Site icon PinterPolitik.com

Gaduh Medsos dan Perlunya Literasi Media

Gaduh Medsos dan Perlunya Literasi Media

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara ketka menjelaskan mengenai teknologi satelit. (Foto: Setkab)

Suasana media sosial (medsos) kini tampaknya semakin gaduh akibat kontestasi politik dan dinamikanya. Guna menghalau penyalahgunaan medsos, literasi media diperlukan oleh masyarakat.


PinterPolitik.com

Kebebasan berpendapat adalah isu yang kini banyak diperjuangkan sekaligus isu yang dinilai amat dilematis. Di satu sisi, Indonesia memiliki sejarah kelam mengenai kebebasan secara umum, termasuk kebebasan berpendapat.

Hal itu terjadi akibat seperangkat sistem yang dibuat oleh mantan presiden Soeharto dan rezim otoriternya yang berkuasa selama 32 tahun. Akibat terbesarnya adalah dibungkamnya pers dan para aktivis yang dinilai mengancam ketenteraman di pemerintahan.

Namun, di sisi lain, Indonesia telah menganut sistem demokrasi, di mana kebebasan berpendapat jadi salah satu pilar penyangganya. Seiring waktu berjalan dan teknologi turut berkembang, lahirlah media sosial sebagai tempat yang memfasilitasi kebebasan berbicara.

Dewasa ini, teknologi mengaburkan batas antara yang benar dan yang salah, termasuk dalam hal berpendapat. Terlebih, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menghasilkan medium komunikasi baru yang bernama media sosial.

Media sosial memiliki akses tak terbatas yang dapat diakses oleh siapa saja. Selama ia telah terdaftar sebagai pengguna, maka ia bebas untuk berselancar di dalamnya.

Kebebasan berpendapat telah diatur dalam Universal Declaration of Human Rights pasal 19, yang menjelaskan hak setiap manusia untuk mencari, mendapatkan, dan mengeluarkan pendapat melalui berbagai medium tanpa paksaan dan campur tangan siapapun. Deklarasi tersebut lahir sebagai bentuk jaminan hak asasi manusia, berkaca pada kasus kekejaman Nazi di Perang Dunia, dan sebagainya.

Namun, zaman terus berkembang hingga melahirkan bentuk dunia baru melalui lahirnya internet. Kebebasan berpendapat seperti buah simalakama yang bila tak dilakukan akan mengekang kebebasan berekspresi tetapi akan menghasilkan arus informasi yang tak terbendung bila digencarkan.

Media sosial ibarat sebuah gerbang yang tak berpenjaga. Bebasnya akses dan kecenderungan para pengguna untuk dapat menuliskan dan membagikan apa saja melalui media sosial menjadi penyebabnya.

Beberapa pertanyaan kemudian pun timbul. Bagaimana media sosial digunakan dalam politik? Lalu, apakah dampak penggunaannya terhadap masyarakat?

Medsos dalam Politik

Media sosial sering kali disalahgunakan oleh para oknum tak bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi-informasi yang tidak benar. Bandingkan dengan media massa, yang memiliki sosok penjaga gerbang (gatekeeper).

Gatekeeper di media massa berfungsi dalam menyaring dan memilah informasi yang akan disiarkan atau ditampilkan oleh media tersebut. Hal itulah yang menyebabkan informasi di media massa kebanyakan merupakan informasi yang valid.

Media sosial memungkinkan para aktor politik untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Penggunaan media sosial sebagai saluran kampanye dewasa ini kerap dipilih para politisi.

Sayangnya, kemudahan akses dan kemudahan untuk menyebarkan informasi yang ditawarkan media sosial, bisa disalahgunakan untuk meluncurkan strategi kampanye yang merugikan. Contohnya adalah kampanye yang bermuatan kabar bohong, baik dengan tujuan menaikkan nama sebuah golongan, maupun untuk menjatuhkan nama lawan.

New Scientist dalam tulisan Michael A. Peters yang berjudul Education in a Post-truth World menjelaskan bahwa perpaduan kebebasan berbicara dengan media sosial menghasilkan berubahnya hak kebebasan bicara menjadi kemampuan untuk mengatakan dan menyebarkan hal apapun, tidak peduli betapa aneh atau berbahayanya. Tak ayal, fenomena media sosial turut menyumbang peran besar dalam konstruksi realitas politik hari ini.

Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump merupakan salah satu politisi yang memilih media sosial sebagai saluran untuk melancarkan strategi politik dan meraih simpati publik. Gaya bicaranya yang cenderung ceplas-ceplos di media sosial disebut sebagai ciri khas sekaligus daya pikatnya. Melalui akun Twitter pribadinya, sering kali Trump secara terang-terangan mengejek para lawan politiknya. Misalnya, mengejek Hillary Clinton dengan sebutan “crooked Hillary.”

