Wacana amendemen kelima UUD 1945 semakin deras diperbincangkan, baik dalam lembaga legislatif maupun oleh publik. Kira-kira, implikasi apa saja yang dapat muncul bila “kotak pandora” amendemen ini digulirkan?
PinterPolitik.com
Setelah anggota dan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR, suatu isu besar berembus di parlemen terkait wacana amendemen UUD 1945 yang kelima.
Ketika Presiden dan Wakil Presiden terpilih masih belum dilantik, wacana ini kian panas dan terlanjur masuk dalam dinamika politik nasional. Sebenarnya isu amendemen UUD 1945 kelima ini bukan kali pertama berembus.
Sebelumnya, di tahun 2015 dan 2016, telah terjadi banyak usulan terkait hal ini. Ini bisa dikatakan sebagai “bola liar” pertama dalam parlemen pasca Pemilu 2019 yang diperhitungkan oleh banyak partai dan politisi untuk dikaji dan direalisasikan.
Situasi dan Dinamika Parlemen
Kongres V PDI Perjuangan (PDIP) di Bali menghasilkan sebuah sikap politik. Salah satunya adalah mendorong amendemen terbatas pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan hal tersebut dan akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Hasto, MPR sebagai lembaga permusyawaratan harus menetapkan haluan negara berupa Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Alasannya adalah agar laju pembangunan tidak berjalan sporadis.
Wakil Ketua MPR Fraksi PDIP Ahmad Basarah juga menyatakan hal serupa. Partainya bersepakat mengenai amendemen hanya terbatas pada mengubah pasal 3 UUD 1945 terkait kewenangan MPR. Dalihnya adalah untuk menambah kewenangan MPR dengan menambah dan menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Di sisi lain, Ketua Fraksi Partai Demokrat di MPR – Benny K. Harman – menolak wacana amendemen tersebut. Ia mempertanyakan political reasoning amendemen yang dinilai belum cukup kuat.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa di era Reformasi, negara sudah mempunyai GBHN dengan nama yang berbeda, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN). Senada dengan Partai Demokrat, fraksi lain seperti PKS dan Golkar hingga saat ini pun turut menolak wacana amendemen ini.
Adapun respons berlainan dari Partai Gerindra dan Partai Nasional Demokrat (NasDem) kompak mengutarakan usulan untuk mendukung wacana amendemen ini terjadi. Beberapa waktu lalu, Prabowo Subianto dan Surya Paloh menyatakan sikap yang tampaknya seirama mendukung amendemen secara menyeluruh.
Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon mengkritisi sikap ketum Partai Gerindra dan ketum Partai NasDem tersebut. Ia meminta bahwa Prabowo dan Surya harus membicarakan lebih dalam terkait usulannya untuk amendemen menyeluruh UUD 1945. Ini harus dilakukan demi meluruskan pandangan masyarakat dan meyakinkan bahwa amendemen ini memang murni tujuannya membuat bangsa lebih baik di masa depan.
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) hingga kini sudah menugaskan Badan Pengkajian MPR RI untuk mengkaji dan meneliti urgensi amendemen kelima ini. Ia ingin menyerap aspirasi masyarakat terlebih dahulu untuk memastikan amendemen ini murni untuk kebaikan dan masa depan bangsa.
Lebih lanjut lagi, ia mengatakan bahwa isu atau wacana ini tidak akan menjadi “bola liar” di perpolitikan nasional. Ia menegaskan bahwa perlu ada harmonisasi di antara fraksi-fraksi partai di MPR agar semuanya terakomodir aspirasinya.
Menuju Realisasi Nyata dan Dampaknya
Perbedaan respons dari elite politik ini menegaskan bahwa ada intensi dan arah maksud berbeda dalam amendemen UUD 1945 yang kelima ini. Di sisi lain, PDIP seolah ingin mengembalikan romantisme dengan GBHN seperti era Orde Baru.
Inilah yang menimbulkan polemik di masyarakat terkait penguatan fungsi MPR – dikhawatirkan akan menimbulkan kembali hal-hal yang “gila.” Isu perubahan mekanisme pemilihan Presiden misalnya, menciptakan perdebatan dan kekhawatiran di ruang publik jika Presiden kembali dipilih MPR.
Tidak cukup sampai situ, pada Bab III Pasal 7 UUD 1945 yang berisi tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya satu periode menjabat selama lima tahun, diusulkan untuk direvisi menjadi satu periode selama tujuh tahun atau bahkan tiga kali lima tahun untuk Presiden. Ini tidak hanya membuat persepsi publik keliru, melainkan juga menimbulkan kecurigaan publik akan hadirnya rezim pemerintahan yang otoriter muncul kembali.
Perpanjangan masa jabatan ini tentunya akan melahirkan sebuah era baru dalam sejarah perpolitikan di dunia. Hal ini menuai banyak resistensi karena dianggap sebagai upaya rezim untuk melanggengkan masa kekuasaan lebih lama.
Soal isu amendemen ini sebenarnya adalah hal yang wajar. Sebagaimana diatur oleh konstitusi, untuk perubahan Undang-Undang Dasar diatur dalam pasal 37 UUD 1945, ini adalah kewenangan MPR untuk mengusulkan perubahan dan materi muatan UUD. Lagi pula, wacana amendemen UUD 1945 ini masih simpang siur di parlemen.
