Menanggapi berbagai gejolak politik di berbagai negara yang disebut mengakibatkan melambatnya perekonomian global, menariknya Sri Mulyani menitikberatkan persoalan tersebut terhadap besarnya peran laki-laki dalam pengambilan keputusan politik. Di satu sisi, kritik tersebut memiliki pembenaran dari sudut pandang teori feminisme liberal. Namun, di sisi lain, kritik tersebut justru mengundang kritik lanjutan mengingat ada pula peran politisi perempuan yang justru memantik terjadinya gejolak politik hingga perang.
PinterPolitik.com
Pada Juni 2016 lalu, setelah sebelumnya menjabat sebagai Direktur Pelaksana di Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawati akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia sekaligus menerima tawaran Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Menteri Keuangan (Menkeu).
Pada saat itu, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa alasannya untuk menerima tawaran tersebut adalah untuk memperkuat kebijakan fiskal dan menyelesaikan berbagai “pekerjaan rumah” yang ada, seperti pengentasan kemiskinan, memperbaiki kesempatan kerja, dan mengatasi isu kesenjangan.
Namun, alih-alih memperkuat kebijakan fiskal, performa Sri Mulyani justru dinilai mengecewakan oleh berbagai pihak, khususnya terkait adanya tren pertambahan utang luar negeri, pun dalam konteks melemahnya kurs rupiah terhadap dolar.
Salah satu pihak tersebut adalah mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli. Terbaru, ekonom kawakan tersebut mengkritik keras kebijakan Sri Mulyani yang menarik utang luar negeri pada awal 2020 sebesar Rp 63,3 triliun yang menurutnya dilakukan untuk melakukan penguatan kurs rupiah terhadap dolar.
Tidak hanya persoalan pertambahan utang ataupun melemahnya kurs rupiah, kritik terhadap Sri Mulyani juga banyak dilayangkan karena adanya stagnansi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran lima persen.
Akan tetapi, alih-alih mengevaluasi kebijakan fiskal yang selama ini diterapkan, Sri Mulyani justru kerap menyalahkan faktor eksternal, seperti perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok sebagai penyebab dari perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Terbaru, Sri Mulyani bahkan menyebutkan gejolak politik yang terjadi di berbagai negara adalah penyebab dari perlambatan ekonomi global, di mana itu berimbas pada ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,02 persen pada 2019.
Menariknya, atas berbagai gejolak politik yang disebutnya sebagai akar dari perlambatan ekonomi global, Sri Mulyani memberikan pandangan kritis bahwa hal tersebut terjadi karena besarnya peran laki-laki sebagai pembuat kebijakan politik.
Ia misalnya mencontohkan perang dagang AS-Tiongkok yang terjadi karena kedua pemimpin negara tersebut adalah laki-laki – sekalipun mungkin ada unsur candaan dalam pernyataannya itu.
Tandasnya, berbagai gejolak politik tersebut terjadi karena kurangnya representasi perempuan dalam pembuatan kebijakan politik ataupun ekonomi. Pertanyaannya, benarkah pandangan kritis Sri Mulyani tersebut?
Feminisme Liberal dan Representasi Perempuan dalam Politik
Melihat argumentasinya, pandangan Sri Mulyani tersebut dapat dipahami sebagai teori feminisme liberal. Itu adalah teori feminis yang menekankan bahwa keadilan berbasis gender dapat terwujud apabila perempuan berotonomi secara politik. Artinya, feminisme liberal menekankan pada pentingnya representasi perempuan dalam politik, khususnya dalam membuat kebijakan politik.
Atas adanya fakta bahwa representasi perempuan di parlemen berbagai negara tidak lebih dari 30 persen, pernyataan Sri Mulyani yang menyebutkan gejolak politik global terjadi karena kurangnya peran perempuan sebagai pembuat kebijakan politik sepertinya bisa dibenarkan.
Tidak hanya sekali ini saja, sebelumnya, tepatnya pada April 2019 lalu, Sri Mulyani juga pernah mengutip hasil penelitian perusahaan konsultan manajemen multinasional, McKinsey yang menyebutkan pengurangan ketidaksetaraan gender dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, mengacu pada fakta sejarah, kritik feminisme liberal Sri Mulyani tersebut nampaknya bisa melahirkan perdebatan. Pasalnya, terdapat pula politisi perempuan yang justru berperan dalam menciptakan gejolak politik global karena mendukung perang.
Pertama, terdapat nama Perdana Menteri perempuan pertama Inggris, Margaret Thatcher yang banyak dikritik karena berbagai kebijakan domestiknya dinilai sangat merugikan. Tidak hanya itu, sejarah juga mencatat Thatcher karena keputusannya yang justru memilih jalur perang melawan Argentina atas dalih menyelamatkan Kepulauan Falkland.
