HomePolitikHari Anti Hukuman Mati Sedunia: Sebuah panggilan untuk Indonesia

Hari Anti Hukuman Mati Sedunia: Sebuah panggilan untuk Indonesia

Oleh: Moazzam Malik, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN dan Timor Leste

Hari ini, lebih dari 142 negara di seluruh dunia telah menghentikan penggunaan  hukuman mati. Negara-negara tersebut melakukan ini karena mereka  tahu bahwa penerapan hukuman mati tidak efektif.


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ada tanggal 31 Mei 2018, seorang yang tidak bersalah menghembuskan nafas terakhirnya. Orang itu bernama Zulfiqar Ali. Saya tidak pernah bertemu dengan Ali.

Tapi saya bisa merasakan tragedi yang menimpanya. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat internasional, Reprieve adalah pihak pertama yang memberitahukan saya tentang kasus Ali. Kasus ini mengingatkan saya pada kasus yang hampir sama, yang dialami oleh salah seorang warga negara Inggris, Timothy Evans.

Zulfiqar Ali adalah seorang warga negara Pakistan. Ia adalah bapak dari enam orang anak. Dia meninggal saat menunggu putusan grasi. Permohonan grasi tersebut diajukan sekitar tiga bulan sebelum meninggalnya Ali, menyusul permintaan pemerintah Pakistan kepada Presiden Jokowi saat berkunjung ke Islamabad pada bulan Januari 2018.

Kesehatan Ali telah memburuk – para dokter menjatuhkan vonis bahwa umur Ali hanya tinggal beberapa bulan lagi. Zulfiqar Ali ingin dikenang sebagai manusia yang merdeka, dikelilingi oleh keluarga tercintanya.

Hari ini, lebih dari 142 negara di seluruh dunia telah menghentikan penggunaan hukuman mati. Share on X

Ali ditangkap pada tahun 2004 berdasarkan pernyataan dari kenalannya. Kenalan Ali tersebut ditangkap dengan barang bukti heroin seberat 300 gram. Orang itu  menuduh Ali sebagai pemilik barang haram tersebut.

Setelah itu, kenalannya, Ia mencabut kembali pernyataannya karena disampaikan  di bawah tekanan. Kenalannya juga mengakui bahwa Ali tidak ada hubungannya dengan narkoba tersebut. Ali ditahan di rumahnya dan pada saat penahanan dipaksa untuk menandatangani sebuah “pengakuan”.

Di pengadilan, Ali menarik kembali pengakuannya dengan alasan bahwa ia tidak bersalah dan menyatakan bahwa ia menandatangani pengakuan itu di bawah tekanan.

Reprieve melaporkan bahwa tidak ada lagi bukti lain. Tidak ada bukti forensik. Tidak ada keadaan yang memungkinkan Ali untuk terlibat dalam kasus itu. Namun pengadilan memvonis Ali bersalah dan menjatuhkan hukuman mati walaupun jaksa hanya mengajukan tuntutan 20 tahun penjara. Seluruh upaya hukum selanjutnya menemui jalan buntu.

Baca juga :  Bandara Kedua Bali: Prabowo Tepati Janji?

Pada tahun 2010 Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan dibuka penyelidikan terhadap kasus ini. Mereka yang terlibat penyelidikan ulang mengatakan bahwa Ali tidak bersalah.

Namun kajian itu tidak dipublikasikan. Kajian itu juga tidak ditindaklanjuti. Kepala tim penyelidik, Profesor Hafid Abbas telah menulis surat ke Presiden Jokowi pada bulan September 2016 untuk meminta persetujuan grasi atas Ali. Namun Ali masih tetap dipenjara.

Pada bulan Juli 2016, Ali masuk dalam daftar tahanan yang akan dieksekusi mati. Ia dipindahkan ke Nusakambangan bersama dengan 13 orang lainnya yang juga disiapkan menghadapi regu tembak. Setelah mendengar tentang kasus, Presiden ke-3 RI BJ Habibie mengirimkan surat ke Presiden Jokowi meminta agar nyawa Ali dapat diselamatkan.

