Kalau PLN mau fair maka seharusnya proyek IPP Jawa 1 tidak langsung diterminasi begitu saja, tetapi melalui proses.
pinterpolitik.com – Selasa, 10 Januari 2017.
JAKARTA – Sejumlah alasan diduga menjadi penyebab kenapa megaproyek pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) IPP Jawa 1 dengan nilai investasi sekitar USD 2 miliar atau setara Rp 26 triliun itu belum bisa berjalan, bahkan terkesan dipaksakan akan dibatalkan.
Direktur Eksekutif 98 Institute Sayed Junaidi Rizaldi mengatakan, sejak awal ketika megaproyek itu diluncurkan, pihak pemberi pinjaman (lenders) mengindikasikan bahwa proyek itu tidak memenuhi persyaratan bank alias tidak bankable.
“Perlu diketahui, ketentuan yang tercantum dalam Request For Proposal (RFP) atau ketentuan tender dan perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/ PPA) sudah cacat sejak lahir,” kata dia di Jakarta, Selasa (10/1).
Sayed mengungkapkan, berdasarkan temuan lenders, sedikitnya paling tidak ditemukan lebih dari 90 isu di mana syarat dan ketentuan (term and condition) tidak sesuai dengan logika bisnis serta terjadinya inkonsistensi.
“Megaproyek PLTGU Jawa 1 bisa dikatakan tidak allign (tidak nyambung) sehingga proyek tidak bisa diterapkan (workable) bahkan tidak bankable,” jelas dia.
Menurut Sayed, kalau PLN mau fair maka seharusnya proyek IPP Jawa 1 tidak langsung diterminasi begitu saja, tetapi melalui proses. Apabila first-rank bidder tidak berhasil menandatangani PPA, maka PLN sebagai penyelenggara tender ikut aturan. “Bila memiliki niatan baik untuk meng conduct tender secara sehat, seharusnya bertanya ke stand by bidder, yaitu second rank bidder, atau pun third rank bidder,” ungkap Sayed.
Nah, apabila standby bidder tidak sanggup, baru diputuskan retender atau kembali ke first bidder dengan memperhatikan kompleksitas proyek IPP Jawa 1. Sayed menegaskan bahwa dengan kecerdasan Emosional (EQ) yang dimiliki, PLN seharusnya tahu betul apa yang harus dilakukan.
Dia menambahkan, kasus PLTGU Jawa 1 mengulang kegagalan PLN dan melalui konsultan independen PT Ernst and Young Indonesia ketika mengumumkan pembatalan kepada peserta tender pada 18 April 2016 untuk proyek PLTGU Jawa 5.
Saat itu PLN menolak melakukan tender ulang dan menunjuk langsung anak usaha PLN yaitu PT Indonesia Power sebagai pelaksana proyek. Alasan jika tender ulang khawatir tanggal operasi komersial (Commercial Operating Date/COD) proyek akan meleset dari target awal di 2019.
“Ada hal fundamental mengenai kompetensi PLN dan konsultannya (advisor) dalam penyelenggaran tender,” tegas dia.
Menurut Sayed, dengan dipilihnya konsorsium Pertamina, PLN dan Ernst and Young Indonesia sebenarnya tahu persis bahwa konsorsium tersebut yang sebenar mampu mengerjakan megaproyek PLTGU Jawa 1.
“Sementara dua konsorsium lainnya, yakni Adaro-Sembcorp serta Mitsubishi ditengarai tidak memenuhi persyaratan teknis unit terminal regasifikasi terapung (floating storage regasification unit/ FSRU) yang dipersyaratkan PLN,” jelas dia.
Dia menegaskan, hanya konsorsium Pertamina yang dinilai mampu mengatasi isu-isu bankability dan teknis komersial lainnya untuk megaproyek PLTGU Jawa 1.
Seperti diketahui, peserta tender dalam megaproyek itu antara lain konsorsium Pertamina-Marubeni-Sojitz serta konsorsium Mitsubishi Corp-JERA-PT Rukun Raharja Tbk-PT Pembangkitan Jawa Bali.
Kemudian, konsorsium PT Adaro Energi Tbk-Sembcorp Utilities PTY Ltd, dan konsorsium PT Medco Power Generation Indonesia-PT Medco Power Indonesia-Kepco-dan Nebras Power. PLTGU Jawa 1 akan dibangun dengan kapasitas 2 x 800 megawatt (MW). (Dtkcom/S13)