Ilmuwannya bohong, politisinya koruptor, media bodong, semua kopong. Kasihan Indonesiaku.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]I[/dropcap]lmuwan Dwi Harsono tampaknya akan menjadi bulan-bulanan media beberapa hari ke depan. Siapa yang tak tahu kasusnya itu? Ia melakukan klaim terhadap beberapa prestasi. Mulai dari mengaku sebagai sarjana lulusan Tokyo Institute of Technology Japan, punya 5 hak paten di bidang teknologi, mengembangkan teknologi pesawat tempur, hingga mengaku sebagai satu-satunya orang non-Eropa yang masuk ke dalam riset Kementerian Pertahanan Belanda.
Sebetulnya, yang gawat tak hanya kebohongan Mas Dwi ini saja. Tetapi juga acara televisi Mata Najwa dan KBRI Belanda yang makan mentah-mentah pengakuan Dwi. Bisa dikatakan, lembaga media dan pemerintahan Indonesia ikut-ikutan membangun kultur banal.
Kenapa? Ya, sebab demi pemberitaan ‘spektakuler’ dan ‘membanggakan’, verifikasi ke universitas tempat Mas Dwi belajar,TU Delft, seakan malas dilakukan. Padahal, kirim surat atau email ke pihak universitas untuk verifikasi kontribusi saintifik Mas Dwi, dibalasnya nggak lama, kok. Apalagi hanya untuk tanya Om Google. Dijamin, dalam satu jam bisa ketahuan semuanya.
Jadi yang disayangkan dari peristiwa ini, tak hanya perangai Mas Dwi-nya saja, hampir semua orang memang gila pengakuan dan gelar. Tapi lembaga media dan perwakilan pemerintahan Indonesia di Belanda, juga tak lebih baik, karena malas konfirmasi. Nah, dari sana malunya bisa dibagi bertiga, deh.
Kalau sudah begini, makin panjang saja daftar keprihatinan kita, sebagai warga Indonesia. Sudahlah politisinya korup, pelajar mudanya bohong, media dan lembaga pemerintahannya ikutan bodong. Duh, biyung.
Tapi, pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini banyak. Selain jangan bohong, apalagi berbohong soal prestasi akademik, jangan malas baca dan riset juga. Dampaknya memang tidak langsung terasa, tapi fatal. Mas Dwi kini harus rela bermandi malu dan hujatan, titel penghargaan ditarik dan jalannya untuk lulus ditahan. Sementara Mata Najwa dan KBRI Belanda disangka menyebar info palsu. Ketiganya repot bikin klarifikasi di sana-sini.
Supaya aman, lebih baik bohong saja soal belum punya pacar padahal sudah, karena tak ada sangkut pautnya dengan akademik. Yah, paling resikonya hanya diputusin atau dianggap kegenitan. Nah lho, tapi kok sama saja memalukannya. (A27)