“Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam”. ~ WS Rendra
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]alam kehidupan yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat tentu dapat disalurkan melalui medium apapun dan dalam bentuk apapun. Tapi ada catatan, tak bersinggungan dengan unsur SARA, selebihnya sih bebas – bebas aja.
Contohnya, seperti duo Fadli dan Fahri saja, keduanya punya hobi mengkritik. Di samping tugasnya sebagai pimpinan DPR yang mengawasi jalannya pemerintahan, wajar – wajar saja sih bila kerjaannya cuma cuap – cuap begitu.
Nah kalau mengupas mengenai gaya kritiknya duo pimpinan DPR ini ternyata ada pembeda yang cukup mencolok. Weleeeeh weleeeeh.
Kalau Fahri Hamzah ia memiliki gaya mengkritik menggebu – gebu dan ceplas- ceplos. Alhasil banyak yang pihak yang terperangah bahkan tersinggung. Ya kalau jadi kritikus yang berapi – api sih wajar aja bila ada serangan balik, weleeeeh weeleeeeh.
Apa mungkin gayanya yang ceplas – ceplos itu jadi alasan kenapa PKS memecatnya? Mungkin ya, mungkin juga tidak, ahhh syudaaahlah.
Beda halnya dengan Fadli Zon. Loyalis Prabowo Subianto ini memiliki gaya kritik yang unik dan berbeda dengan Fahri.
Kalau dari intensitas sih, Fadli juga sering sekali mengkritik pemerintahan Jokowi – JK tapi dengan bentuk yang berbeda. Weeewww, gimana tuh bentuknya? Weleeeeh weleeeeh.
Ketika Fadli sudah mulai gusar dan gundah dengan kinerja pemerintah ataupun tindak – tanduk Presiden Jokowi, ia langsung berlagak layaknya seorang pujangga ulung yang sedang mementaskan dirinya di atas panggung.
Fadli lebih suka mengkritik dengan menuliskan puisinya, weleeeeh weleeeh. Kritikus yang romantis ya, wkwk. Tapi kira – kira objek dari kritik Fadli itu ngerti ga ya makna dari puisinya, upppss entahlah weleeeh weleeeh.
Saat peristiwa Ketua BEM UI yang mengacungkan kartu kuning kepada Presiden Jokowi pada perayaan Dies Natalis UI kemarin, Fadli memihak kepada Ketua BEM UI. Lah, apapun yang terjadi ga mungkin juga kan Fadli mendukung Jokowi, weleeeeh weleeeh.
Puisi berjudul ‘Sajak Peluit Kartu Kuning’ bukan buah karya pertama Fadli, bahkan sebelumnya pun Fadli selalu berlagak seperti pujangga ulung. Karya lainnya, ‘Tiga Tahun Kau Bertahta’ dan ‘Menonton Kedunguan’.
Mungkinkah Fadli menulis puisi pujian untuk Jokowi? (Z19)