Permasalahannya adalah sebelum amendemen, GBHN dikeluarkan oleh MPR berupa produk hukum yang bernama “TAP MPR.” TAP MPR waktu itu masih bersifat regeling (umum dan abstrak) dan beschikking (individual dan konkret). Setelah terjadinya amendemen, produk hukum MPR (TAP MPR) hanya bersifat beschikking, dan hanya ada beberapa TAP MPR yang bersifat umum, ini bisa dilihat pada TAP MPR No. 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
Jika memang seperti apa yang dikatakan Hasto Kristiyanto dan Ahmad Basarah hanya membutuhkan GBHN saja terkait amendemen, itu artinya otomatis TAP MPR harus dikembalikan bersifat regeling, yaitu mengikat secara umum. Jika produk hukum MPR mengikat secara umum, otomatis MPR harus menjadi lembaga tertinggi negara dan bila ini benar-benar terjadi maka harus ada perubahan regulasi konstitusional.
Mekanisme pembuatan GBHN harus dilakukan dengan prinsip checks and balances. Jikalaupun nanti ada GBHN, harus dibentuk lembaga yang berwenang untuk mengujinya secara formil (formele toetsingrecth) dan materil (materiil toetsingrecht) agar GBHN bisa secara ideal dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan demi keadilan sosial.
“Bola panas” kian menjadi “liar” karena masyarakat terlanjur mendengar ingar bingar yang terjadi di kancah politik nasional. Inilah “kotak pandora” wacana amendemen UUD 1945 yang kelima. Pro dan kontra sudah menghiasi layar kaca dan media. rakyat sudah bersiap dengan segudang kecurigaan dan prasangka terhadap elit politik yang bermain dalam persilangan kepentingan kekuasaan.
Hal yang paling dikhawatirkan adalah ini sebagai akal-akalan elite politik yang berkuasa untuk melanggengkan tampuk kuasa. Bisa pula GBHN dikembalikan asalkan pada saat proses politik berlangsung tidak menyebabkan maksud ini berubah arah atau bahkan meluber kemana-mana karena dianggap aji mumpung.
Dalam setiap proses politik, terdapat teori sistem politik yang mengatakan bahwa, output kebijakan bisa saja tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Asumsi ini berasal dari. teori black box yang mana terjadi persilangan kepentingan dari aktor politik internal ataupun eksternal pemerintahan yang membuat kebijakan yang ada berseberangan dengan dukungan dan tuntutan rakyat atau, jika berpikir lebih ekstrem, bisa saja partisipasi rakyat tidak digubris.
Inilah yang ditakutkan karena menurut teori elite Pareto ketika seorang atau sekelompok orang sudah masuk dalam pemerintahan, ia lebih kuat dari hukum yang mengaturnya sehingga dengan mudah ia mengotak-atik hukum yang ada untuk menguntungkannya, yakni “the power have intention to corrupt.”
Harapan dan Yang Terabaikan
Yang jelas, jika memang wacana amendemen ini direalisasikan, haruslah berdasarkan aspirasi rakyat. Sebagai warga negara, kita harus terus mengawal proses yang ada lewat partisipasi politik seperti kritik dan evaluasi terhadap tingkah elite politik agar tak salah jalur.
Menurut ahli teori pembangunan politik Lucian Pye, amendemen UUD 1945 ini termasuk ke dalam teori pembangunan politik di bidang regulatif. Oleh karena itu, partisipasi dan mobilisasi sosial rakyat ditentukan dari hasil amendemen nanti jika memang benar terjadi.
Konstitusi merupakan hal esensial untuk membangun peradaban dan budaya politik masyarakat. Jika tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat, maka akan timbul resistensi.
Zaman kian modern. Kognitif warga kian meningkat dan merata. Rakyat kian mafhum akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di “kotak pandora” ini.
Mungkin, GBHN belum perlu dihidupkan kembali. Cukuplah janji-janji manis sewaktu masa kampanye yang dijadikan “haluan” untuk ditepati dan dilaksanakan karena rakyat tidak butuh banyak reformasi konstitusional yang sukar dipahami dan rakyat butuh kesejahteraan.
Menurut teori filsafat politik John Rawls dalam bukunya yang berjudul The Theory of Justice, negara yang ideal adalah mengutamakan pembangunan di tiga hal, yaitu rumah sakit, pendidikan, dan suprastruktur hukum. Rumah sakit dan pendidikan yang berkualitas dan gratis akan menimbulkan sumber daya manusia yang baik. Ini adalah investasi kemanusiaan.
Sementara itu, suprastruktur hukum yang adil adalah bila negara berpihak pada pihak yang paling lemah dan terpinggirkan dari akses materi (orang miskin dan fakir). Jikalau GBHN dihidupkan, tiga hal itulah yang wajib diperhatikan.
Sebaiknya para elite politik dan elite istana berhati-hati. Seyogyanya, gerakan masif mahasiswa pada 23-24 September yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia kemarin menjadi alarm demokrasi sekaligus tanda bahaya bagi para pemangku jabatan – bahwasanya warga negara tidak bisa dibodohi lagi karena para wakil rakyat dipilih oleh rakyat yang berdaulat.
Tulisan milik Muhammad Syahrul Yudistira, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.