Pada detik-detik terakhir, saat Ali sudah dipersiapkan menghadapi regu tembak, dan telahmembaca doa terakhir serta mengucapkan perpisahan kepada keluarganya,Ali bersama dengan 9 orang lainnya dikembalikan ke selnya, tanpa alasan apapun.  Malam itu ia lolos dari hukuman mati.

Pihak berwenang menjanjikan pengkajian ulang kasus-kasus mereka yang tidak jadi dihukum mati, namun sampai sekarang belum ada berita apapun tentang   pengkajian tersebut di ranah publik.

Ali terus menderita di tengah sanksi hukuman matinya. Perlakuan terhadap Ali sebelum sidang pertamanya telah menyebabkan cedera dan luka dalam yang membahayakan hidupnya. Selama bertahun-tahun kondisi Ali semakin memburuk.

Pada bulan Desember tahun lalu, Ali mendapat informasi bahwa ia mengidap penyakit kanker hati stadium 4 dan hidupnya tinggal beberapa bulan lagi. Ali meminta grasi pada bulan Maret 2018. Permohonannya tidak memperoleh jawaban. Zulfiqar Ali meninggal dunia pada tanggal 31 Mei 2018. Sampai akhir hayatnya, Ali tetap menyatakan bahwa ia tidak bersalah. Keluarganya terus berkampanye untuk pengampunan bagi Ali.

Kasus Ali mengingatkan saya pada sebuah kesalahan pada proses peradilan yang berujung pada perdebatan besar di Inggris mengenai hukuman mati. Timothy Evans, dihukum gantung pada tahun 1950 atas pembunuhan terhadap istri dan anak bayinya di rumah keluarganya. Pengakuan Timothy diperoleh di bawah tekanan, sama seperti Ali.

Baca juga :  Gibran: Like Father Like Son

Tiga tahun setelah eksekusi Timothy, pemilik rumah yang ditempati Timothy dan keluarganya, mengaku bahwa ia telah membunuh keluarga Timothy dan empat perempuan lainnya. Seorang pria tak bersalah, yaitu Timothy Evans, telah dibunuh atas kejahatan yang tidak dilakukannya.

Protes keras dan debat publik  menghasilkan sebuah moratorium penggunaan hukuman mati di Inggris pada tahun 1965. Semenjak saat itu, tidak pernah ada lagi eksekusi mati di Inggris.

Berdasarkan pengkajian putusan-putusan hukum, kami mengetahui saat ini bahwa apabila Inggris meneruskan penggunaan hukuman mati, maka akan ada puluhan orang tidak bersalah lainnya yang akan kehilangan nyawa mereka. Inggris secara resmi menghapuskan hukuman mati pada tahun 1998.

Hari ini, lebih dari 142 negara di seluruh dunia telah menghentikan penggunaan  hukuman mati. Negara-negara tersebut melakukan ini karena mereka  tahu bahwa penerapan hukuman mati tidak efektif.

Riset dan pengalaman internasional dari negara-negara yang sebelumnya memberlakukan hukuman mati menunjukkan kepada kita bahwa hal tersebut tidak mengurangi tingkat kejahatan. Tidak ada bukti yang mendukung gagasan bahwa hukuman mati memiliki efek jera.

Dan apabila disertai dengan risiko kesalahan dalam proses peradilan – baik di negara maju ataupun negara berkembang, baik di Indonesia, Inggris atau dimanapun –  sangatlah jelas bahwa penggunaan hukuman mati menurunkan derajat kita sebagai manusia.

Dalam mengenang Zulfiqar Ali dan Timothy Evans serta ratusan lainnya yang bernasib sama di seluruh dunia, di Hari Anti Hukuman Mati Sedunia ini saya menyerukan kepada Indonesia untuk bergabung bersama kami dan 142 negara lainnya di dunia untuk menghentikan kekejaman ini.

Tulisan Moazzam Malik, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN dan Timor Leste pernah dimuat oleh Republika.co.id 


“Disclaimer: Opini ini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...