satu Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI, yaitu Ade Armando, yang mengkritik langkah gubernur Sumatera Barat tersebut. Beliau merupakan salah satu orang yang memiliki darah Minang.
Karena aksinya yang melayangkan kritik terhadap pernyataan Gubernur Sumatera Barat, maka ia dilaporkan oleh tokoh adat yang tergabung dalam Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat ke polisi. Beliau juga terancam sanksi adat, yaitu dibuang identitasnya sebagai orang Minang.
Para elite di negeri ini rasanya sangat anti kritik, sehingga kaum intelektual pun dibuat takut dalam memberi pandangan mereka terhadap suatu isu. Bertindak sedikit bisa kena tindak persekusi.
Menyikapi Isu Intoleransi dan Politik Identitas
Mengutip dari Kymlicka (2001: 250-251) bahwa penting bagi seseorang untuk mengekspresikan identitas budayanya. Keanggotaan dalam suatu kelompok identitas budaya merupakan prasyarat dari pembuatan keputusan moral secara otonom.
Dengan mendasarkan keputusan moralnya kepada suatu identitas kebudayaan, seseorang dapat dikatakan terhormat serta layak untuk dihormati. Kebudayaan sendiri merupakan salah satu aspek “konstitusional” yang membentuk identitas seseorang.
Hal tersebut juga memengaruhi persepsi seseorang mengenai status dan harga dirinya. Tindakan yang dilakukan atas dasar konteks kebudayaan dianggap memiliki makna-makna tambahan (yang baik), karena tindakan tersebut dapat dipandang sebagai pencapaian atau kontribusi pribadi seseorang terhadap pengembangan kebudayaannya.
Keanggotaan dalam suatu kelompok kebudayaan mempromosikan rasa kesetiakawanan serta hubungan yang saling menghormati. Senada dengan pemahaman tersebut, bahwa hubungan saling menghormati tidak hanya dilakukan dalam aspek internal suatu kelompok kebudayaan, namun juga dapat dilakukan terhadap orang-orang di luar kelompok budaya tersebut.
Praktik politik identitas bukanlah suatu hal yang baru dalam dunia politik. Hal ini tidak melanggar konstitusi, asal tujuannya kembali lagi pada pemahaman mengenai memperjuangkan keadilan, hak, dan kesejahteraan suatu daerah atau golongan.
Namun, praktik politik identitas pada masa kini, yang dilakukan oleh para elite politik, cenderung bersifat pragmatis dan hanya untuk mengamankan kekuasaan serta kepentingannya semata. Praktik politik identitas yang mengarah pada fase ekstrem dapat menyebabkan rawannya diskriminasi terhadap minoritas dan makin menguatnya etnosentrisme masyarakat yang merasa dirinya superior dan mayoritas.
Untuk itulah, penting figur elite politik yang dapat menjadi penengah antara mayoritas dan juga minoritas. Figur tersebut tidak hanya menguntungkan pihak mayoritas, namun juga dapat memberi perhatian lebih terhadap minoritas.
Tulisan milik Yonathan Anugerah El Pohan, Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.