Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dipecat Menristek dikti karena diduga melindungi kasus plagiasi dan jual-beli ijazah. Lantas apa kabar dengan para politisi lulusan sana?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]D[/dropcap]unia akademia memang bukan dunia yang akrab dengan kebanyakan orang. Hanya segelintir saja yang mampu memasuki, menekuni, dan keluar dengan selamat dari dalamnya. Di samping modal kapital yang kencang, otak dan mental yang tahan banting juga dibutuhkan supaya bisa ‘keluar’.
Tapi begitu berhasil mendapat gelar akademik dan bergelut di sektor publik atau kepegawaian, niscaya hormat, kepercayaan dan semua nilai tambah lain otomatis terengkuh. Perkataan apapun yang dikeluarkan seolah bisa dipercaya dan pasti ilmiah, tak peduli bagaimana ngaco dan ngawurnya omongan. Gelar seolah mengisyaratkan kehandalan dan prestise. Pokoknya dengan gelar tinggi, semua beres, Bos!
Saking pentingnya gelar, bahkan di acara pernikahan ikut disebut-sebut. Padahal tak ada yang bisa jamin pernikahan langgeng dari gelar akademik, bukan? Kalau iya, wah sudah tak tahu lagi bagaimana tiap orang rebutan berlomba-lomba mencatut gelar di belakang namanya.
Nyatanya, gelar akademik tak bekerja apapun untuk pernikahan, namun sebaliknya di dunia politik. Contoh terbaru bisa dilihat dari kasus di UNJ di mana sang rektor, Pr. Dr Djaali, harus dipecat Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan karena ketahuan terlibat dalam jual-beli ijazah dan gelar.
Dari lulusan master dan doktor Unj yang terkenal ‘bodong’ itu, ada nama-nama politisi besar yang diketahui jadi lulusannya. Sebut saja Wiranto, Sylviana Murni, Nur Alam (Mantan Gubernur Sulawesi Selatan), dan Abdul Hadi Jamal (anggota komisi DPR dari fraksi PAN). Bung Nur Alam dan Hadi Jamal inilah yang diketahui tertangkap karena kasus korupsi.
Kalau sudah begini, jadi apa gunanya gelar? Toh, dia tak menyelamatkan dari jeratan hukum dan korupsi. Gelar juga sama sekali tak jamin seseorang punya tingkah yang patut diteladani. Walaupun tentu saja, ini tak bisa diaplikasikan ke semua orang. Ada yang benar-benar mendapat gelar karena ia ingin menjadi ahli dan betulan kompeten.
Ini yang tak disadari oleh politisi atau siapapun mereka yang memburu gelar akademik. Di balik gelar akademika itu, terletak tanggung jawab politik juga, bukan hanya sekedar prestis atau urusan kehormatan saja.
Percuma punya gelar akademik mentereng tapi tak peduli isu sosial dan politik. Lebih memalukan lagi, malah ikut-ikutan menipu rakyat untuk korupsi. Dengan demikian, langkah Menteri Nasir sudah tepat memberhentikan oknum rektor UNJ tersebut. Sebab, si rektor ini sudah gagal memenuhi tanggung jawab sosial politik sebagai pemilik gelar dan juga akademisi! Tak jauh beda dengan paa politisi itu.
Apa yang sudah dilakukan rektor UNJ dan para politisi yang lulus dari sana, tak bisa dimaafkan semudah Afi Nihaya Faradisa mengucap, “I am so sorry, I am nor perfect and I will never be,”, ketika ia ketahuan plagiat. Lha, yang dibutuhkan orang-orang terhomat itu memang bukan kesempurnaan, tapi tanggung jawab politik! (A27)