Permasalahan kebebasan berpendapat di media sosial mencakup lapisan yang amat kompleks. Dalam tulisannya yang berjudul Is Social Media Neutral?, Rangga Kala Mahaswa (2017) menyampaikan media sosial mampu menyulut sentimen-sentimen agama dan ras yang dimanfaatkan sebagai agenda politik untuk memantik kelompok kecil yang mampu menciptakan kegaduhan dan menimbulkan konflik horizontal.

Hal tersebut berkaitan dengan perilaku Trump dalam bermedia sosial. Selain mengejek lawan politik, Trump kerap mengatakan hal-hal yang menyulut sentimen kelompok tertentu. Contohnya, Trump secara terang-terangan menyampaikan ketidaksukaannya pada kelompok muslim, mengatakan orang Meksiko sebagai kriminal, dan menyerukan ungkapan diskriminatif pada berbagai kelompok minoritas.

Peters (2017) menambahkan, hal itu berkaitan dengan gaya kampanye Trump yang utamanya didasarkan pada daya tarik emosi tanpa rincian kebijakan spesifik. Koneksi emosionalnya dengan publik dibangun melalui perkataan-perkataan emosional dan aspirasi pribadi yang tak tersampaikan sebelumnya.

Penyalahgunaan media sosial untuk strategi politik juga turut terjadi di Indonesia. Perhelatan Pemilihan Presiden 2019  secara umum telah membagi masyarakat Indonesia ke dalam dua kubu, yaitu kubu pendukung Jokowi dan kubu pendukung Prabowo. Sering kali antar kubu itu saling menyebarkan informasi bohong yang bertujuan menjatuhkan kubu lawannya.

Seorang pengguna Facebook bernama Umar Khalid misalnya, menyebarkan hoaks berupa unggahan ijazah Jokowi yang dikatakannya sebagai ijazah palsu. Di sisi lain, tersebar hoaks juga mengenai leluhur Prabowo lah yang dahulu menangkap Pangeran Diponegoro. Dua contoh kasus di atas merupakan bentuk serangan antar kubu dengan motif kepentingan.

Tidak adanya proses gatekeeping di media sosial memungkinkan sirkulasi informasi berjalan amat cepat. Informasi sekecil apa pun bisa dengan mudah disebar dan diterima oleh masyarakat di seluruh dunia. Hal terpenting yang menjadi permasalahan ialah substansi informasi yang beredar di media sosial.

Literasi adalah Kunci

Ibarat konser musik tanpa penjaga di gerbang masuknya, lautan manusia akan berbondong-bondong masuk dengan cara yang jauh dari kata tertib dan aman. Alhasil, informasi yang beredar di media sosial tidak seluruhnya bisa dipercaya. Terlebih, informasi yang datang dari pihak-pihak yang berkepentingan. 

Pemaparan-pemaparan di atas membawa pada sebuah titik terang. Kebebasan berpendapat yang dimiliki tiap individu, memiliki batasan pada kebebasan orang lain. Jangan sampai kebebasan pribadi mengganggu kebebasan orang lain.

Dalam hal fenomena di media sosial, jangan sampai apa yang dikatakan atau disebarkan merugikan pihak atau pengguna lain. Fenomena Trump dan sifatnya yang frontal dalam menuliskan pesan di media sosial, serta dua kubu pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden di Indonesia, menunjukkan buruknya dampak kebebasan berpendapat bila tak disertai dengan etika dan kesadaran untuk tak mengganggu kebebasan orang lain.

Kebebasan berpendapat di era globalisasi harus disertai dengan edukasi yang memadai, baik moral maupun kognisi. Khususnya perilaku bermedia sosial, wajib disertai dengan pemahaman mengenai literasi media. Menurut Sonia Livingstone dalam tulisannya yang berjudul Media Literacy and the Challenge of New Information and Communication Technologies, kini literasi media tak hanya berfokus pada media cetak dan media audiovisual tetapi berkembang pada internet dan media baru.

Literasi media merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat pesan dalam berbagai bentuk. Keempat komponen tersebut saling menguatkan sebagai sebuah proses. Kemampuan membuat konten membantu lahirnya kemampuan untuk menganalisis yang berujung pada kecakapan dalam pemanfaatan internet.

Literasi media adalah kunci agar masyarakat tak menyalahgunakan media sosial untuk kepentingan yang merugikan sekitar, seperti pelampiasan hasrat berbicara yang tak tersampaikan di dunia nyata. Kebebasan berpendapat bila tak disertai rambu-rambu dan pihak-pihak yang mematuhi rambu-rambu tersebut akan kian hilang esensinya.

Tulisan milik Selma Kirana Haryadi, Mahasiswi Jurnalistik di Universitas Padjadjaran

Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version