Kedua, terdapat nama mantan Perdana Menteri Israel, Golda Meir yang pada Desember 1970 justru menolak proposal Menteri Pertahanan Israel, Moshe Dayan agar Israel mundur 20 mil dari kanal, sehingga mengurangi motivasi Mesir untuk berperang. Singkat cerita, penolakan tersebut telah menyulut terjadinya perang antara Israel dengan Mesir, suatu putusan yang disesali Meir di kemudian hari.
Ketiga, terdapat nama mantan Senator AS, Hillary Clinton yang disebut-sebut sebagai salah satu aktor kunci yang mendorong intervensi North Atlantic Treaty Organization (NATO) terhadap Libya yang berujung pada kematian Muammar Khadafi pada 2011 lalu.
Keempat, terdapat nama Presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri yang sosoknya kerap dikritik, misalnya terkait penjualan berbagai aset negara kepada investor, seperti divestasi saham PT Indosat. Tidak hanya itu, Ketua Umum PDIP tersebut juga disorot negatif oleh berbagai pihak karena diduga terlalu mengintervensi kebijakan yang ingin dikeluarkan oleh Presiden Jokowi yang kini berkuasa.
Merangkum pada keempat politisi perempuan tersebut, di mana mereka berperan dalam pembuatan kebijakan politik karena memiliki pengaruh yang besar, bukankah itu menjadi sangkalan atas asumsi Sri Mulyani yang menyebutkan gejolak politik terjadi karena laki-laki?
Lakukan Blame Game?
Selain memeriksa argumentasi feminisme liberal Sri Mulyani, kita juga perlu untuk memeriksa asumsi alumnus Universitas Indonesia tersebut yang menyebutkan perang dagang AS-Tiongkok adalah salah satu faktor eksternal yang memicu perlambatan ekonomi dalam negeri.
Jika asumsi Sri Mulyani benar, maka mestilah negara lain akan terkena dampak negatif atas perang dagang. Namun, kembali melihat data yang ada, asumsi Sri Mulyani tersebut sepertinya juga keliru.
Pasalnya, Noah Smith dalam tulisannya Look Who’s Winning the U.S.-China Trade War, dengan mengutip pernyataan ekonom Brad Setser justru menyebutkan bahwa perang dagang telah mengakibatkan akselerasi bagi pertumbuhan ekonomi Vietnam.
Lalu ada pula tulisan Max Sato di South China Morning Post yang menyebutkan bahwa Jepang sejatinya tidak terlalu terdampak atas perang dagang yang tengah terjadi.
Di Indonesia sendiri, menurut ekonom Chatib Basri kondisinya tidak seperti Malaysia dan Singapura yang merasakan dampak yang besar dari perang dagang. Menurutnya, Indonesia justru mendapatkan dampak yang relatif kecil.
Dengan kata lain, patut dicurigai bahwa pernyataan Sri Mulyani yang menyalahkan faktor eksternal ataupun memberikan kritik feminisme liberal sepertinya adalah upaya dalam melakukan blame game atau permainan “kambing hitam”.
Nasir Khan dalam tulisannya Political Blame Game, menyebutkan bahwa tujuan dari permainan kambing hitam adalah untuk menyalahkan ataupun melemahkan posisi pihak lain atas terjadinya suatu masalah.
Menurut Khan, permainan tersebut biasanya berlangsung dalam dua tahap.
Pertama, diangkatnya suatu masalah kontroversial, yang kemudian diikuti dengan perdebatan sengit terkait alasan dan siapa yang bertanggung jawab atas masalah tersebut.
Kedua, hal tersebut dilakukan untuk mengalihkan perhatian publik dengan cepat ke narasi alasan dan tanggung jawab yang dikeluarkan.
Kedua tahap tersebut, nampak jelas dalam cara Sri Mulyani melempar narasi terkait mengapa terjadi pelambatan ataupun stagnansi atas pertumbuhan ekonomi Indonesia, di mana ia menyalahkan faktor eksternal seperti perang dagang ataupun representasi perempuan di politik.
Atas narasi yang telah dilemparkan, terang saja kemudian membuat berbagai pihak menyoroti narasi yang dikeluarkan, di mana itu mengurangi intensitas dalam memeriksa bahwa jangan-jangan buruknya performa ekonomi Indonesia justru adalah faktor internal atau kebijakan fiskal yang memang diambil oleh Sri Mulyani.
Yang jelas, tak ada yang tahu pasti motif Sri Mulyani. Namun, satu hal yang pasti, mengacu pada sejarah ataupun data yang ada, pernyataan sang menteri yang kerap dijuluki Srikandi tersebut nampaknya bisa ditepis dengan cukup meyakinkan. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.