“Semua yang dimulai dengan rasa marah, akan berakhir dengan rasa malu.” – Benjamin Franklin
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]residen membuat rakyat miskin? Hmmm, ini tuduhan semata atau justru fakta yang terjadi di Indonesia?
Entah apa yang mendasari pandangan Eggi Sudjana. Tapi katanya, miskinnya itu dilihat salah satunya dari bagaimana kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Indonesia sudah dieksploitasi oleh asing, sementara masyarakat Indonesia harus nyaman gigit jari.
Emasnya punya kita, SDAnya punya kita, ehhh diolahnya orang asing, akhirnya jadi milik asing. Kita hanya dapat recehannya saja, itu juga udah bersyukur, uhuuukkk uhuuukkkk.
Tapi tentunya kritik pedas yang dilayangkan Eggi ini sontak membuat pihak Istana seolah kebakaran jenggot dan melakukan klarifikasi.
Weeiittss, kalau Istana menganggap pernyataan itu tak benar seharusnya tak perlu klarifikasi. Kalau sudah muncul klarifikasi berarti ada kepanikan. Nah kalau ada kepanikan otomatis ada sesuatu yang sedang ingin disembunyikan, hmmm, apaan tuh? Entahlah.
Tapi kalau dilihat dari sudut lainnya, setidaknya Eggi sudah sukses memantik amarah dari penguasa. Hadeuuuhh, coba kalau penguasa tak terlalu reaktif kan jadi ga banyak diperbincangkan publik. Serba salah ya kalau jadi penguasa?
Ya sebenernya engga juga sih, kalau orientasi penguasa untuk kesejahteraan rakyat berarti ga mungkin dong ada dominasi kemiskinan? Artinya suara minor begini juga harus diperhatikan.
Penguasa kok malah reaktif begitu ya, kan kalau begini jadi pertanyaan besar, maksudnya apa coba malah mengklarifikasi? Klarifikasi ini memang untuk melakukan pembelaan atau ingin menjernihkan persoalan?
Debat tebal sih kalau mau melihat argumentasi penguasa dan para kritikus, hmmm, tapi memangnya apa yang dijadikan sandaran untuk menilai seberapa banyak orang miskin, dan seberapa parah kemiskinan itu?
Kalau hanya akrobat angka dan data, semua lembaga survei pun pandai berakrobat, makanya wajar kalau banyak yang skeptis. Kalau Eggi bilang rakyat semakin miskin dan penguasa mengelak, lalu kata rakyat sendiri gimana? Jangan main klaim aja dong, tanya rakyatnya.
Makanya kalau mempertontonkan dialektika antara penguasa dan kritikus itu jangan dilandasi emosi dan amarah, tapi harus bersandar pada apa yang dirasakan oleh rakyat.
Sudah tau oposisinya suka nyinyir dan asal njeplak, eh penguasanya malah reaktif karena terpancing amarah dan langsung melakukan pembelaan.
Upppss, gini nih kalau amarah sudah memuncak, hufftt. Tapi kalau rakyatnya bilang merasakan kemiskinan. Penguasa mau apa? Pasti malu kan? Apalagi, kemiskinan kan memang sudah ada sejak lama sebelum pemerintahannya aja, weleeh weleeeh. (Z19)