HomeRagamE-KTP, Dampaknya pada Politik

E-KTP, Dampaknya pada Politik

Wiranto mengatakan, kegaduhan pasti ada, hanya skalanya jangan sampai berlebihan, sehingga mengganggu aktivitas kita sebagai bangsa. Jangan juga mengganggu mekanisme kerja yang  sudah terjalin antara pemerintah dan DPR.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]P[/dropcap]royek kartu tanda penduduk elektronik, atau lebih populer dengan sebutan e-KTP, “diperiksa” di meja hijau. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, mulai memeriksa dugaan korupsi dalam proyek e-KTP ini dengan dua terdakwa.

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum menyebut banyak nama yang diduga menerima “fee” dari proyek ini. Sejak Rabu, daftar yang bersumber dari dakwaan jaksa itu diberitakan secara komplet oleh media massa. Beberapa nama yang disebut langsung bereaksi, yang intinya membantah menerima “fee”.

Dua orang yang jadi terdakwa adalah Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman.

Dalam dakwaan, antara lain disebutkan, sekira Juli hingga Agustus 2010, DPR RI mulai membahas RAPBN TA 2011. Salah satunya soal anggaran proyek e-KTP. Andi Agustinus alias Andi Narogong, selaku pelaksana proyek, beberapa kali melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota DPR RI.

Kemudian disetujui anggaran senilai Rp 5,9 triliun dengan kompensasi, Andi memberikan “fee” kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri. Akhirnya, disepakati 51 persen dari anggaran digunakan untuk proyek, sementara 49 persen dibagi-bagikan ke Kemendagri, anggota DPR, dan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.

Harapan Menko Polhukam

Beberapa kalangan menyampaikan komentar mengenai persidangan Proyek e-KTP beserta “kegaduhannya”. Di antaranya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, mengemukakan, kasus dugaan korupsi ini  menimbulkan kegaduhan. Ia pun berharap kegaduhan tersebut tidak mengganggu mekanisme kerja yang sudah terjalin antara pemerintah dan DPR.

Ditemui wartawan di Jakarta, Kamis, Wiranto mengatakan, kegaduhan pasti ada, hanya skalanya jangan sampai berlebihan, sehingga mengganggu aktivitas kita sebagai bangsa. Jangan juga mengganggu mekanisme kerja yang  sudah terjalin antara pemerintah dan DPR.

Menko Polhukam meminta semua pihak agar menyerahkan persoalan hukum kasus ini kepada lembaga peradilan dan tidak perlu gaduh. Ia tak ingin kegaduhan tersebut mengganggu aktivitas masyarakat.

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Jimly Asshiddiqie, percaya proses hukum akan dapat mengungkap dan menuntaskan kasus dugaan korupsi ini.

Baca juga :  KPK Era Kabinet Merah Putih

“Kita percayakan saja ke proses hukum,” ujar Jimly seusai menghadiri diskusi publik di Jakarta, Kamis.

Ia tidak merasa khawatir jika nantinya akan muncul intervensi dari DPR terhadap KPK. Misalnya, dengan cara merevisi undang-undang KPK. Sebab untuk menetapkan suatu undang-undang akan muncul beragam pendapat dari berbagai pihak. Perdebatan itu pun sedianya dilakukan terbuka.

Menurut Jimly, terungkapnya sejumlah nama yang diduga terlibat dalam kasus tersebut tentu mencoreng nama baik Indonesia di kancah internasional.

Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zainal Arifin Mochtar, berpendapat proses hukum pada kasus korupsi e-KTP harus terus berjalan meski menyeret sejumlah politisi ternama. Zainal pun meyakini proses hukum tak akan menimbulkan kegaduhan.

“Proses hukum pada kasus korupsi e-KTP enggak bikin gaduh. Yang bikin gaduh ya mereka yang melanggar hukum dengan cara korupsi,” kata Zainal saat ditemui di Jakarta, Kamis.

Ia juga mengingatkan  proses hukum tidak boleh diintervensi oleh kepentingan politik. Sebab, sudah semestinya hukum bekerja untuk menegakkan keadilan, tanpa harus memperhitungkan kegaduhan yang ditimbulkan. KPK tidak perlu mengkhawatirkan ihwal keterlibatan nama-nama besar dalam dugaan korupsi yang kerugiannya diperkirakan mencapai Rp 2,3 triliun itu.

Lebih lanjut, Zainal mengatakan, nama-nama politisi yang dibacakan dalam dakwaan belum tentu menerima suap. Sebab, nama-nama tersebut baru sebatas disebut oleh tersangka dan belum tentu menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadi. Bisa saja sejumlah nama ternyata mengembalikan uang tersebut ke KPK dalam jangka waktu 30 hari, sesuai aturan pengembalian gratifikasi.

