HomePolitikEkonomi Politik Smartphone Jepang vs Korsel

Ekonomi Politik Smartphone Jepang vs Korsel

Oleh Adyuta Banurasmi Balapradhana, mahasiswa di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Kecil Besar

Selain Amerika Serikat dan Tiongkok, perang dagang ditengarai tengah terjadi antara dua negara Asia Timur lainnya, yakni Jepang dan Korea Selatan. Perang dagang ini bisa saja berdampak pada industri dan pasar ponsel pintar (smartphone) global.


PinterPolitik.com

Di tengah-tengah ingar-bingarnya perang dagang yang terjadi antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) yang belum berakhir, muncul perang dagang lain yang melibatkan dua negara sekutu terdekat AS di Asia Timur, yaitu Jepang dan Korea Selatan (Korsel).

Perang dagang ini diawali dengan pengumuman dari pemerintah Jepang pada awal Juli lalu yang akan memperketat ekspor tiga bahan kimia ke Korsel. Jenis bahan-bahan kimia yang dimaksud adalah polimida, asam fluorida dan fotoresis. Ketiga bahan itu merupakan bahan baku yang sangat diperlukan untuk industri elektronik untuk membuat tampilan layar (display screen) dalam ponsel pintar atau komputer, serta microchip dalam barang-barang elektronik.

Selain memperketat regulasi terhadap eksportir barang-barang kimia, Jepang — dikutip dari situs resmi Kementerian Perdagangan, Ekonomi, dan Industri Jepang – telah mencoret Korsel dari daftar negara yang mendapatkan perlakuan istimewa dalam hubungan dagang pada 2 Agustus lalu.

Perlakuan istimewa ini sebelumnya membebaskan produk-produk Korsel dari inspeksi ketat sehingga dapat mempercepat proses persetujuan atas masuknya barang-barang yang diimpor dari negara-negara dalam daftar tersebut.

Hambatan-hambatan dagang Jepang itu akhirnya dibalas oleh sebagian masyarakat Korsel dengan aksi pemboikotan atas barang-barang impor dan pariwisata Jepang. Aksi agar tidak berlibur ke Jepang ini dinilai telah mengakibatkan penurunan signifikan atas jumlah turis di negara berlambang matahari tersebut – hingga menyentuh angka terendah.

Dengan situasi perang dagang di antara keduanya yang semakin memanas, beberapa pertanyaan pun timbul. Latar belakang apa yang mendasari perang dagang tersebut? Lalu, bagaimana dampaknya secara luas?

Penyebab Politik

Beberapa sumber menilai bahwa penyebab perang dagang antara kedua negara ini merupakan penolakan Jepang untuk membayar gantirugi kepada Korsel atas kejahatan perang yang dilakukanny semasa pendudukan Semenanjung Korea pada tahun 1910-1945 – meliputi kerja paksa, perbudakan, dan pemerkosaan. Sebelumnya, pengadilan tertinggi Korsel pada tahun lalu menuntut Jepang atas pembayaran ganti-rugi tersebut.

Meski begitu, latar belakang lain tetap dapat menjadi alasannya. Lindsay Maizland dalam tulisannya di Council of Foreign Relations (CFR) menjelaskan bahwa perang dagang ini dapat disebabkan oleh perbedaan pendapat kedua negara dalam mengendalikan stabilitas regional, katakanlah dukungan Korsel atas pelonggaran sanksi terhadap Korut yang ditentang Jepang.

Baca juga :  PHK Rising, Gimana Menaker Yassierli?

Dalam perspektif hubungan internasional, Korsel cenderung menggunakan pendekatan liberal dalam melakukan politik luar negerinya terutama dengan Korut dan Tiongkok. Sementara, Jepang berpandangan realis terhadap Korut dengan memandangnya sebagai ancaman karena beberapa uji coba Korut selalu melintasi wilayah Jepang dan mengancam nyawa warganya.

Hubungan antara kedua Korea semakin membaik sejak ditandantanganinya Deklarasi Panmunjom pada tahun lalu – secara resmi mengakhiri konflik antara kduanya dan mempercepat denuklirisasi semenanjung Korea meskip Korut masih melakukan tes rudal pada Agustus 2019 lalu sebagai bentuk protes atas bergabungnya Korsel dalam latihan militer gabungan dengan AS.

Tiongkok juga dianggap berpeluang untuk menjadi mitra baru Korsel dalam kerja sama pertahanan dan keamanan. Sementara, Jepang lebih melihat Tiongkok sebagai ancaman. Belum lagi, Korsel dan Jepang juga sempat berseteru mengenai insiden – turut melibatkan Rusia – yang terjadi di wilayah Dokdo atau Takeshima yang disengketakan.

