Islamophobia semakin meluas di Amerika dan Eropa, akibat adanya rasa takut masyarakat yang menyamakan Islam dengan terorisme. Rasa takut ini menimbulkan tindakan diskriminatif terhadap Muslim semakin memprihatinkan. Munculnya tokoh-tokoh politik anti-Islam dan gerakan populis di dunia yang ikut menyebar fitnah terhadap Islam, semakin menambah antipati.
pinterpolitik.com
PBB – Menanggapi kondisi yang mulai meresahkan ini, Sekertaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres akhirnya menggelar konferensi pers bersama yang dilakukan dengan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir.
Mantan Perdana Menteri Portugal yang secara resmi menjadi Sekjen PBB pada 1 Januari 2017 ini mengatakan, PBB memiliki kekhawatiran terkait masalah yang dapat mempengaruhi perdamaian dan keamanan dunia, seperti terorisme. Tapi bukan berarti harus mengkategorikan bahwa semua Muslim adalah teroris.
Menurut Guterres, Islamphobia dapat menjadi salah satu pemicu terorisme, sebab adanya ekspresi, kebijakan, dan perkataan kebencian yang berbau Islamphobia di berbagai belahan dunia, malah akan menjadi pemicu bagi ISIS untuk meneruskan propaganda Negara Islamnya.
Saat memberikan sambutan perdananya sebagai Sekjen PBB lalu, Guterres telah bertekad menjadikan situasi tahun 2017 lebih aman dan damai. “Perdamaian harus menjadi tujuan akhir seluruh dunia dan perdamaian dunia ini yang harus diperjuangkan oleh PBB selaku induk organisasi yang melindungi seluruh negara di dunia,” katanya kala itu.
Pernyataannya ini dilandasi oleh keprihatinannya terhadap para politisi di dunia yang memanfaatkan isu anti-imigran dan anti-Islam, hanya untuk menambah popularitas di mata pendukungnya. Salah satu contohnya, Politikus Prancis Marine Le Pen yang sangat menentang imigran Muslim, kini berada di posisi puncak menjelang pemilihan Presiden Prancis tahun ini.
Sebuah survei yang dilakukan Pew Research Center mengenai Islamophobia, sentimen negatif warga Eropa terhadap Muslim melonjak di sepanjang tahun 2016. Di Inggris, persentase Islamophobia meningkat hingga 28 persen.
Di Spanyol dan Italia, persentase masing-masingnya adalah 50 persen dan 69 persen, sedangkan di Yunani presentasinya 65 persen. Hungaria menduduki tingkat tertinggi dengan angka 72 persen. Sementara Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, dan Swedia berdasarkan laporan, peningkatannya juga terbilang tinggi. (Berbagai sumber/A15)