Namun, Zainal mengatakan, hal itu tak berlaku bagi beberapa anggota DPR yang disebut KPK telah mengembalikan uang yang diduga hasil korupsi e-KTP. Sebab, mereka mengembalikan uang tersebut pada saat isu korupsi e-KTP menguat dan itu sudah melewati 30 hari sejak mereka menerima uang.

“Jadi, pengembalian uang itu hanya untuk mengurangi masa hukuman saja dan itu nanti bergantung pada pertimbangan hakim. Kalau untuk nama yang sudah disebut di dakwaan, ya biar proses pengadilan yang membuktikan kebenarannya,” katanya.

Dampak E-KTP pada Politik

Pegangan KPK Proses Hukum

Sebelumnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, dalam pemeriksaan proyek e-KTP ini KPK akan tetap berpegangan pada proses hukum. KPK tidak mempertimbangkan dampak politik atau serangan balik dari pihak tertentu terkait sejumlah nama yang tercantum dalam  dakwaan.

Baca juga :  For The Needs of Menko

“Untuk dampak politik, kami tentu tidak menghitung itu, karena fokus KPK adalah menangani kasus di jalur hukum,” kata Febri di gedung KPK, Jakarta.

Ia menyebutkan, dalam persidangan akan diuraikan kronologi skandal yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 2,3 triliun, termasuk peran sejumlah nama dalam dakwaan. Namun,  tidak semua nama yang disebut merupakan pelaku korupsi dalam kasus e-KTP.

“Tentu tidak terhindarkan penyebutan nama pihak tertentu dan peran masing-masing, meskipun belum tentu semuanya merupakan pelaku dalam perkara ini,” tegas Juru Bicara KPK.

Ia juga mengatakan, secara umum, dua terdakwa, Irman dan Sugiharto, diduga bersama-sama dengan pihak lain melakukan dugaan korupsi. Pihak lain itu bisa berasal dari kementerian maupun legislatif.

Ketua KPK Agus Rahardjo sebelumnya telah menyebutkan ada nama-nama besar yang akan diungkap pada sidang perdana, KPK pun berharap tidak ada guncangan politik setelah sidang perdana digelar. Selama penyidikan kasus ini, setidaknya ada 23 anggota DPR dipanggil untuk diperiksa. Dari jumlah tersebut, hanya 15 anggota DPR yang memenuhi panggilan penyidik KPK.

Berharap Sikap Tenang

Proses hukum yang memeriksa dugaan korupsi pada proyek e-KTP sudah dimulai dan tentu harus dilanjutkan sesuai dengan proses persidangan suatu perkara tindak pidana korupsi. Pimpinan KPK juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi “serangan balik”, terutama dari pihak-pihak yang disebutkan dalam dakwaan.

Dalam hal ini sulit dicegah munculnya “kegaduhan politik” mengingat beberapa nama yang disebut dalam dakwaan adalah politikus atau figur  terkenal. Namun kita berharap kegaduhan maupun guncangan politik tidak sampai berkepanjangan. Biarlah semuanya dihadapi dengan sikap tenang dan diserahkan pada prosedur hukum, sebagaimana disarankan oleh berbagai kalangan.

Kita mengamati dan menantikan lanjutan dari persidangan kasus dugaan korupsi yang tergolong besar ini hingga selesai dengan tuntas ditandai dengan adanya putusan yang berkekuatan pasti. Mungkin saja masih muncul “isu besar” dari persidangan atau dari pernyataan KPK sendiri, tapi kita berharap supaya tidak sampai menambah kegaduhan. (Kps/Sumber lain/E19)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

More Stories

Infrastruktur Ala Jokowi

Presiden juga menjelaskan mengenai pembangunan tol. Mengapa dibangun?. Supaya nanti logistic cost, transportation cost bisa turun, karena lalu lintas sudah  bebas hambatan. Pada akhirnya,...

Banjir, Bencana Laten Ibukota

Menurut pengamat tata ruang, Yayat Supriatna, banjir di Jakarta disebabkan  semakin berkurangnya wilayah resapan air. Banyak bangunan yang menutup tempat resapan air, sehingga memaksa...

Trik Ridwan Kamil Tangani Hoax

Ia juga mengimbau humas di lembaga pemerintahan untuk ikut dalam gerakan menghantam hoax, karena mereka juga berkepentingan, jangan-jangan ada berita hoax yang merugikan institusinya. PinterPolitik.com BANDUNG...