Selain itu, hubungan kedua Korea yang membaik dijadikan sebagai alasan oleh Jepang untuk memperketat ekspor ketiga bahan kimia yang penting dalam industri semikonduktor yang sangat penting dalam industri elektronik yang merupakan industri penopang ekonomi Korsel.

Alasan pengetatan regulasi tersebut adalah tuduhan pemerintah Jepang terhadap Korsel yang tidak mengawasi penggunaan bahan-bahan kimia produksinya secara ketat dan memberikan akses kepada Korea Utara (Korut) untuk memilikinya dengan tujuan militer – meski telah dibantah oleh pemerintah Korsel.

Meski terdapat banyak kemungkinan penyebab, perang dagang ini tentunya membawa dampak tertentu. Kira-kira, apa saja dampak perang dagang Jepang-Korsel ini?

Smartphone Jadi Mahal?

Korsel sebagai importir bahan-bahan baku kimiawi merasa sangat dirugikan. Hal ini mengingat bahan-bahan tersebut merupakan bahan baku industri semikonduktor dan Jepang merupakan negara penghasil terbesar bahan-bahan kimia tersebut. Setidaknya, 70 persen polimida dan fotoresis, serta 90 persen asam fluorida diproduksi di Jepang.

Perang dagang yang dimulai dengan pengetatan regulasi ekspor di Jepang yang memperpanjang waktu inspeksi menjadi 90 hari sebelum pengiriman membuat rantai distribusi bahan baku display screen dan microchip menjadi terganggu. Akibatnya, produsen-produsen microchip dan display screen terbesar di Korsel seperti Samsung, LG, dan SK Hynix terpaksa mencari penyuplai baru selain Jepang dalam waktu kurang lebih tiga bulan setelah regulasi pengetatan dikeluarkan.

Baca juga :  IHSG Down, 9 Naga to the Rescue?

Dampak dari perang dagang Korsel dan Jepang terhadap industri smartphone yang diprediksi akan mengakibatkan pada kenaikan harga smartphone disebabkan oleh sangat bergantungnya produsen-produsen smartphone – seperti, Apple, Huawei, Samsung – kepada microchip buatan Korsel

Microchip merupakan komponen inti dan krusial dalam smartphone yang berfungsi untuk mengolah data dan melakukan proses komputasi. Sebagian besar produksi microchip dilakukan di tiga produsen terbesar di Korsel, yaitu Samsung, SK Hynix, dan LG. Ketiga produsen  asal Korsel tersebut memproduksi 61 persen kebutuhan microchip dunia dan merupakan penyuplai terbesar bagi Apple, Huawei, Samsung.

Jika ketiga produsen itu tidak kunjung menemukan penyuplai bahan-bahan baku kimiawi guna memproduksi microchip dan display screen, maka harga microchip akan meningkat. Akibatnya, kenaikan harga smartphone juga menghantui pasar.

Ketiga produsen terbesar tersebut sedang melakukan berbagai usaha untuk mengamankan suplai ketiga bahan baku tersebut, salah satunya yang dilakukan Samsung dengan salah satu anak perusahaan penyuplai mereka di Belgia. Sementara, SK Hynix memilih untuk meminta perusahaan penyuplai ketiga bahan baku tersebut dari Jepang untuk membangun fasilitas produksinya di Tiongkok untuk menghindari kemungkinan yang jauh lebih buruk.

Hal yang sama juga diikuti oleh produsen-produsen bahan kimiawi dari Jepang agar memudahkan dalam pengiriman ke Korsel tanpa menunggu ijin selama 90 hari melalui upaya pemindahan fasilitas produksinya ke negara ketiga. Selain membeli bahan baku dari anak perusahaan penyuplai di negara lain di luar Jepang, para produsen juga mulai mendiversifikasi penyuplai agar memungkinkan produksi tidak terganggu.

Pada akhirnya, perusahaan semikonduktor atau microchip, serta perusahaan penyuplai bahan baku asal Jepang tentu saja tidak kehabisan akal dalam mengakali hal tersebut supaya rantai suplai bahan baku tetap terjaga dan harga smartphone tetap stabil. Meski begitu, ancaman kenaikan harga smartphone akibat naiknya ongkos produksi dari dampak perang dagang antar kedua negara tetap menghantui selama perang dagang antar kedua negara tetap berlanjut.

Tulisan milik Adyuta Banurasmi Balapradhana, mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Trump Alami “Warisan” yang Sama?

Kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS) jadi sorotan dunia. Mungkinkah ada intrik mendalam yang akhirnya membuat AS terpaksa ambil langkah ini?

Didit The Peace Ambassador?

Safari putra Presiden Prabowo Subianto, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo atau Didit, ke tiga presiden RI terdahulu sangat menarik dalam dinamika politik terkini. Terlebih, dalam konteks yang akan sangat menentukan relasi Presiden Prabowo, Joko Widodo (Jokowi), dan Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa “Tunduk” Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan “tunduk” kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

More Stories

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo – Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...