“Kasih sayang dan toleransi adalah kartu identitas orang Islam.” ~Ahmad Dahlan
PinterPolitik.com
[dropcap]L[/dropcap]impahan kekayaan alam, tradisi, dan budaya, kerap menjadi kebanggaan bagi rakyat dan para pemimpinnya.
Kita punya 17.000 pulau loh… Terus kita punya ratusan bahasa. Lihat juga nih kita punya buanyak banget tempat-tempat indah berserta tradisi dan budayanya yang memukau. Dan seterusnya… Tapi….
Huffttt, kebanggan tersebut bisa dibilang hanya di bibir saja. Rasa cinta itu hanya manis di mulut saja. Kalau melihat lebih dalam lagi ke dalam hati masing-masing, apa benar kita menginginkan perbedaan? Apa benar kita bangga? Coba lihat lebih dalam. Atau mau coba dibantu hipnotis Uya Kuya dulu? Ehhh…
Jadi gini gaes, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan hasil survei terkait intoleransi politik di tengah masyarakat muslim dan non-muslim. Tahu hasilnya apa? Pahit gaes, ternyata tingkat intoleransi umat Islam lebih tinggi daripada umat non-muslim.
Bagaimana bisa hal yang selama ini dikatakan sebagai kebanggaan ternyata dibenci. Ckckck…
Katanya Bhineka Tunggal Ika, tapi nggak suka ada orang potensial menjadi pemimpin karena beda agama. Gimana? Share on XSurvei LSI memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat kita yang beragama Islam tidak menginginkan pemimpin yang non muslim.
Begini ku jadi teringat saat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hendak menjadi Gubernur. Gejolak di masyarakat begitu kental. Panas. Gerah. Isu-isu rasisme bertebaran, menumbuhkan bibit kebencian pada perbedaan yang selama ini ‘katanya’ kita banggakan.
Survei tersebut dilakukan selama bulan Agustus 2018 terhadap 1.520 responden. Peneliti Senior LSI Burhanuddin Muhtadi mengatakan, populasi survei yakni warga negara indonesia yang sudah berumur 17 tahun keatas atau yang sudah punya hak pilih. Margin of error diperkirakan sebesar 2,6 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Peneliti senior LSI Burhanudin mengatakan, bahwa sejak 2010 hingga 2017, intoleransi religius-kultural masih stagnan. Sementara intoleransi dalam politik meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Kata Burhanudin, dalam demokrasi, suara mayoritas memang penting. Tapi sedihnya, demokrasi sendiri yang menghilangkan tirani mayoritas.
Yenny menilai, jika masyarakat tidak hati-hati untuk menciptakan kondisi yang sehat, maka intoleransi akan meningkat.
Kalau menurut Profesor bidang Pemerintahan Universitas Washington James L. Gibson, di negara demokratis, intoleransi politik meningkat akibat pemikiran tertutup dan perasaan terancam.
Waduh, kalau teori ini benar, kenapa kita harus takut? Toh kita sudah pernah membuktikan kalau kita bisa bersatu di atas perbedaan. Jangan terlalu nganulah… (E36)